Setelah seminggu lamanya Kak Berlize dirawat di rumah sakit, dia sudah ingin pulang ke rumah dengan alasan sudah baik-baik saja. Meski pada kenyataannya, dia akan duduk di atas kursi roda. Entah sampai kapan lamanya.
"Berlize ... apa sudah makan siang, Sayang?"
Pertanyaan ayah dibalas anggukan semangat oleh Kak Berlize. Bagaimana tidak? Asalkan bersama Lissa, Kak Berlize akan tetap bahagia. Dan perihal kesehatan jiwa Kak Berlize, ayah sudah bisa meyakinkan Lissa untuk membantu kesembuhannya.
"Ayah ... apa bunda masih lama?"
Ayah tersenyum mendengar lontaran pertanyaan yang keluar dari mulut Kak Berlize. Lalu berucap sembari mengelus sayang surai kecokelatannya.
"Bunda masih tidur, Sayang. Bukankah Berlize tahu jikalau mengajar itu cukup melelahkan?"
Bohong!
Semua itu hanya alibi kami semua. Menjadikan Lissa sebagai bunda, membohongi Kak Berlize agar semuanya tetap baik-baik saja. Dan ya, aku termasuk dalam permainan konyol ini.
Semuanya demi Kak Berlize, demi kesembuhannya.
"Non Berlize, sudah sebaiknya waktu tidur siang."
Salah seorang perawat Kak Berlize yang dibawa oleh ayah untuk ikut ke rumah datang menghampiri Kak Berlize yang sedang bercengkrama ria dengan ayah di taman depan rumah.
"Grail. Kenapa kau selalu menggangguku saja? Aku tidak mengantuk! Jadi, jangan memaksaku untuk tidur siang sekarang."
Kulihat Kak Berlize mendelik kesal ketika mengatakan kalimat itu. Lalu menatap ayah seakan meminta pertolongan yang pastinya akan ayah tolak mentah-mentah.
"Berlize ... apa yang dikatakan Grail itu benar, Sayang. Sudah waktunya tidur siang."
"Ayah ... aku tidak mengantuk. Dan lagi pula aku bukan anak kecil lagi yang harus tidur siang."
Perbincangan antara ayah dan Kak Berlize langsung terhenti lantaran Lissa datang dengan tangan yang penuh oleh berbagai camilan. Membuat mata Kak Berlize langsung berbinar. Entah karena kehadiran Lissa atau camilan yang dibawanya.
"Bundaaa," jerit ria Kak Berlize menyambut Lissa.
Huh! Drama akan kembali dimulai!
"Ada apa?"
Lissa bertanya ketika telah sampai di hadapan mereka.
Kulihat ayah memijit pelipis lelah menghadapi sikap cuek Lissa, sangat irit bicara. Susah menjalankan peran sementaranya sebagai bunda. Alhasil Kak Berlize kembali dilanda kemurungan.
Refleks kakiku mulai melangkah menghampiri mereka semua. Berniat membantu ayah dan Grail untuk membujuk Kak Berlize supaya mau segera tidur siang. Jika bukan demi kesehatan Kak Berlize, kami tidak akan mau repot-repot menghadapi sifat keras kepalanya itu yang sukses menguji kesabaran kami semua.
"Jika bunda menemani kakak tidur siang ... apa kakak mau? Dan ya, camilan ini akan kita makan bersama bunda nanti," seruku dengan tersenyum paksa. Meyakinkan Kak Berlize agar segera menyetujuinya.
Kulihat mata Lissa langsung melotot lebar padaku. Menahan kejengkelan akan ucapan seenak jidatku. Berbeda dengan Kak Berlize yang langsung mengangguk semangat tanpa berpikir dua kali akan ucapanku itu.
"Asalkan bersama bunda ... aku mau," ujar Kak Berlize dengan senyum yang mulai mengembang manis.
See? Aku sudah hafal akan kalimat itu.
"Ya-ya-ya. Baiklah," ucap Lissa dengan tangan yang menyodorkan camilan yang dibawanya tadi padaku. Lalu membantu Grail mendorong kursi roda Kak Berlize masuk ke dalam rumah.
Ayah terlihat murung menatap mereka yang sudah hampir hilang dalam pandangan kami. Grail—perawat kesehatan jiwa Kak Berlize terus menemani Lissa agar tak kewalahan mendorong kursi roda yang diduduki Kak Berlize.
"Ayah ...."
Panggilanku berhasil mengambil alih perhatian ayah. Terbukti ayah langsung tersenyum melirik camilan yang sedang berada dalam pangkuanku.
"Hei, apa kita boleh mencuri sedikit camilan ini?"
Ayah berujar dengan mata mengerling jahil padaku. Membuat sudut bibirku berkedut manis ke atas.
"Tentu saja. Semuanya juga tak apa, bukan? Toh, ayah juga yang akan menggantikannya untuk Kak Berlize dan Lissa," balasku dengan nada penuh gurauan pada ayah.
"Hahaha, Sayang. Ayah belum mau diguliti mereka. Mereka cukup merepotkan jikalau sudah bekerja sama."
Air mata kembali menggenang di pelupuk mataku. Melihat ayah tertawa penuh canda setelah sekian lama. Jujur, aku sangat rindu akan pemandangan ini. Tapi sayang seribu sayang, semuanya entah kapan bisa kembali terulang. Mengingat bunda masih belum bisa ditemukan.
"Eh, Claudi. Ada apa, Sayang? Kenapa menangis? Apa ada yang sakit?"
Tawa ayah langsung berubah menjadi ucapan yang penuh rasa khawatir. Memegang kedua bahuku sembari terus mencari tahu alasan kenapa aku bisa menangis.
"Tidak, Ayah. Aku tidak apa-apa. Hanya merasa bahagia melihat ayah sedang tertawa."
Aku tidak berbohong, bukan?
Terlebih dari itu ... aku juga merasakan perih, asal ayah tahu.
"Sungguh anak ayah yang amat cengeng," kekeh ayah dengan tangan yang mulai mendekap tubuh mungilku.
Aku hanya diam dalam pelukan ayah. Tanpa membalas dekapan hangat ayah, tanpa berniat menyahut gurauan yang cukup menjengkelkan dari ayah.
"Ayah ... camilannya," seruku di saat ayah hendak lebih mengeratkan pelukannya.
Ayah kembali terkikik tak karuan menatapku yang menampilkan raut wajah panik. Karena apa? Aku tidak mau berurusan dengan Kak Berlize dan Lissa. Bisa-bisa aku habis dibuatnya.
"Tenang, Sayang. Kau terlihat seperti lebih menyayangi camilan itu daripada ayahmu ini," tutur ayah dengan mimik wajah sedih yang berusaha dibuat-buat.
"Tentu saja," balasku tak kalah menjengkelkan pada ayah.
"Dasar anak durhaka. Kemari. Biar ayah beri sedikit pelajaran."
Ayah kembali mengubah raut wajahnya dengan tampilan seakan-akan ingin menghukumku dengan geram. Membuat kakiku refleks menjauhi ayah seraya kekehan ringan yang mulai keluar dari bibir tipisku.
Ayah terus mengejarku dengan pelan. Seolah-olah benar-benar ingin memakanku hidup-hidup sekarang. Dan tawa kami yang terus menggelegar memenuhi aksi Tom & Jerry ini.
Di sela-sela aku berlari, kenangan bersama bunda terus berputar dalam otak kecilku. Bergurau bersama dengan semua anggota keluarga. Mengejarku yang dengan lancangnya menjahili mereka semua.
"Dapat."
Tawaku kembali terdengar di saat ayah mendekap tubuhku dari belakang. Menangkap dari aksi kabur-kaburan tadi.
"Ayah curang. Harusnya ayah yang membawa camilan ini," protesku pada ayah tanpa berhenti tertawa ria.
"Hei ... apa hubungannya dengan camilan itu, Claudi?"
Wajah ayah terlihat bingung menatapku dan camilan yang masih berada dalam genggamanku secara bergantian.
"Tentu saja ada kaitannya. Lihatlah ayah sekarang berhasil menangkapku karena langkahku disusahkan oleh camilan ini."
Lontaran kalimatku membuat ayah tertawa keras. Terbahak-bahak mendengar alasan konyolku. Ya, kuakui aku memang bodoh sekarang. Memberikan sebuah protesan yang amat tak berkelas? Tentu saja ayah akan mengejekku secara terang-terangan.
"Claudi. Berlari itu menggunakan kaki, Sayang ... bukan tangan."
Ayah berujar tanpa menghentikan tawanya yang sukses membuatku dongkol saja. Apa-apaan itu? Ayah mengejekku?
"Ayah jahat."
Nada khas orang yang sedang merajuk langsung keluar dari mulutku. Berharap ayah segera meredakan tawanya itu. Apa aku dijadikan sebuah bahan lelucon ayah sekarang?
Namun, di dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku amat menginginkan semua ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Heart [Completed]
Teen Fiction"Bagiku, rumah adalah tempat terindah di bumi dan ayah adalah kebanggaan kami." Bahagia? Tentu saja! Namun... ...semuanya begitu sempurna sebelum bunda menghilang secara tiba-tiba. Semuanya akan baik-baik saja jikalau ayah pulang tanpa membawa mere...