48. Mimpi

2.2K 104 1
                                    

"Luka yang terdapat di kepala pasien sangat fatal. Darah pun sudah begitu banyak keluar. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin ... namun nyawa pasien tidak bisa kami selamatkan."

Ucapan dokter itu membuat kami semua bungkam. Hening melanda sebelum pekikan histeris Mama Verty memecahkannya. Tubuhku menegang, air mata tak bisa lagi kucegah.

Tidak bisa diselamatkan?

Kuharap aku salah dengar.

Ayah sudah mulai berdebat dengan dokter yang mengoperasi Abang Rey sedangkan Mama Verty sedang berusaha ditenangkan oleh wanita yang membantuku tadi.

Kepalaku begitu terasa sakit, otakku seakan susah mencerna semua ini, dadaku sesak mendengar kalimat dokter yang terus terngiang-ngiang dalam pendengaran.

Ini tidak mungkin!

Dengan terus meyakinkan diri, aku mulai melangkah masuk ke dalam ruang operasi Abang Rey tadi. Mengabaikan Ayah dan Mama Verty yang sudah kacau.

Mulutku membisu, tanganku terkepal erat, pundakku bergetar hebat. Di sana, di atas pembaringan ... nampak Abang Rey yang ditutupi oleh kain penutup jenazah.

Tanganku bergetar ketika mencoba untuk menurunkan kain penutup itu dari wajah Abang Rey. Seketika tanganku langsung membekap mulutku sendiri, menahan jeritan yang akan keluar.

Tetes demi tetes air mata berjatuhan, menatap wajah Abang Rey yang sudah amat pucat. Segera kuraih tangan Abang Rey yang sangat dingin, membuat air mata semakin merembes keluar.

"Abang ... bangun, Bang. Buka mata abang. Jangan seperti ini ... ini amat tak lucu."

Aku mulai meracau dengan tangan yang mengguncang-guncang tubuh Abang Rey. Berharap dia bisa kembali membuka mata.

"Abang jahat! Abang benar-benar jahat!"

Aku berucap dengan napas yang tak beraturan.

"Tiiidddaaakkkk!!!"

Napasku naik turun setelah berteriak kencang, keringat membanjiri pelipisku. Dengan tangan yang menggenggam erat selimut, aku berusaha menetralkan pernapasanku. Kulirik jam dinding sudah menunjukkan pukul 8.07 malam.

Itu artinya aku sudah tertidur selama kurang lebih empat jam.

"Hanya mimpi," ujarku dengan tangan yang mulai mengusap wajah.

Jantungku masih berpacu hebat. Kejadian itu seperti nyata. Begitu jelas terekam dalam ingatanku. Tanpa pikir panjang, kakiku langsung melangkah keluar kamar, berniat menghampiri Abang Rey yang kemungkinan berada di dalam kamarnya.

Perasaanku masih tak karuan. Memastikan bahwa mimpi tadi benar-benar hanya sekadar mimpi. Aku harus memastikannya sendiri.

Pintu kamar Abang Rey terbuka yang sukses menampakkan ruang kamar yang pernah menjadi tempat favoritku menghabiskan waktu luang.

Kualihkan perhatianku pada Abang Rey yang sedang terbaring di atas ranjang. Tubuhnya menggigil. Racauan juga samar-samar terdengar olehku. Dahiku mengernyit aneh melihat Abang Rey.

Apa yang terjadi padanya?

Lantas aku langsung berjalan mendekati ranjang Abang Rey. Lalu duduk di tepi ranjang dengan tangan yang berinisiatif menyentuh dahi Abang Rey.

Apakah dia demam?

Aku terkejut di saat merasakan pinggangku ditarik oleh Abang Rey, mendekapku dengan eratnya. Kulirik Abang Rey yang masih tertidur.

Dengan tubuh yang terus menggigil, dia mengigau tak jelas. Sesekali kudengar Abang Rey berucap kata 'adek' yang entah untuk siapa; entah aku atau pun Sofia.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang