Sudah seminggu bunda menghilang, sudah seminggu pula keadaan rumah menjadi tak karuan.
Kak Berlize yang mendadak menjadi gadis pendiam. Kak Sam yang benar-benar berantakan. Aku pikir dia hampir frustrasi karena bunda masih belum ditemukan. Serta Lissa yang terus-terusan menangis meminta bunda agar segera dibawa pulang. Dan jangan lupakan ayah yang hanya tidur dua jam setiap harinya.
Itu pun atas paksaan kami.
Jangan tanya bagaimana kondisiku. Jika aku tidak tegar, bagaimana dengan mereka? Setidaknya aku akan mengurus mereka selama bunda masih belum ditemukan. Ya, walaupun cuma mengingatkan untuk istirahat dan makan.
Netraku yang menatap segelas air putih yang kubawa dari dapur langsung teralihkan pada ayah yang menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Kulihat ayah sibuk mengotak-atik handphone ketika sudah berada di lantai bawah.
"Ayah ...," sapaku yang langsung membuat ayah menolehkan wajah ke samping mencari sumber suara.
"Ah, Sayang. Lain kali jangan sering-sering bikin kaget, ya?"
Eh?
Belum sempat aku membalas ucapan tersebut, ayah sudah berlalu pergi dari hadapanku, menghampiri pintu. Ayah kenapa? Sembari memikirkan keanehan ayah tadi, aku melanjutkan langkah yang sempat tertunda menaiki anak tangga.
Tujuanku adalah kamar Lissa. Gadis itu baru berhenti menangis lima belas menit yang lalu sejak bangun tidur. Mengingat kejadian di saat Lissa berteriak-teriak tadi pagi membuatku merasa semakin bersedih hati.
"Aku melihat bunda tak mau kembali kepada kita, Kak."
Ucapan Lissa akan mimpi buruknya kembali terngiang di dalam pikiranku. Sejak bunda menghilang, Lissa mulai sering mengalami mimpi buruk dalam tidurnya.
Setelah sampai di dalam kamar Lissa, gadis itu langsung meminum air putih yang kubawa. Matanya sembab dengan hidung yang memerah. Lissa kembali tidur dengan tangan yang terus memegang erat selimut seraya menghadap ke arahku yang duduk di tepi ranjangnya.
Untuk kedua kalinya, aku merasa prihatin pada kondisi Lissa.
Beberapa menit selanjutnya, Lissa sudah benar-benar tertidur. Kulihat wajahnya nampak damai, berbeda saat dia bangun tidur tadi. Benar-benar kacau. Sesekali dahinya berkerut, mungkin kembali bermimpi buruk.
Tanganku refleks mengusap-usap lembut surai Lissa. Berniat menyalurkan ketenangan pada si bungsu keluargaku itu. Setelah kupastikan Lissa sudah nyaman dalam tidurnya, aku mulai bangkit dari duduk dengan tujuan untuk keluar dari kamarnya.
"Bundaaa ... jangan pergi."
Mendengar itu, langkahku terhenti. Kuputuskan kembali menemani Lissa yang pada akhirnya membuatku secara tak sadar juga ikut tertidur di sampingnya. Dan ketika aku terbangun, aku merasa haus lalu beranjak meninggalkan Lissa menuju lantai bawah.
"Kenapa aku bisa ketiduran, ya?"
Aku bergumam setelah keluar dari dapur.
Aku yang baru semenit menduduki sofa di ruang tengah langsung mendapati eksistensi Kak Sam sedang menuruni anak tangga sambil menguap. Kutebak dia baru keluar kamar padahal sekarang sudah siang.
"Claudi, di mana ayah?"
Kak Sam bertanya dengan suara serak setibanya di pijakan anak tangga terakhir. Pradugaku mungkin dia menangis tadi pagi. Meskipun dia itu laki-laki, tapi aku mencoba untuk memaklumi.
"Ayah keluar tadi pagi, sepertinya terburu-buru," jawabku seraya menatap Kak Sam yang langsung membuat langkah kakinya menjadi terhenti. Ingatanku berputar pada saat ayah berpapasan denganku tadi yang baru keluar dari dapur-mengambil air untuk Lissa.
"Jangan-jangan bunda sudah ditemukan," bisik Kak Sam pada dirinya sendiri yang masih bisa kudengar. Keningku berkerut. Apa maksudnya? Bahkan ayah saja tidak mengatakan apa pun padaku.
"Bukankah ayah pergi terburu-buru?"
Pertanyaan Kak Sam menjawab kebingungan di wajahku. Memang benar ayah kelihatan seperti terburu-buru, tidak seperti biasanya.
Setelah mengerutkan dahi selama beberapa saat, mataku langsung melotot. Kenapa aku bodoh sekali? Ayah pergi terburu-buru, itu artinya ada suatu hal yang penting, bukan?
Kulihat Kak Sam tersenyum menatapku. Apa mungkin yang dikatakan Kak Sam itu benar?
"Apakah mungkin, Kak?"
Masih bergelut dengan pikiran sendiri, kudengar suara mobil datang di luar rumah yang kuyakini adalah mobil ayah. Itu artinya ayah sudah pulang.
"Kak, ayo kita ke depan untuk melihat ...."
Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Kak Sam sudah menyeret tanganku menuju pintu depan. Kulihat senyum Kak Sam terus mengembang sepanjang perjalanan. Membuatku juga ikut tersenyum mengingat bunda sudah ditemukan. Dan semuanya akan kembali seperti semula.
Bahagia.
Ketika kami sampai di ambang pintu rumah, ayah keluar dari mobil bersama seorang wanita. Mataku menyipit menyaksikan wanita yang bersama ayah.
Bunda? Bukan!
Meski kuyakini memang seumuran bunda.
Mataku masih sehat 'kan? Ingatanku akan wajah bunda masih kuat, 'kan? Lalu kenapa wajahnya berbeda? Siapa dia? Di mana bunda?
Kumeringis merasakan tanganku yang diseret Kak Sam tadi menjadi sakit. Kak Sam meremas tanganku. Kulihat wajahnya memerah seperti menahan amarah. Kuputuskan untuk mengikuti arah pandangnya. Seketika aku menegang. Ayah mencium kening wanita itu? Apa maksudnya? Hanya bunda dan kami anak ayah yang berhak mendapatkannya!
Dan dia bukan bunda.
Bukan sampai di situ saja keterkejutan kami. Tak lama setelah peristiwa barusan, seorang anak laki-laki seumuran Kak Sam keluar dari mobil ayah. Dia berjalan mengikuti ayah dan wanita itu menuju rumah dengan pelan-pelan.
Siapa lagi dia? Seingatku, aku tidak mempunyai saudara sepupu seperti dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Heart [Completed]
Teen Fiction"Bagiku, rumah adalah tempat terindah di bumi dan ayah adalah kebanggaan kami." Bahagia? Tentu saja! Namun... ...semuanya begitu sempurna sebelum bunda menghilang secara tiba-tiba. Semuanya akan baik-baik saja jikalau ayah pulang tanpa membawa mere...