Mutia
Sebulan, dua bulan.... entah sudah berapa bulan aku lalui dengan hati yang kosong. Kalau aku tidak salah, pertemuanku malam itu terjadi ketika sekolah sedang mengadakan doa bersama untuk kelancaran ujian kelas 3, dan saat ini murid-murid kelas 3 sudah menjalani ujian dan pengumuman kelulusan, bahkan malam ini ada acara perpisahan murid kelas 3 sekaligus penyambutan murid baru.
Aku masih guru matematika yang lumayan pintar menghitung, dan berdasarkan hitunganku malam ini adalah malam ke 152 dengan kata lain sudah 5 bulan aku tidak pernah lagi berhubungan dengan Kak Satria. Sesekali bertukar pesan sih pernah, terkadang dia yang mulai duluan tapi tentu saja tidak aku balas secara berlebihan.
"Mutia!"
Aku memejamkan mata sejenak, meredam emosi karena suara Tisa yang tiba-tiba saja memecah lamunanku. "Bisa gak sih Tis, kalau manggil pelan aja?"
"Pelan itu kalau sekali dua kali, kalau udah ke sekian kalinya ya harus pakai tenaga!"
"Mau apa sih? Laper lagi? Jatahmu udah habis Bu guru!"
Tisa dengan tidak manusiawinya mencubit lenganku, "Jangan malu-maluin deh Mut!"
Aku masih mengusap lenganku yang memerah bekas cubitan Tisa ketika tiba-tiba dia menarikku keluar agar bisa melihat lapangan sekolah yang sudah disulap sedemikian rupa untuk acara malam ini.
"Itu ada yang mau nyanyi, ayo maju!"
"Ya udah sih, kamu aja! Aku mau bantuin yang lain di dalam."
"Halah, alasan kan biar gak ketemu Bang Sat?"
Aku hanya mencibirnya, ya emang kenapa kalau ketemu? Aku memang patah hati karenanya, bahkan selama 5 bulan ini aku harus kehilangan 4kg berat badanku tapi bukan berarti aku harus menghindarinya dan mengacuhkannya seperti anak-anak ABG yang baru putus, dari awal memang dia hanya teman dan sampai sekarang pun memang harus tetap jadi teman kan?
Lima bulan lebih dari cukup buatku untuk kembali menjadi Mutia yang biasanya, Mutia yang selalu pandai menutupi perasaannya dengan senyuman ya walaupun mungkin luka dihati masih tetap ada. semua yang kita inginkan dalam hidup ini memang tidak selamanya selalu terjadi, yang bisa aku lakukan sekarang adalah bersyukur dengan apa yang aku punya, selalu berpikir positif dan melakukan yang terbaik.
"Ya udah ayo, mau lihat dimana?"
"Nah gitu dong! Tunjukkin kalau Mutia bisa hidup tanpa Satria!" Bisiknya
"Lah kok gitu ujungnya?"
Tisa tidak memperdulikan pertanyaanku, dia menarikku ke depan agar lebih dekat dengan panggung. Aku dan Tisa duduk di dekat beberapa guru yang sudah terlebih dulu duduk. Di panggung sudah ada 4 murid yang bersiap dengan alat musik masing-masing.
"Pantes aja kamu ngajak maju!" Cibirku pada Tisa saat tau siapa vokalis dari band sekolah ini. Tisa tersenyum malu-malu, tapi yakin gak cocok banget mukanya malu-malu kaya gitu.
"Tis!"
"Hm!" Gumamnya, matanya tetap fokus ke panggung.
"Kamu beneran deket sama Bima? Yakin?"
Tisa meringis sambil malu-malu lagi, baru kali ini lihat Tisa kaya gini. "Gak tau Mut, anaknya lucu sih!" Untung saja Bima sudah lulus tahun ini, jadi ya gak akan ada berita skandal guru dan murid. Serem bayanginya kalau satu sekolah pada tau.
Sebenarnya aku ingin protes sih, tapi lagi-lagi aku sadar, aku hanya sebatas sahabatnya rasanya tidak ada hak untuk ikut campur urusan pribadinya, aku percaya Tisa itu mengerti dirinya sendiri, dia bukan orang yang sembarangan mengambil keputusan. Ada baiknya juga dia gak ngarepin abang lagi.
Disaat Tisa masih heboh bertepuk tangan aku mengedarkan pandangan dan terkunci pada satu pasang mata yang juga sedang melihat ke arahku. Aku mencoba sebiasa mungkin dan tersenyum padanya. dia hanya mengangguk dan tersenyum tipis lalu beralih fokus lagi dengan wanita yang ada di sampingnya, wanita itu bukan warga sekolah mungkin dia datang mendampingi adiknya-Bima.
"Tis, aku ke toilet dulu ya!"
Setelah mendapat anggukan dari Tisa, aku bergegas ke toilet. Aku emang kebelet, jangan dikira kenapa-kenapa ya! Beneran aku gak apa-apa. Percaya aja aku gak nangis kok!
Duh tisu mana sih?
Lima menit cukup bagiku untuk mengunci diri dan mengembalikan mood yang sempat berantakan. Oke Mutia! Semua sudah berakhir, masa-masa sulitmu sudah terlewati! Hidup itu untuk dinikmati.
"Bu Ara!"
Aku menoleh ke arah Delta yang berlari menghampiriku. "Ada apa?"
"Bu Ara pasti kedinginan kan? Nih pakai jaket saya!"
Aku memandang Delta dari atas sampai bawah, anak ini kesambet apa?
"Saya gak kedinginan Delta! Kenapa kamu ini?"
"Ah tolong Bu, jangan bikin ribet. Udah terima aja ini dan di pakai nanti ibu masuk angin! Maaf bu saya duluan!" Delta memberikan jaketnya padaku lalu kembali berlari menghampiri teman-temannya.
Anak itu selalu aja bikin bingung dengan tingkah anehnya. Bukan hanya sekali ini aja dia seperti itu, sebelumnya dia pernah tiba-tiba kasih aku beberapa alpukat katanya hasil panen neneknya, terus kemarin dia tiba-tiba nongol di tempat makan waktu aku gak sengaja makan siang bersama Pak Daniel.
"Kenapa bengong di depan toilet sih?"
"Eh, Tis! Enggak, tadi aneh aja sama Delta. Ada-ada aja kelakuannya!"
"Ngapain lagi dia? eh tapi kamu lucu lho kalau sama dia. Seru tau jalan sama yang lebih muda!"
"idih, ogah lah! Walaupun tingkat kedewasaan itu gak tergantung umur, tapi tetep aja aku gak mau sama yang lebih muda."
"Ya emang, mau ada yang lebih muda atau tua gak ngaruh buat kamu, orang mentoknya udah sama Bang-Sat!"
"Emang. Nyata. no debat!" Jawabku asal lalu meninggalkan Tisa yang sepertinya masih terkejut dengan ucapanku. Setelahnya dia mengejarku.
"Mut, mau kemana?"
"Mau pulang aja, udah malem. Ngantuk!"
Tisa menahan tanganku dan menarikku masuk ke ruang guru yang kosong, karena semua berkumpul di halaman sekolah. Tisa mendudukkanku di kursi dan mendekatkan tisu ke arahku.
"Sekarang boleh nangis!"
Aku menarik nafas dan memukul lengan Tisa pelan lalu tersenyum. "Sok tau sih, siapa juga yang mau nangis??"
"Kamu gak sedih lihat Bang-Sat jalan sama Mitha?"
"Ya terus aku harus ngapain Tis? Aku bukan siapa-siapanya, bahkan aku sudah pernah menemui dia meminta kesempatan tapi ya gitu, emang bener sih kayaknya kita tuh gak boleh baperan jadi cewek, apalagi sama model cowok bintang sekolah kaya Bang-Sat."
"Kamu cinta sama dia?"
"Yang kamu lihat?"
Tisa menatapku lalu menghela nafasnya. "Pernah bilang sama dia?"
"Apa penting itu sekarang Tis?"
"Haaaah!! Ya udah sih sama-sama batu emang!"
"Ya udah, jangan di bahas lagi. Akunya udah biasa aja kenapa kamu yang repot?"
"Biasa aja? Ini aku pura-pura gak tau loh kalau kamu mau ambil S2 ke Semarang itu dalam rangka melarikan diri."
Aku hanya tertawa dan meninggalkan dia pulang. Sebenarnya aku agak gak enak badan, tapi karena memenuhi undangan aku sedikit paksakan untuk berangkat.
Yang dikatakan Tisa benar, sebentar lagi aku akan merantau ke Semarang dalam rangka kuliah lagi. Bukan maksud menghindari Kak Satria juga, tapi lebih ke ingin menyibukkan diri aja, agar pikiranku gak fokus terus pada hal yang kurang bermanfaat.
Aku berjalan menuju parkiran sambil merapatkan jaket Delta, ternyata benar aku kedinginan. Efek gak enak badan dan udara malam. Aku tersenyum sendiri mengingat segala tingkah Delta, anak itu selalu hadir disaat yang tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Come Back!
RomancePuncak kangen paling dahsyat adalah ketika dua orang tak saling menelepon tak saling sms bbm-an dan lain-lain tak saling namun diam-diam keduanya saling mendoakan. _Sujiwo Tedjo_