1. Pagi yang Berbeda

5.9K 334 0
                                    

Pagi yang cerah.

Kurasakan sinar matahari mencoba menyusup masuk melalui jendela kamar. Uh, aku masih ingin tidur. Namun, realitanya tanganku tak sependapat dengan otakku. Terbukti dengan selimut yang sudah tersingkirkan dari tubuh mungilku ini.

Kulangkahkan kaki mendekati jendela kamar. Kurasakan hangat cahaya matahari langsung mengenai wajah. Sejenak kupejamkan kedua mata berniat menikmati kicauan burung yang samar-samar masih bisa kudengar dari rumah sebelah.

Tetangga.

Begitu orang menyebutnya.

Pagi hari tanpa omelan bunda adalah impianku setiap akan tidur. Dan sepertinya pagi ini akan menjadi kenyataan sebab semalam aku berhasil lolos dari kejahilan Kak Berlize.

Mengingat hal itu, aku yakin Kak Sam dan Kak Berlize sudah merencanakan 'sesuatu' untukku pagi ini. Konon menurut mereka, itu adalah aturan sebagai pengganti atas kegagalan Kak Berlize menjahiliku pada malam hari.

Aturan apanya?!

Bahkan bunda saja tidak pernah mengetahuinya!

Secara teori, hanya aku dan mereka yang mengetahuinya yang mana secara tidak langsung hanya kami bertiga yang terlibat aturan konyol itu. Jangan tanya kenapa aku tidak menolaknya. Meski aku mengatakan tidak setuju, mereka akan tetap menjahiliku. Tidak melapor pada ayah atau bunda? Aku bukan anak manja yang harus mengadu hal-hal seperti itu.

Ingat?

Aku bukan Kak Sam!

Seketika mataku yang sempat terpejam langsung terbuka tatkala mendengar suara pintu kamarku yang dibuka oleh seseorang. Biar kutebak, si kembar sudah bergerak cepat rupanya.

Tidak mungkin bunda, 'kan? Sebab aku tidak terlambat bangun tidur kali ini. Jadi, aku sudah optimis tidak akan terkena amukan bunda. Lagi pula jikalau bunda pasti memanggil namaku terlebih dahulu. Baiklah, sepertinya sekarang aku akan terkena kejahilan mereka.

Tapi, kenapa si kembar diam saja?

Apa yang sedang mereka rencanakan?

Setelah bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan sendiri, akhirnya kuputuskan untuk membalikkan badanku yang sedari tadi membelakangi pintu kamar. Ternyata memang bukan bunda, tapi bukan pula Kak Sam maupun Kak Berlize.

"Ayah?"

Aku bertanya setengah tak percaya.

Pasalnya, ayah tak pernah datang ke kamarku untuk sekadar membangunkanku. Selain omelan bunda yang memenuhi kamarku hampir tiap pagi, kejahilan Kak Sam dan Kak Berlize yang menjadi alasan kedua atas kehadiran orang-orang selain diriku sendiri untuk berada di kamar ini.

Bagaimana dengan Lissa? Dia tentu saja lebih memilih berdebat dengan ayah tentang hal-hal kecil tiap pagi di meja makan.

Kulihat ayah masih bergeming di ambang pintu kamarku. Seperti sudah menebak akan keterkejutan yang sedang kualami. Entah apa yang kupikirkan, aku pun masih setia mematung di dekat jendela kamar.

"Selamat pagi, Sayang."

Perasaan heran yang bersemayam dalam hatiku langsung terganti dengan rasa senang setelah mendengar ucapan selamat pagi dari ayah untuk pertama kalinya di kamarku. Sesuatu yang baru dan berbeda untuk pagiku hari ini.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku segera menghambur ke dalam pelukan ayah seraya membalas ucapan ayah yang terlontar untukku tadi. Ayah terkekeh menerima pelukan tiba-tiba yang kuberi.

"Apa tidurmu nyenyak, Sayang?"

"Ayah tidak akan percaya, semalam adalah tidurku yang paling nyenyak," jawabku cepat dengan penuh antusias.

"Benarkah?"

Pertanyaan ayah kujawab dengan anggukan yang mampu membuat ayah mengerutkan dahi pertanda keheranan. Lalu, ayah menopang dagu seraya menampilkan ekspresi seakan-akan sedang berpikir keras.

"Jika memang benar seperti itu ... artinya Claudi selama ini tidak tidur nyenyak, dong."

Mendengar penuturan itu, aku langsung memasang wajah cemberut. Seolah-olah aku sangat mengiyakan pernyataan yang ayah lontarkan.

"Ada dua monster seram yang selalu mengganggu waktu tidurku, Ayah. Mereka sangat menyebalkan."

Kulihat ayah terkekeh mendengar ucapanku barusan. Mungkin ayah mengira aku hanya sekadar bergurau hingga membuat ayah tak terlalu memikirkan maksud dari perkataanku tersebut.

"Di mana kedua monster itu, Sayang? Biar ayah beri pelajaran karena sudah berani mengganggu putri ayah ini."

Mendengar hal itu, aku menelengkan kepala ke samping seraya berucap 'benarkah?' pada ayah.

Bagi kami, ayah adalah sosok yang kami banggakan. Ayah tidak pernah menyakiti hati kami. Ayah selalu mampu membuat kami tertawa bahagia.

Sekarang, semisalnya.

Tak lama setelah tertawa-tawa atas kekonyolan aku dan ayah, kulihat raut ayah mulai berubah ketika aku menyebut nama bunda. Menyadari hal itu, aku mulai bertanya-tanya dalam hati.

"Ayah, kenapa?"

Pada akhirnya, kuberanikan diri untuk bertanya seperti itu pada ayah. Sebab, jujur sejak melihat perubahan ekspresi ayah sudah membuat perasaanku tak enak. Entah apa yang terjadi hingga ayah berubah drastis seperti ini.

"Ayah, apa yang telah terjadi?"

Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku setelah ayah menghela napas panjang ketika memandangku. Menambah rasa cemasku atas reaksi ayah tersebut.

"Bunda pergi dari rumah," ujar ayah seraya mengalihkan pandangan dariku. Terlihat raut kesedihan jika aku benar mendefinisikan ekspresi ayah.

Apa maksudnya?

Bunda pergi? Pergi ke mana?

"Aku tidak mengerti apa yang ayah katakan," balasku dengan dahi yang berkerut penuh keheranan.

Jujur, sekarang aku ketakutan melihat ayah yang hampir melangkah pergi tanpa menjawab pertanyaanku. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Kenapa ayah jadi seperti ini?

Ayah memegang pundakku sejenak sebelum mengatakan sesuatu yang selanjutnya sukses membuat jantungku maraton seketika.

"Bunda pergi dari rumah tapi ayah tidak tahu di mana bunda berada sekarang. Ayah sudah mengerahkan kemampuan bawahan ayah, tapi masih belum ada hasilnya."

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang