Langkah kakiku terus melaju tanpa tahu arah yang pastinya ingin segera menjauhi rumah itu terlebih dahulu ... dengan air mata yang terus menyeruak keluar, dengan tangan yang berusaha untuk terus menyeka.
Hancur sudah perasaanku perihal bunda yang baru kuketahui bahwasanya telah tiada.
Itu artinya yang kulihat dengan Abang Rey di pemakaman benar adanya. Ditambah lagi semua kebenaran yang ditutupi ayah dariku selama ini.
Apa sebegitu tak berhakkah aku untuk mengetahuinya?
Tanpa sadar kakiku telah membawaku pada taman di dekat rumah. Sepi, tak ada orang. Dengan langkah yang pelan, aku mendekati sebuah bangku yang kosong. Mendudukinya dengan tubuh yang bergetar lantaran menahan tangisan yang sebenarnya sudah tak bisa kubendung lagi.
Usapan lembut di area rambut membuatku mendongak melihat siapa pelakunya. Dengan tatapan wajah datar, aku menepis tangannya yang masih berusaha untuk mengelus lembut surai sebahuku.
Perlakuanku itu membuatnya tersentak kecil. Kemudian tanpa bicara untuk sekadar minta izin padaku, dia segera duduk di sampingku. Menatapku dengan tatapan yang entahlah artinya.
Aku tak mau tahu.
"Dek ...."
Abang Rey memanggilku.
Aku hanya bergeming. Lebih memilih menatap lurus ke depan mengamati bunga-bunga yang nampak segar ... yang sebenarnya tak terlalu kuperhatikan.
"Abang tak tahu harus mengatakan apa, tapi yang pasti ... abang sayang sama adek. Abang sayang sama semuanya."
Tatapanku masih lurus ke depan, tapi pikiranku sudah jauh melayang pada kejadian-kejadian yang sempat membuatku sampai melukai diri sendiri.
Terlalu menyesakkan, begitu pengap.
"Abang hanya ingin mengatakan bahwasanya semuanya memang sudah kehendak Tuhan, Dek. Apa pun yang telah terjadi ... cobalah untuk menerimanya, Dek. Abang tahu itu sangatlah tidak mudah, tapi abang pernah berada di posisi adek; kehilangan orang yang amat berharga."
Tapi, rasanya amatlah berbeda.
"Abang paham perihal tindakan ayah, Dek. Dia tidak ingin terjadi hal yang buruk juga pada adek. Abang harap adek tidak menyalahkan ayah atas semuanya. Ayah juga terluka, Dek ... sama hancurnya dengan adek."
Tidak! Ayah tetaplah jahat!
"Adek ... jangan seperti ini. Abang sedih melihat adek, semuanya sedih melihat adek."
Perkataan Abang Rey membuatku tersenyum miris. Apa-apaan itu? Aku tidaklah mudah untuk ditipu. Ingat itu!
"Adek ... lihat abang, Dek."
Abang Rey mengatakannya dengan tangan yang berusaha menggapai bahuku.
Aku hanya menurut.
Menatapnya yang tengah menatapku dengan tatapan sendu. Menggenggam jemari tanganku dengan tangan besarnya. Berusaha menenangkan hatiku ... yang sudahlah tak perlu kujelaskan lagi.
Sungguh perih sekali.
"Adek jangan merasa sendirian. Abang di sini untuk adek. Ayah dan mama juga ada di samping adek. Kami semua menyayangi adek."
Netra cokelat itu tampak memancarkan ketulusan ketika mengatakannya. Membuat sudut hati kecilku bahagia. Tapi terlebih dari itu semua, sudut hatiku yang lain merasakan sakit yang luar biasa.
Abang Rey—pasien yang menerima donor jantung bunda, orang yang masih bernapas berkat pertolongan bunda.
Kenapa Tuhan amat begitu tidak adil?
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Heart [Completed]
Teen Fiction"Bagiku, rumah adalah tempat terindah di bumi dan ayah adalah kebanggaan kami." Bahagia? Tentu saja! Namun... ...semuanya begitu sempurna sebelum bunda menghilang secara tiba-tiba. Semuanya akan baik-baik saja jikalau ayah pulang tanpa membawa mere...