28. Leukimia

1.7K 90 0
                                    

Suara berisik alarm dari jam weker yang sudah kusetel semalam membangunkanku dari tidur panjang. Segera bangkit dari ranjang lalu memasuki kamar mandi berniat untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Itu yang kulakukan setelah menyadari kalau hari ini bukan hari libur.

Hari ini adalah hari kedua setelah kaki Kak Berlize bisa kembali pulih. Mengakibatkan suasana rumah sedikit mengalami perubahan. Terlihat lebih hidup daripada hari-hari sebelumnya. Anggap saja salah satu warna cerah rumah kami sudah kembali terpampang.

Pagi ini, semisalnya.

"Wow, masakan bibi banyak sekali. Kelihatannya enak."

Kak Berlize menatap takjub hidangan yang tertera di atas meja makan. Memberi apresiasi pada asisten rumah tangga yang ayah pekerjakan sejak Kak Berlize mengalami kelumpuhan. Bi Sutry, usia empat puluh tahun dengan rambut yang terus digelung ke atas menambah kejelasan akan wajah paruh bayanya.

"Non Berlize harus minum obat ini setelah sarapan nanti, ya?"

Jessy—perawat kedua Kak Berlize—datang menghampirinya sembari membawa botol obat. Kemudian menyerahkannya pada Kak Berlize dengan berucap mengingatkan. Kulihat Kak Berlize seakan menahan kejengkelan. Lalu mengubah ekspresi takjubnya tadi menjadi datar.

"Hei, Jessy. Kau sendiri tahu bahwa kakiku sudah sembuh. Lantas mengapa aku masih harus meminum obat pahit itu?"

Kak Berlize memprotes dengan tangan yang bersedekap dada. Kaki Kak Berlize memang sudah pulih, tapi meskipun begitu dia tetap harus meminum obat itu. Aku mengerti kenapa Kak Berlize dilanda rasa bingung. Karena sebenarnya obat itu bukan untuk kesembuhan kakinya. Melainkan untuk kesehatan jiwanya yang takutnya masih terguncang.

"Maaf, Non. Namun, alangkah baiknya jikalau Non Berlize tetap mengonsumsi obat ini supaya kakinya dipastikan benar-benar pulih."

"Tapi, seingatku obat kaki yang lumpuh bukan semacam pil yang  sering kuminum ini."

Wow!

Meskipun jiwanya terguncang, tapi kecerdasannya masih melekat dalam rupanya. Membuat Jessy kelimpungan mencari jawaban.

"Kak ... turuti saja apa yang dikatakan kedua perawat kakak itu daripada berurusan dengan ayah. Apa kakak mau?"

Aku mengatakannya pada Kak Berlize seraya berjalan mendekatinya yang duduk di salah satu kursi meja makan ini.

"Tapi, saranku ... lebih baik jangan mencari masalah dengan ayah. Ayah akan sangat menyeramkan jikalau sudah geram," lanjutku dengan menjatuhkan badanku di atas kursi yang berhadapan dengan Kak Berlize.

"Hmmm, baiklah."

Kak Berlize bergumam dengan tangan yang meraih gelas yang berisi jus mangga—minuman favorite sejak dia kecil. Lalu beralih menggeser botol obat yang diberikan Jessy tadi di sebelah gelas jus mangganya.

"Claudi, di mana bunda?"

Pertanyaan Kak Berlize inilah yang sampai sekarang belum bisa kujawab. Sedari tadi aku juga belum pernah melihat kehadirannya—Lissa yang dianggap sebagai bunda.

"Aku tidak tahu, Kak."

Jawabanku berhasil membuat Kak Berlize menatapku geram. Membuat bulu kudukku meremang ngeri lantaran tatapannya yang benar-benar menyudutkan.

"Jessy ... di mana bunda?"

Tanpa mengalihkan pandangannya dariku, Kak Berlize bertanya pada Jessy. Membuat tubuhku mendadak berkeringat dingin. Kenapa Kak Berlize terlihat menakutkan?

Ayolah, Claudi! Dia masih orang yang sama. Jangan terlalu berlebihan menyikapi orang yang sedang terguncang jiwanya.

"Mungkin sedang bersiap-siap, Non."

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang