18. Hujan

1.4K 120 2
                                    

Aku tersentak dari lamunanku ketika merasakan bahuku diguncang oleh seseorang. Pak Toni kiranya.

"Non Claudi baik-baik saja?"

Suara Pak Toni terdengar cemas. Mungkin karena aku mendadak seperti patung tak bernyawa dalam sekejap. Aku ingin mengulas senyum tanda aku baik-baik saja. Namun, nihil. Wajahku menjadi kaku.

"A-aku baik-baik saja, Pak."

Suaraku terdengar lirih. Menampilkan kegetiran yang tak bisa kututupi lagi. Mataku menatap kosong pada pintu depan rumah yang terbuka lebar. Aku sangat ketakutan.

Kak Berlize. Kuharap dia baik-baik saja.

"Non, biar bapak bantu membereskan pecahan kaca ini," ucap Pak Toni seraya mengambil sapu yang terjatuh dari genggamanku tadi.

Refleks aku langsung mengambil alih sapu itu, tidak membiarkan Pak Toni melakukannya. Meskipun dia hanyalah seorang supir di rumah ini, tapi aku harus tetap menghormatinya. Pak Toni juga orang yang lebih tua dariku.

"Tidak usah, Pak. Aku bisa melakukannya," tolakku halus dengan segera membersihkan lantai tersebut dari beling kaca itu.

Aku langsung berdiri berniat meletakkan tong sampah yang sudah berisi pecahan kaca ini ke belakang rumah.

"Non Claudi ... bapak tunggu di depan, ya?"

Pak Toni berujar dengan tersenyum padaku. Aku hanya mengangguk menjawab ucapan Pak Toni, lalu berlalu pergi setelah melihat Pak Toni berjalan ke luar rumah. Menungguku di dalam mobil.

Segera kututup pintu rumah tanpa lupa menguncinya. Lalu bergegas menghampiri mobil yang sudah terparkir di depan pagar bersiap melaju keluar. Di sela-sela kakiku berjalan, tangan kananku melepas resleting saku jaket yang kukenakan, berniat memasukkan kunci rumah agar tak hilang jika masih dalam genggaman tanganku.

Setelah sampai di samping mobil, kembali kututup resleting saku jaket yang kulepas tadi sebelum membuka pintu mobil. Lalu melirik sebentar ke belakang yang sukses memperlihatkan rumah yang sekarang kembali kosong sama seperti saat aku pulang sekolah tadi.

Gemuruh kembali terdengar bersahut-sahutan di langit yang membuatku spontan langsung masuk ke dalam mobil, duduk di bangku penumpang.

"Apa ada tempat persinggahan sebelum ke rumah sakit, Non? Mungkin Non Claudi ingin makan."

Pak Toni berucap seraya mulai menyalakan mesin mobil.

"Tidak," jawabku seadanya. Aku memang belum makan siang, tapi aku sudah tidak berselera sekarang.

"Baiklah, Non."

Suara Pak Toni kembali terdengar.

Mobil mulai melaju keluar dari pekarangan rumah. Menerobos air hujan yang mulai jatuh menetes. Mencuri atensiku. Semakin lama hujan semakin deras, membuat Pak Toni melambatkan laju mobil menghindari kemungkinan akan kecelakaan.

Aku masih setia menatap air hujan dari balik kaca mobil. Membuatku secara tak sadar telah menangis dalam diam.

Dulu, bunda pernah memarahiku karena bermain hujan-hujanan. Alih-alih aku mendengarkan, yang ada aku malah mengabaikan amukan bunda. Alhasil, bunda memanggil semua anggota keluargaku lalu menyuruh mereka menangkapku. Aku bahkan masih ingat perihal bunda yang sangat anti dengan air hujan. Kata bunda, hujan adalah lambang kesedihan. Tapi tidak denganku maupun anggota keluargaku yang lain. Mereka malah ikut menari di bawah hujan bersamaku, membuat bunda semakin murka.

Sudut bibirku terangkat ke atas menampilkan sebuah senyuman tipis ketika mengingat kami tertawa riang dalam hujan sedangkan bunda malah berteriak histeris menyuruh kami agar segera berhenti.

Kuseka air mataku kala mengingat esoknya bunda malah mengurusi kami yang sakit tanpa lupa menggerutu sebal. Namun, bunda tetap merawat kami meskipun kewalahan. Mengingat yang sakit sebanyak lima orang.

Kutarik napasku dalam-dalam berniat menghentikan aliran air mata agar tidak menyeruak keluar lagi. Lalu memejamkan mata sejenak dengan tangan yang meremas tepi bawah jaketku.

Dadaku kembali sesak.

Kemudian kubuka mata yang kembali berkaca-kaca mengingat kabar tentang Kak Berlize. Aku takut.

"Payung untuk Non Claudi ada di samping. Kita hampir sampai."

Suara Pak Toni menyadarkanku kembali. Refleks mataku langsung bergulir ke arah sampingku. Menatap sebuah payung berwarna hitam. Hei, kenapa ada payung berwarna hitam di sini?

"Non, kita sudah sampai."

Atensiku kembali teralihkan pada Pak Toni yang baru selesai memarkirkan mobil di depan Rumah Sakit Permata—tempat Kak Berlize dirawat.

Tanpa pikir panjang segera kuraih payung tersebut setelah menutup kepalaku dengan tudung jaket abu-abuku. Hujan masih deras membuat kakiku yang hanya beralaskan sepasang sandal menjadi basah terkena cipratan air hujan.

Setelah sampai di depan rumah sakit, aku teringat bahwa Pak Toni belum mengatakan di mana ruangan Kak Berlize. Membuatku refleks kembali berjalan menuju mobil. Namun, sebelum aku sempat melangkah, Pak Toni sudah berada di sampingku.

"Mari, Non! Bapak antarkan ke ruangan Non Berlize," ujar Pak Toni dengan kaki yang mulai melangkah di sampingku. Sebenarnya beliau tak perlu repot-repot seperti ini, aku hanya butuh petunjuk dari Pak Toni akan ruangan Kak Berlize, lalu bisa mencarinya sendiri. Namun, aku juga tak mau membantah ucapan orang yang lebih tua dariku.

Aku terus berjalan mengikuti arah langkah kaki Pak Toni. Mataku beralih menatap payung hitam dalam genggamanku. Membuatku kembali dilanda kebingungan. Untuk apa payung ini berada dalam mobil khusus mengantar Lissa sekolah? Apa Lissa sehabis menghadiri pemakaman seseorang?

Mendadak ketakutanku menyeruak begitu saja. Bukan Kak Berlize, 'kan?

Tunggu!

Jika orang itu adalah Kak Berlize. Lantas mengapa aku sekarang melangkah menuju ruang rawat Kak Berlize?

"Pak ... Kak Berlize baik-baik saja, 'kan?"

Kuputuskan segera bertanya saja daripada terus memikirkan hal-hal yang buruk. Jantungku menjadi berdegup kencang menanti reaksi Pak Toni.

"Saya tidak tahu pasti  Non. Tapi tadi Tuan bilang bahwasanya Non Berlize sedang diberi penanganan medis," tutur Pak Toni tanpa menghentikan langkahnya.

Aku kembali bernapas lega. Harusnya aku lebih berpikir logis sekarang. Jika Kak Berlize sudah dimakamkan, lantas untuk apa ayah memintaku datang ke sini? Seketika aku merutuki kebodohanku sendiri. Mungkin akibat kebanyakan menangis, otakku menjadi lemot.

"Non, ini ruangannya," unjuk Pak Toni setelah kami berhenti di sebuah pintu bernomor 456.

Aku mengangguk sebelum meraih gagang pintu tersebut. Kulihat Pak Toni duduk di kursi lorong rumah sakit, di depan ruangan ini. Mungkin beliau tidak ingin masuk ... atau memang sekadar untuk istirahat di sana.

Kudorong daun pintu itu, hingga nampaklah Kak Berlize yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Alat bantu pernapasan melekat menutupi mulut dan hidungnya. Tak jauh dari Kak Berlize, terdapat beberapa orang yang tengah menatapku. Ayah, Lissa, dan satu orang asing.

"Claudi ... kemarilah, Nak!"

Ayah memanggilku.

"Ya, Ayah."

Aku berucap patuh seraya melangkah mendekati ayah. Wajah ayah terlihat lelah. Mungkin karena memikirkan keadaan Kak Berlize.

"Apa Claudi sudah makan?"

Ayah bertanya padaku dengan tangan yang masih memeluk Lissa. Mata Lissa terlihat berair. Mungkin dia habis menangis. Belum sempat aku menjawab pertanyaan ayah, suara pintu terbuka mengalihkan perhatian kami.

"Claudi! Syukurlah kau sudah datang, Nak."

Suara itu terarahkan padaku. Dia mulai berjalan mendekat pada kami—padaku dan ayah. Orang asing yang satu ini terlalu banyak bicara sejak mereka masuk ke dalam rumah kami.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang