32. Terlalu Perih

1.1K 74 0
                                    

Langkah kakiku berhenti lantaran Oma yang mendadak membalikkan badan di saat kami sedang berjalan. Membuat kerutan di dahiku terlukis sebentar sebelum Oma menginterupsi untuk tak bergerak lebih lanjut. Dalam hatiku yang terdalam rasa perih kian bertambah tebal. Apa sesusah inikah untuk menggapai orang yang kusayang?

"Lissa berada dalam kamar ini. Dia sedang tertidur, Sayang."

Oma berucap sebelum beralih membukakan pintu ruang kamar yang sedang ditempati Lissa. Lantas netra hitamku langsung bergulir pada ruangan yang bernuansa abu-abu itu. Menampakkan Lissa yang sedang terbaring di atas ranjang, tertidur lelap.

Perlahan langkah kakiku mendekat pada ujung pintu, berharap dapat menatap Lissa lebih dekat. Wajahnya benar-benar tak menampik kemungkinan perihalnya yang sedang mengalami leukimia. Pucat mulai mendominasi bagian kulit wajahnya. Apa kami sebegitu tak memerhatikan Lissa selama ini? Hingga penyakit mematikan itu baru kami ketahui.

Rasa sesak dalam rongga dadaku kembali menjalar liar. Menggerogoti setiap sudut hatiku sampai hancur tak berbentuk. Ini terlalu sakit, hanya bisa melihat Lissa yang terbaring jauh dari jangkauanku.

Tanganku terkepal erat berharap bisa meredam amarah yang ingin segera keluar membludak. Entah pada siapa. Semuanya seakan buntu dalam mencari jawaban yang terus memenuhi otak kecilku.

"Bunda ...."

Suara Lissa berhasil mengendurkan kepalan tanganku. Menghapus rasa marah yang sempat hadir. Tergantikan dengan tetes bulir bening yang keluar tanpa izin. Lissa menyerukan bunda di saat tubuhnya tertidur lelap, mata terpejam rapat. Mungkin dia sedang memimpikan bunda.

Air mata terus mengalir mulus di kedua belah pipiku. Tak menampik kemungkinan penyebabnya hanya ada dua. Perihal Lissa yang hanya bisa kupandangi dari jauh dan bunda yang kemungkinan besar dimimpikan Lissa.

Andaikata aku bisa ke sana. Membangunkan Lissa lalu mendekapnya setelah menyadari jikalau yang dialaminya tadi hanyalah sebuah mimpi. Menenangkannya yang sedang merindukan bunda. Berbincang-bincang dengannya untuk terakhir kalinya.

Lagi-lagi semuanya hanya sebatas anganku saja. Terbukti dengan tubuhku yang hanya bisa mematung di ujung pintu. Hanya mampu menatapnya sebagai pelepas rasa rindu untuk waktu yang akan datang; setelah Oma membawa si bungsu keluarga kami pergi jauh dari sini.

Segera kuhapus bekas air mata di pipi. Berharap juga bisa menghapus jejak kesedihan dalam hati. Aku mengerti perihal kekhawatiran Oma dan aku juga paham akan larangan Oma.

"Oma ... jika nanti Lissa sempat bertanya perihalku, jawab saja aku sedang merindukannya. Tolong katakan bahwasanya hanya dia seorang yang kumau sebagai teman sekaligus adik kecil yang tersayang. Maka untuk itu, jika dia juga sempat merindukanku, tolong jangan patah semangat untuk sembuh. Cepatlah untuk pulih agar segera bisa bertemu kembali."

Air mata terus merembes keluar seraya kata demi kata kulontarkan pada Oma. Badanku hampir limbung sebab rasa sesak yang sudah tak karuan. Bahuku gemetaran lantaran jerit tangis yang masih berusaha untuk kutahan. Kakiku mulai melangkah mundur seraya kepalaku yang mulai menggeleng frustrasi, menjerit histeris dalam hati.

Berharap semuanya hanyalah mimpi.

Di saat aku hendak berlari pergi, tubuhku ditarik oleh seseorang. Mendekapku dalam pagutan kasih sayang.

Oma, kiranya.

Aku hanya membisu dengan air mata yang masih berlomba-lomba untuk keluar. Membuat pakaian Oma basah di beberapa tempat.

"Tetap tenang, Sayang. Lissa pasti akan sembuh."

Oma berujar dengan tangan yang terus mengelus lembut surai sebahuku. Berusaha menenangkanku yang realitanya tak mempan sama sekali. Rasa sakit itu terlalu mengendap dalam. Membiarkan beratnya beban menghimpitku tanpa perasaan.

Segera kuurai pelukan Oma lalu menatap Lissa sekali lagi. Untuk terakhir kalinya sebelum Oma membawanya ke sana, jauh dariku tentunya.

Tanpa bergerak mendekat, tanpa ucapan semangat, aku hanya menatap Lissa lamat-lamat. Merekam kuat-kuat paras indah adik kecilku yang amat mirip dengan bunda—orang tersayang kami yang masih belum bisa ditemukan.

"Lissa, kakak pulang dulu. Cepatlah pulih ... kakak menunggumu di sini."

Salam perpisahan yang seharusnya kuajukan langsung pada Lissa ternyata hanya terucap dalam hati saja. Malah membiarkan mulut terkatup rapat, tubuh mematung di tempat.

Tanpa berucap apa pun pada Oma, aku segera berlari pergi. Meninggalkan Lissa yang sebentar lagi akan meninggalkanku di sini. Tanganku terus berusaha menghapus air mata yang masih mencoba untuk keluar jua.

Di sela-sela aksi berlariku menuju pintu keluar rumah megah ini, kenangan bersama Lissa berlomba-lomba merasuk masuk dalam pikiranku. Membuat jerit tangis sudah tak bisa kutahan lagi, tidak terlalu keras tapi cukup memilukan bagi yang mendengar.

Mobil yang sedang berisi Pak Toni di dalamnya sudah nampak dalam pandangan. Membuat langkah kakiku semakin cepat dalam berlari. Segera masuk lalu duduk dalam diam di belakang. Menghapus jejak air mata dengan kembali berusaha menahan jeritan pilu yang akan kembali terdengar.

"Apa kita langsung pulang ke rumah, Non?"

Pertanyaan Pak Toni langsung kuiyakan. Tanpa bersusah payah untuk sekadar beranggapan beliau menatap iba padaku.

Aku tidak peduli.

Memejamkan mata selama perjalanan itu lebih baik yang kulakukan. Dengan harapan saat aku kembali membuka mata, semuanya berubah; seperti sedia kala, seperti seharusnya.

Tapi sayang seribu sayang, semakin lama aku menutup mata, maka semakin dalam pula luka yang ada. Kembali berputar otomatis semua permasalahan dan kenangan secara acak. Membuat kepalaku ingin meletus saking sakitnya.

Tepat saat aku membuka mata, Pak Toni langsung berkata bahwasanya kami sudah sampai kembali di rumah. Sebegitu lamakah aku menutup mata? Hingga tanpa kusadari sudah sampai kembali di sini. Artinya sudah selama itu pula luka ikut meneror batinku tanpa siapa pun yang tahu.

Baru menginjak lima langkah memasuki rumah, suara pekikan Kak Berlize sudah memenuhi ruang besar ini. Di sana, terlihat Kak Berlize yang dipaksa pergi oleh empat orang perawat. Dua diantaranya adalah Grail dan Jessy sedangkan yang lainnya, aku pun tak mengenalnya.

"Lepaskan aku! Aku tidak mau pergi bersama kalian! Aku mau bertemu bunda! Apa kalian tidak bisa mendengar, huh?"

Teriakan Kak Berlize semakin keras dengan dirinya yang terus berusaha dibawa turun dari satu anak tangga ke anak tangga lainnya.

Apa maksudnya?

Kenapa Kak Berlize dipaksa oleh mereka?

"Ayah, apa yang terjadi?"

Aku bertanya dengan cepat setelah melihat ayah sampai di lantai bawah lebih dahulu. Menghampiriku yang menatap kebingungan sendirian.

"Sayang ... Berlize harus dibawa mereka sekarang. Kepergian Lissa benar-benar membuat jiwanya semakin terguncang seperti yang pernah Dokter Rio katakan. Claudi ingat, bukan?"

Ayah mengatakannya seraya memegang bahuku erat. Berusaha memberikan penjelasan yang tanpa kuminta sudah ayah paparkan.

"Lalu ke mana mereka akan membawa Kak Berlize, Ayah?"

Pertanyaanku dibalas dengan embusan napas berat oleh ayah terlebih dahulu sebelum mengatakan suatu hal yang membuat air mataku langsung berhamburan keluar.

"Dikarenakan kondisi kesehatan jiwanya yang sudah sangat tidak baik, dia harus dirawat di rumah sakit jiwa untuk pengobatan sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan."

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang