17. Luka yang Terpendam

1.7K 119 1
                                    

Kakiku terus berayun menapaki trotoar yang akan menuntunku pada rumah—tempatku untuk berpulang. Kuseka bulir air mata yang terus mengalir deras membasahi pipiku.

Dulu, bunda adalah orang yang selalu menemaniku saat berjalan pulang. Dulu, bunda tidak akan membiarkanku merasa kesepian. Tapi sekarang...

...aku sendirian!

Kumenengadah menatap langit biru yang amat cerah. Berbanding terbalik dengan suasana hatiku. Bukan pertama kali lagi bagiku untuk tersenyum miris meratapi bunda yang masih belum ditemukan.

Bunda di mana? Aku sangat merindukan bunda.

Dadaku kembali sesak mengingat bunda. Kupilih menekuk wajahku ke bawah berniat agar tidak ada orang yang melihatku menangis. Ingat? Aku masih berjalan di atas trotoar. Yang pastinya banyak mobil berlalu-lalang.

Kembali kuseka bulir bening itu sebelum ada yang menyadari gelagat anehku. Kutegakkan kembali kepalaku menghadap ke depan. Lalu berlari agar cepat sampai di rumah. Aku sudah tidak tahan!

Kurasakan angin menyentuh wajahku yang masih basah akan air mata. Entahlah! Rasanya mataku terus mengeluarkan airnya dengan hatiku yang terasa perih.

Aku terus berlari. Berharap saat aku pulang, bunda memarahiku karena tidak menunggunya untuk menjemputku. Berharap Kak Sam mengumpat kesal karena panik tidak mendapatkanku berada di depan gerbang sekolah. Berharap dering teleponku terus-terusan berbunyi karena Kak Berlize ingin mengomeliku. Dan berharap ayah pulang tanpa menyelesaikan pekerjaannya yang masih terbengkalai di kantor. Serta Lissa yang akan mencubit perutku tanpa ampun sebab sudah membuat semua anggota keluargaku panik tak karuan.

Seperti dulu!

Isakan kecilku mulai terdengar di sela-sela kakiku berlari dengan kecepatan sedang. Aku sudah benar-benar tidak tahan. Aku sudah tidak peduli apa kata orang. Aku hancur. Dan mirisnya tak ada yang mengetahuinya.

Puncak rumahku sudah terlihat. Itu artinya aku hanya butuh waktu sebentar lagi untuk bisa melihat harapanku akan terkabul atau pupus.

Napasku sudah tidak karuan dengan wajah yang sudah bersimbah air mata. Kuhentikan langkahku tepat di depan gerbang rumahku.

Kuembuskan napas kasar sembari menghapus air mata di pipiku. Sejenak kupejamkan mata berniat menetralisirkan rasa yang sudah berkecamuk hancur dalam dadaku.

Pelan-pelan kulangkahkan kakiku memasuki pekarangan rumah. Mendadak semuanya seakan mengelilingiku dalam kesedihan. Angin yang berhembus dingin, dedaunan pohon yang melambai-lambai pilu, dan gemuruh di langit yang mulai terdengar pertanda akan turunnya hujan. Seolah-olah benar-benar menyambutku untuk pulang.

Daun pintu sudah terdorong menampakkan rumah yang kosong.

Hampa dan suram.

Langkah kakiku bergema dalam rumah, menandakan betapa sunyinya ruangan besar nan megah itu. Dan sekali lagi, ini sangat berbeda ... sebelum hari di mana bunda menghilang itu tiba.

Sudah jelas harapanku pupus akan semua pikiranku tadi. Dan sekarang yang ada hanyalah sebuah kenangan. Kenangan yang entah kapan bisa kembali terulang.

Aku masih setia mematung di tengah-tengah rumah. Berharap ada yang datang lalu memarahiku. Sekali lagi, aku rindu akan hal itu.

Kuhela napasku dengan pasrah. Itu tak akan terjadi, mengingat tak ada tanda-tanda kehidupan di sini, kecuali aku yang masih berdiri.

"Ayah, bunda, Lissa, Kak Sam, Kak Berlize ... kalian di mana?"

Aku mulai meracau dengan suara yang terdengar parau. Lalu mulai memutar-mutar badanku sendiri seraya memanggil semua anggota keluargaku.

Ke mana mereka? Aku tahu bunda belum ditemukan, tapi kenapa mereka juga tidak ada? Apa mereka berniat meninggalkanku juga?

Tangisku pecah sudah. Tubuhku merosot jatuh ke lantai. Memukul-mukul lantai berniat melampiaskan segala kecamuk rasa. Sedih, kecewa, hancur, dan marah. Aku merasakan semuanya.

"Bundaaa!!!"

Teriakanku menggelegar seraya tubuhku yang sudah berguncang hebat lantaran menangis kencang. Meraung-raung agar bunda segera datang. Kuseka air mataku kasar sembari kembali berdiri lalu meraih guci yang terletak di atas meja ruang tengah.

Prang!

Pecahan guci berserakan di atas lantai, tak jauh dari tempatku berdiri. Dadaku naik turun menahan amarah—luapan kesedihan yang selama ini berusaha kupendam.

Kembali kuraih guci yang lainnya berniat menghancurkannya sama seperti yang sebelumnya. Belum sempat kubanting, ukiran nama 'Claudi' pada permukaan luar guci berwarna silver ini berhasil menggagalkan aksi brutalku.

"Bundaaa," ucapku dengan suara yang terdengar rapuh.

Dulu bunda yang meminta pada ayah agar mengukir namaku pada guci cantik ini. Sama seperti namaku yang indah kata bunda.

Aku kembali meraung-raung sedih. Lalu memeluk guci berwarna silver itu dengan air mata yang semakin mengalir deras tak ada habisnya. Berharap yang sedang kupeluk adalah bunda.

Tubuhku kembali merosot jatuh ke lantai. Kali ini kusandarkan punggungku pada belakang sofa. Dinginnya lantai kurasakan sama seperti hatiku yang telah suram.

Kulirik guci itu dengan pandangan memburam lantaran air mata yang terus menggenang di pelupuk mataku. Kemudian kupejamkan mata berniat agar pandanganku kembali jelas. Aku ingin melihat ukiran namaku ini sekali lagi.

My lovely daughter.

Di bawah ukiran namaku terdapat tulisan itu, membuatku kembali menangis tersedu-sedu. Merindukan bunda.

Seketika aku bangkit mengingat betapa bodohnya aku menangis di sini. Kurasakan kepalaku sakit, mata sembab, dan rambut yang berantakan. Kuharap aku tidak menjambak rambutku sendiri tadi.

Kuletakkan kembali guci itu pada meja yang berada di dekat dinding, membiarkannya berada diantara guci lainnya. Melihat itu, aku tersenyum nanar. Bunda suka mengoleksi guci.

Kuraih tasku yang tergeletak di lantai lalu berlalu pergi ke arah tangga melewati pecahan kaca yang berserakan di sana. Aku akan membereskannya nanti setelah aku selesai mandi. Mengingat penampilanku sudah benar-benar kacau sekarang.

Kuputuskan segera menaiki anak tangga seraya masih berusaha menenangkan diri sendiri. Kupegang gagang pintu kamarku berniat untuk secepatnya memusnahkan rasa sedih. Daun pintu kamarku sudah terbuka menampilkan sebuah ruangan yang nampak suram. Membuatku tersenyum miris.

Kulepas sepatu hitamku lalu meletakkannya pada rak sepatu. Sebelum memasuki kamar mandi, kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 2.45 siang. Itu artinya sudah dua puluh lima menit, aku menangis tak karuan di lantai bawah tadi. Mengingat aku hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk sampai ke rumah jikalau ditempuh dengan berlari.

Sekarang aku sudah nampak lebih baik daripada beberapa menit yang lalu. Ya, walaupun mataku masih terlihat sembab. Kupilih segera melangkahkan kakiku menuruni anak tangga berniat membereskan kekacauan yang kuperbuat tadi. Lalu kuambil sapu dan tong sampah untuk membersihkan lantai dari pecahan guci. Di sela-sela kegiatanku itu, Pak Toni datang tergesa-gesa menghampiriku.

"Non Berlize kecelakaan, Non. Maka dari itu, saya diperintahkan oleh Tuan untuk mengantarkan Non Claudi ke rumah sakit. Tuan dan yang lainnya sudah berada di sana."

Bagaikan disambar petir tubuhku mendengar ucapan Pak Toni. Bahkan sapu yang berada dalam genggamanku jatuh ke lantai. Menghasilkan suara nyaring khas barang terjatuh.

Aku hanya diam membisu seraya air mata kembali mengalir di pipiku. Bibirku terkatup rapat seolah-olah aku sudah tidak bisa menyahut ucapan Pak Toni. Tubuhku tidak bisa digerakkan bak patung yang mati.

Sekali lagi, kabar buruk terdengar olehku.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang