"Tialaaaaaa!!"
Aku menoleh dan langsung sumringah ketika melihat siapa yang tengah berteriak memanggil. Pria ganteng berpipi tembeb itu berlari menghampiri dengan membawa mainan pesawat kesayangannya.
"Hai Dipta Sayang!!" Ucapku sambil menerima pelukannya.
"Tiala!"
Bocah lucu ini memang punya panggilan sayang untukku. Tiala, sebenarnya maksud dia manggil Aunty Ara tapi karena masih cadel jadilah Tiala, lucu banget tapi, aku suka.
"Sudah sampai berarti Satria dan keluarganya?" Tanya mama padaku sambil ikut mencubit gemas pipi Dipta.
"Iya mungkin Ma, ini Dipta sama siapa kok bisa masuk sendiri sampai dapur begini?"
"Sama Abang Mut!" Bang Nizwar masuk sambil membawa dua papperbag berukuran cukup besar dan meletakkanya di meja depanku.
"Ini oleh-oleh dari calon mantu Ma!"
"Satria sama siapa aja Bang?" Tanya Mama sambil bersiap keluar menemui tamunya.
"Sama mamanya, orangtuanya Dipta terus ada Syarif dan orangtuanya. "
Aku hanya mengangguk, malam ini Kak Satria beneran mewujudkan ucapannya, dia datang melamarku pada papa setelah dua minggu yang lalu dia melamar di rumah sakit. Mama sibuk mempersiapkan diri dan Bang Nizwar sibuk mencicipi makanan yang ada di meja.
Pandanganku tertuju pada Bang Fandi yang sejak tadi lebih banyak diam. Sebenarnya aku sedikit khawatir, ketika abang sudah diam dan alisnya menyatu seperti itu pasti ada yang sedang dia analisis. Dan sejujurnya aku takut yang sedang dia pikirkan adalah tentang lamaran Kak Satria, aku enggak menutup mata sejak tau rencana lamaran ini Bang Fandi terlihat kurang setuju dan lebih banyak diam.
"Mutia! Ayo keluar!"
Lamunanku berakhir karena ajakan mama. Bang Fandi melirikku sebentar dan tersenyum tipis sebelum ikut keluar juga. Aku menggandeng Dipta keluar sambil terus mengatur degup jantungku, ternyata memang benar rasanya semenegangkan ini.
"Ssst, cantik banget kamu kucrut!"
Oh iya, aku melupakan sahabatku ini yang sejak tadi sore sudah standby di sini.
"Deg-degan nih aku Tis!"
"Ya sudah pasti, kalau enggak deg-degan Bang-Sat ngelamar aku bukan kamu!" Bisikknya.
Kalau gak inget ini acara keluarga sudah pasti aku cubit dia.
Aku dan Tisa terus berdebat sambil berisik dan baru berhenti ketika mama menyenggol bahuku. Aku duduk di samping mama dan Tisa, Dipta masih betah di pangkuanku. Tadi sore papa dan abang-abang sepakat menata ruang tamu di rumah, menyingkirkan sofa dan menggantinya dengan karpet. Kata papa, posisi duduk seperti ini terasa lebih nyaman dan akrab.
Acara ini hanya dihadiri beberapa orang selain keluarga inti, papa mengundang Pak RT komplek, Om Bayu tetangga sebelah dan Om Widi yang merupakan satu-satunya adik papa.
"Baiklah, karena semua sudah berkumpul di sini izinkan saya selaku om dari Satria mengutarakan maksud kedatangan kami. Yang pertama izinkanlah kami bersilaturahmi sekaligus mempererat tali persaudaraan kita. Yang kedua saya mengucapkan terimakasih banyak pada Pak Irawan dan keluarga yang sudah berkenan menerima kami di sini. Untuk selanjutnya saya persilahkan Satria untuk menyampaikan tujuannya malam ini. "
Kak Satria tampak sedikit tegang, dia mengantongi hpnya lalu menarik nafas.
Aku menyibukkan diri dengan Dipta dan Tisa, ikut tegang juga melihat Kak Satria yang duduk tepat di seberangku.Bang_Sat❤️
Cantik Ya'!Huuuh, susah berhadapan dengan penakluk wanita! Sempat-sempat ya juga kirim chat!
"Kamu ngapain sih senyum-senyum sama hp? Tuh Bang-Sat daritadi ngelihatin kamu terus!"
"Bukannya ngelihatin kamu, Tis??"
"Kamu jangan mancing-mancing deh Mut, aku tikung beneran baru nangis-nangis!"
"Lah Bima udahan?"
"Masihlah, tapi dia masih kuliah. Kalau ada yang lebih siap kenapa enggak!"
"Jadi sama abang udah enggak minat?"
"Ya gimana ya! Aku orangnya optimis jadi ya sudahlah!"
"Optimis apanya?"
"Optimis kalau bakalan ditolak Bang Fandi!"
Aku dan Tisa asyik bisik-bisik dan tertawa berdua sampai lupa kalau sedang berada di acara yang cukup resmi.
"Bagaimana Mutia, diterima apa tidak lamaran Nak Satria?" Pertanyaan Om Widi menghentikan aksi bisik-bisikku dengan Tisa.
Ini beneran Kak Satria udah mengucapkan lamaran ya? Kapan? Kok sama sekali aku enggak dengar?
Aku menahan nafas dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan ini, semuanya melihat ke arahku. Aku melirik Tisa dan gadis itu malah menutup mulutnya tidak kuasa menahan tawa.
Akhirnya hanya senyuman yang bisa aku berikan, Kak Satria sudah menatap tajam ke arahku, ekspresi ya sulit diungkapkan. Apalagi mama, tak kalah tajamnya menatapku.
Mutia! Bisa-bisanya sih gak fokus!
Berbeda dengan mama, Bang Fandi terlihat menahan sesuatu. Aku tau ada yang ingin dia ungkapkan tapi mungkin banyak yang dia pertimbangkan.
"Di hadapan mama dan papa juga semuanya, saya ingin memohon keikhlasan dan ridlo dari kedua abang saya. Bagaimanapun saya adalah anak bungsu dan kedua abang saya belum menikah. Jadi sebelum menjawab lamaran Kak Satria, saya ingin mendengar jawaban dari Bang Nizwar dan Bang Fandi karena restu mereka enggak kalah penting bagi saya."
Aku menunduk dan tak kuasa menahan tangis, selalu seperti ini. Entah kenapa sejak dulu setiap ngomong serius sama mereka tuh bawaannya pengen mewek aja. Restu dari mereka memang sangat penting bagiku, jika mereka belum ikhlas maka aku tidak akan berani melangkah lebih lanjut.
Semua yang hadir di sini mengangguk setuju termasuk Kak Satria, walaupun kemarin dia sudah meminta izin sendiri pada abang-abangku.
"Abang insyaallah ikhlas Mutia menikah lebih dulu. Mutia adik perempuan Abang, tidak setiap saat Abang bisa jagain Mutia jadi Abang ikut bahagia dan tenang jika ada orang yang bersedia menjaga Mutia."
Aku cengeng banget kan! Dengar jawaban Bang Nizwar tangisku bertambah pecah, Tisa mengusap punggungku dan Dipta yang semula duduk di pangkuanku berdiri dan berpindah ke mamanya, mungkin takut melihatku menangis.
"Alhamdulillah, semoga cepat menyusul ya War!" Sahut Om Widi.
"Lalu bagaimana dengan abang tertua ini?" Kata Om Widi lagi sambil menepuk pundak Bang Fandi yang kebetulan duduk di sampingnya.
Saat ini semua menunggu jawaban abang, jujur aku sangat penasaran dengan Bang Fandi sejak tadi. Pandanganku bertemu dengan Kak Satria, dia mengangguk dan tersenyum menenangkan, seolah dari sorot matanya yang teduh dia berbicara bahwa semua akan baik-baik saja dan berjalan sesuai rencana.
"Saya keberatan dengan semua ini!"
Nafasku tercekat, semua yang hadir juga kaget, bertanya-tanya dengan sikap Bang Fandi. Mendadak aku menjadi lemas, melihat sikap abang yang sejak tadi diam sudah pasti ada yang mengganjal di hatinya.
Aku melirik Kak Satria, pria hebat itu tetap diam dan tenang. Dia tetap tersenyum padaku tapi matanya tidak bisa bohong, dari sana aku lihat kekhawatiran. Aku masih menunggu penjelasan Bang Fandi, kalau memang abang belum ikhlas, aku tidak bisa melanjutkan ini semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Come Back!
RomancePuncak kangen paling dahsyat adalah ketika dua orang tak saling menelepon tak saling sms bbm-an dan lain-lain tak saling namun diam-diam keduanya saling mendoakan. _Sujiwo Tedjo_