6. Permintaan yang Berbeda

2.8K 208 0
                                    

Tidak! Ini tidak benar.

Aku tidak boleh seperti ini!

Kuseka air mataku yang sudah bercampur dengan air hujan. Kurasakan kelopak mataku sedikit berat. Mungkin karena bengkak.

Menangis dalam derasnya hujan? Sungguh konyol sekali! Mungkin otakku baru bisa lebih berpikir sekarang. Aku tidak seharusnya melakukan hal bodoh ini!

Aku berdiri.

Sontak mataku langsung terfokuskan pada pantulan tubuhku di kaca jendela rumah. Pakaian basah, mata sembab, dan hidung yang memerah. Serta jangan lupakan rambutku yang sudah tidak karuan. Hei, apa aku separah itu tadi? Hingga rambutku menjadi seperti ini?

Benar-benar berantakan.

Seketika hujan bergemuruh di langit. Menyadarkanku dari keterkejutan pada diri sendiri. Kuputuskan untuk melangkahkan kaki menuju pintu belakang. Tidak mungkin 'kan aku masuk melalui pintu depan? Bisa-bisa aku akan diomeli oleh bunda.

Bunda?

Tubuhku mematung setelah beberapa detik menutup pintu. Lebih tepatnya setelah berargumen bahwa bunda akan mengomeliku kali ini. Sepertinya aku mulai lupa jikalau bunda masih belum ditemukan. Mengingat itu ... aku jadi merindukan bunda sekali lagi.

Sepi.

Itu yang netraku tangkap sejak memasuki rumah hingga ruang tengah. Tak ada siapa pun. Omong-omong, ke mana semua orang?

Tak lama kemudian, kurasakan perutku berbunyi. Helaan napas keluar dari bibirku tatkala menyadari bahwasanya aku lupa kalau belum makan sedari pagi, mengingat sekarang sudah hampir malam.

Eh?

Berapa lama aku menangis dalam hujan?

Tak menghiraukan perutku yang sudah bernyanyi minta diisi, kuputuskan untuk melanjutkan langkah menuju kamar. Aku sudah benar-benar kedinginan.

Baru hendak membuka pintu kamar, indra pendengaranku menangkap suara seseorang yang tengah menangis. Suaranya berasal dari arah kamar Kak Berlize.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, kubalikkan badanku menuju kamar Kak Berlize. Pelan-pelan kubuka pintu kamarnya. Kulihat seseorang sedang menangis dalam pelukan Kak Berlize.

Lissa ... kenapa dia menangis lagi? Apa karena dia merindukan bunda?

Kali ini aku benar-benar merasa bodoh. Hei, siapa yang tidak akan rindu dengan bunda?

"Kak, apa bunda tidak akan kembali? Atau ... jangan-jangan bunda sudah menikah juga ... sama seperti ayah," ucap Lissa dengan suara yang terdengar parau karena menangis.

Kuperhatikan Kak Berlize menegang mendengar pertanyaan Lissa. Baiklah, sudah cukup! Aku sudah tidak tahan. Kenapa Lissa bisa-bisanya mengatakan hal seperti itu? Amarah seakan menggebu dalam dadaku atas ucapan sembrono Lissa.

"Itu tidak mungkin, Lissa."

Kak Berlize meyakinkan si bungsu kami.

Tapi, ayah pernah mengiyakan pertanyaan Lissa yang menurutku sangat tidak mungkin—ayah menikah lagi.

Seketika aku menggeleng memikirkan bunda juga akan seperti ayah. Pikiranku yang sempat melayang kembali kukendalikan. Aku tidak boleh berpikiran negatif pada bunda.

Amat tidak boleh!

Kualihkan atensiku kembali pada Lissa yang terus-terusan bertanya seputar 'akankah' mengenai bunda pada Kak Berlize. Sedetik kemudian, kututup pintu kamar Kak Berlize dengan hati-hati sebelum dia sadar aku sudah menguping dari tadi. Aku yakin Kak Berlize bisa menenangkan Lissa dengan berbagai macam cara.

Hei, dia itu mirip bunda.

Hanya saja bunda tidak akan menjahiliku seperti yang dilakukannya.

Sepanjang perjalanan ke kamarku, ingatanku tertuju pada ucapan ayah mengenai dua orang asing tadi yang akan tinggal di rumah kami. Sungguh, aku masih tak percaya bahwasanya ayah bisa mengatakannya.

Baru saja memasuki kamarku, suara gaduh sudah terdengar dari bawah. Kuyakini itu adalah suara Kak Sam dan ayah. Kudengar Kak Sam memecahkan barang-barang di ruang tengah. Mataku kembali berkaca-kaca.

Keluargaku tidak pernah seperti ini.

Isakanku mulai keluar seraya kakiku yang merosot jatuh ke lantai. Kubenamkan kepalaku pada lutut yang sudah kupeluk berniat mengurangi isakan tangis yang kuyakini akan terdengar oleh mereka.

Kepalaku terasa ingin meledak mendengarnya. Kak Sam yang marah-marah dan teriakan ayah yang tak mau kalah. Ini sudah benar-benar berubah. Rumahku bukan rumah yang seperti dulu lagi. Sesaat sebelum bunda pergi. Dan mirisnya entah kapan bunda kembali.

"Aku tidak akan pernah menerima mereka sebagai keluargaku!"

"Jaga bicaramu, Sam!"

Semakin ayah berteriak, Kak Sam akan balas berteriak yang diiringi oleh suara barang pecah. Kupejamkan mata ketika suara-suara pertengkaran antara Kak Sam dan ayah tak kunjung berhenti.

"Jika bunda di sini ... mereka tidak akan pernah bertengkar seperti sekarang," ujarku lirih seraya berusaha meredam isakan.

Setelah beberapa saat, kudekati ranjangku tanpa berniat menyalakan lampu. Atau lebih tepatnya takkan kunyalakan lampu untuk malam ini. Biarlah gelap sama seperti suasana rumah kami yang perlahan mulai suram.

Tubuhku meringkuk di atas kasur. Antara kedinginan dan menahan lapar. Dan untuk malam ini, permintaanku berbeda. Kuharap besok pagi bunda akan mengomeliku kembali...

...atau berharap semua ini hanyalah mimpi.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang