Dinginnya air begitu terasa oleh kulitku ketika kaki kuceburkan masuk ke dalam kolam renang di belakang rumah. Dengan duduk di tepi kolam renang, aku mengamati pantulan diriku pada air ini. Tak ada yang terlalu berarti, tak ada yang menarik atensi.
Semuanya terasa biasa saja.
Akhir pekan ini begitu terasa membosankan. Tidak seperti akhir pekan biasanya yang selalu kuhabiskan bersama keluargaku dengan canda tawa. Kemarin sudah menguras air mata dan jiwa, hari ini seakan hidupku sudah tak berguna.
Sendirian, sepi, dan penuh dengan rasa benci ... pada diri sendiri.
"Apa tidak ada niat untuk berenang, Dek?"
Pertanyaan itu mencuri atensiku. Tanpa kukatakan, kalian pun pasti sudah tahu siapa pemilik suara yang sejak kemarin kuabaikan. Dengan terus melangkah mendekati kolam renang, Abang Rey mengucapkan kalimat penuh tanya itu. Lalu duduk di sampingku dengan ikut merendamkan separuh kakinya pada air di kolam renang.
"Dek ...."
Sahutan Abang Rey hanya kudiamkan, amat tak berminat membalasnya.
"Bagaimana kalau kita main keluar? Sekadar menikmati akhir pekan ini," ajak Abang Rey dengan tatapan penuh rasa harap. Menyebabkanku segera mengalihkan pandangan darinya.
"Menurut kabar yang beredar, ada taman baru di tengah kota. Dengan beragam macam warna khusus bunga mawar. Abang yakin pasti tamannya sangat indah," ucap Abang Rey berusaha menarik perhatianku.
"Dek ... apa adek tak ingin main keluar hari ini? Besok sudah mulai kembali sekolah. Apa adek tak ingin bersenang-senang hari ini?"
Tanpa mengacuhkan ucapan Abang Rey, aku malah pergi meninggalkannya yang masih berbicara panjang lebar. Tak bersusah payah untuk sekadar menanggapinya. Katakanlah aku jahat, aku sudah amat lelah.
Sebelum sampai di depan kamarku, hatiku tergerak untuk mengunjungi kamar Lissa. Tujuanku hanya satu; ingin melihat sebuah album yang pernah diberikan oleh kami semua pada Lissa sebagai hadiah ulang tahunnya yang kesembilan.
Ruangan yang bernuansa putih biru langsung kutangkap dalam indra penglihatanku ketika membuka pintu kamar Lissa. Amat khas dengan sifat Lissa yang kekanak-kanakan. Boneka yang berada di mana-mana. Meskipun terlihat acak, tapi masih enak untuk dipandang.
Langkah kakiku terus menyusuri ruang kamar Lissa. Berusaha segera menemukan benda yang penuh potret kebahagiaan itu. Lantas apa yang membuat semuanya hanya berada dalam kenangan? Apakah aku yang bersalah? Atau memang keadaan yang sedang mempermainkan?
Netra hitamku sontak terpaku pada sosok yang sedang berdiri di depan pintu. Dengan tangan yang menggenggam sebuah barang yang kuyakini adalah album yang dibalut sampul berwarna abu-abu.
"Dek ...."
Panggilan itu semakin membuatku muak. Dengan tangan yang terkepal erat berharap bisa meredam amarah yang kemungkinan akan membludak, aku memandang jemu Abang Rey yang mulai melangkah menghampiriku.
"Abang kemarin meminjam album ini. Hanya sekadar melepas rindu pada mereka. Apa adek sedang mencari album ini?"
Tanpa menjawab pertanyaan Abang Rey, aku segera merebut album itu dari genggamannya. Kemudian keluar dari kamar Lissa, mengabaikan rasa terkejut yang pastinya dirasakan oleh Abang Rey.
"Jika adek ingin memarahi abang ... silakan. Jika adek membenci abang ... silakan. Jika adek tak ingin bercengkrama dengan abang ... juga silakan. Tapi tolong untuk satu hal ... jangan seperti ini, Dek. Jangan adek bersikap seolah-olah adek tak punya siapa-siapa. Abang di sini untuk adek. Ayah dan mama di sini, Dek."
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Heart [Completed]
Teen Fiction"Bagiku, rumah adalah tempat terindah di bumi dan ayah adalah kebanggaan kami." Bahagia? Tentu saja! Namun... ...semuanya begitu sempurna sebelum bunda menghilang secara tiba-tiba. Semuanya akan baik-baik saja jikalau ayah pulang tanpa membawa mere...