🌹Come Back #42

3K 418 31
                                    

Aku masih menatap Kak Satria penuh kesal. Suka banget sih jail begini? Pakai acara ajak sekongkol security lagi.

"Udahan dong keselnya, masa suami pulang kerja di kasih wajah kusut kaya gitu?"

Aku yang pada dasarnya sejak tadi ingin memeluknya langsung saja menghambur ke dekapannya. Udah gak peduli rasa kesal tadi, kegelisahan ku lebih mendominasi.

Seperti tahu perasaanku, Kak Satria tidak mengucapkan apapun, dia hanya mendekapku dan berulang kali mengusap rambutku.

Setelah sekian lama kita hanya berdiri dengan aku memeluk erat dirinya akhirnya aku melepaskannya, kasih juga pasti capek banget.

"Mau mandi dulu gak, Kak?"

"Nanti aja, minta minum aja bisa?"

Aku mengangguk dan langsung mengambilkannya minum. Kak Satria melepas sepatu dan kemejanya.

"Kakak kok bisa pulang kesini? Besok gak kerja?"

Dia menerima gelas dariku, menghabiskan setengahnya baru menjawabku.

"Aku libur besok sampai minggu."

"Serius? Kok bisa?"

"Kemarin aku bilang lembur kan? Nah itu aku nego sama Pak Yongki buat menyelesaikan kerjaan, akhirnya di bolehin karena target minggu ini udah selesai. Tapi sekali ini aja kata bos."

"Kok kamu bisa punya rencana seperti itu Kak?"

"Ya gimana, kangen banget sama kamu!"

"Masa?"

"Emang kamu gak kangen? Tadi aja kamu hampir nangis kan karena seneng aku datang?"

"Pasti ada hal lain!"

Kak Satria menarik nafasnya, satu tangannya terangkat untuk membeli rambutku.

"Aku gak sabar pengen minta maaf, karena udah bikin kamu kesel. Aku yang agak bego ini baru sadar kalau ternyata kemarin masalah salah kostum itu malah aku bahas terus, gak mikirin perasaan kamu juga."

Aku hanya bisa tersenyum, merasa bersalah juga udah bikin dia semenyesal itu.

"Aku udah gak apa-apa Kak, udah lupa."

"Terus yang bikin kamu nangis tadi apa?"

Aku menggeser tubuhku lebih dekat dengannya. Memeluk lengannya dan menyandarkan kepalaku di pundak nya.

Aku mulai menceritakan hari ini yang lumayan sibuk, pertemuan dengan Sean yang lumayan canggung juga kejadian terakhir di minimarket yang membuat hatiku semakin gelisah.

"Sebenarnya apa yang kamu rasain Ya?"

"Aku udah lama pengen berjilbab, Kak! Tapi entah kenapa rasanya belum siap, aku masih kaya gini rasanya gak pantes pakai jilbab. Gejolak itu udah lama aku rasain. Ketika kemarin kita kerumah Dito, bukan hanya kakak yang kesel. Aku juga kesel pada diriku sendiri, aku juga malu kak. Aku semakin gelisah, jadi pas kakak ngomeeel terus itu aku emang lagi dalam keadaan yang gak baik makanya keselnya bisa sampai ubun-ubun."

"Maaf ya, aku gak tau tentang kegelisahanmu."

"Aku yang minta maaf Kak, aku kesel sama diriku sendiri malah melampiaskan ke kamu."

"Apa yang membuat kamu gelisah dan ragu, Ya?"

"Aku pengen ketika aku benar-benar berjilbab itu dari hatiku paling dalam Kak, gak di buka tutup lagi. Aku pengen ketika aku berjilbab itu sudah sebanding dengan kelakuanku, aku gak mau aku berjilbab hanya karena rasa malu pada orang lain, atau karena di pandang rendah orang lain. Pokoknya aku pengen murni keputusan itu dari hatiku. "

Kak Satria mengambil tanganku dan menggenggamnya erat.

"Ini keputusan besar dari hidup kamu Ya, aku gak akan pernah maksa kamu. Tapi kalau kamu memutuskan itu aku akan sangat senang. Dan aku serahkan sepenuhnya padamu, aku juga mau ketika kamu memutuskan hal besar dalam hidup kamu itu atas dasar kemauan kamu sendiri bukan paksaan atau tekanan dari orang lain. "

"Terimakasih Kak. Kalau kakak sendiri lebih suka aku pakai atau enggak?"

"Pakai baju? Ya jelas lebih suka enggak pakai!"

Aku reflek mencubit lengannya, tapi ketawa juga. Dasar kakak-kakak mesum.

"Haha, yang jelas dong kalau kasih pertanyaan!"

"Jilbab kak! Jilbab!"

Kak Satria malah semakin tertawa, sebelum menjawab serius sempet-sempetnya itu bibir mampir ke keningku.

"Kalau di tanya lebih suka mana, aku jawab lebih suka kalau kamu bahagia dan gak punya beban apa-apa, Ya! Dan kalau kamu pakai jilbab, aku akan sangat bersyukur. Tapi itu bukan tekanan dariku ya!"

Aku tahu maksudnya, detik ini juga aku tambahin rasa syukur ku. Aku punya suami yang sangat pengertian dan memahami setiap keadaanku. Lelaki yang dulu hanya bisa aku kagumi, lelaki yang pernah mampir ke hati lain tapi akhirnya menjadi jodohku.

.

.

.

Satria

"Ya'! Mutia!"

Aku menggerakkan bahuku dan tidak ada respon dari Mutia. Pelukannya mengendur dan seru nafasnya teratur.

Yah! Aku di tinggal tidur pemirsa!

Perlahan aku mengubah posisi dan berusaha setenang mungkin mengangkat Mutia ke kamar. Wajah tenangnya seakan-akan melambai meminta aku untuk menciumnya.

Aku benarkah posisi tidurnya agar nyaman, setelahnya duduk di sampingnya. Gak bosen aku pandangi wajah cantiknya, tanganku terulur merapikan sebagian rambut yang menutupi wajahnya.

Aku gak tau kalau selama ini dia punya satu kegelisahan dalam hatinya. Jadi ngerasa bersalah banget, kemarin aku udah kesel sama dia. Bahasnya gak cukup sekali lagi.

Aku gak sadar kalau ternyata Mutia lebih malu dan lebih gak enak waktu di rumah Dito, semalu-malunya aku pasti masih berat dia bebannya.

"Masalahnya Sat! Mutia itu udah lama perang batin sendiri. Dia pernah cerita ke Mama tentang keinginannya berjilbab tapi gak tau sebenarnya apa yang dia pikirkan. Padahal kan kalau mau pakai jilbab ya pakai aja, sekarang kan banyak model-model yang modus gitu. Tapi abang tahu, masih banyak yang dia pertimbangkan. Abang belum sempat ngobrol lagi sama dia tentang itu. Mungkin itu yang bikin dia kesel banget ke kamu. Sat!"

Gara-gara percakapan dengan Bang Fandi kemarin itu aku langsung memutuskan untuk mempercepat kepulangan ke sini, alhamdulilah lagi Pak bos kasih izin dengan syarat kerjaanku beres.

Aku memijit pelan kaki Mutia biar lebih nyaman tidurnya, sambil aku chattingan dengan Dito. Tadi sore dia chat aku duluan, hanya menyapa biasa.

Aku ingat keluarga Dito itu keluarga pesantren, aku berencana mengajak Mutia kesana. Siapa tahu dapat pencerahan.

Saat-saat seperti ini aku merasa bego banget jadi suami. Seharusnya aku bisa membimbing istriku, mengarahkannya juga tapi apadaya aku yang minim ilmu agama ini hanya bisa kasih semangat dan doa.

Aku jadi pengen belajar agama dengan keluarga Dito, apalagi sih yang aku cari di dunia ini? Aku punya dua keluarga yang baik banget, punya istri yang sempurna untuk ukuran orang Seperti ku, punya kerjaan yang bagus. Seharusnya udah waktunya aku mikirin ibadahku, aku gak mau besok suatu saat punya anak tapi gak bisa mendidik dia jadi anak sholeh.

Aku selesai janjian dengan Dito lalu menyimpan hpku. Sebelum beranjak ke kamar mandi, sekali lagi aku ciumi wajah Mutia. Menenangkan banget punya dia dalam hidupku. Alhamdulillah...

Come Back!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang