49. Putri Kecil

4.5K 132 9
                                    

Ingatanku masih berputar pada ucapan Mama Verty kemarin malam. Mengatakan penyebab Abang Rey demam. Dengan kaki yang terus melangkah menuju rumah, aku masih setia memikirkan hal tersebut.

Apa benar jika Abang Rey demam karena kehujanan? Karena memberikan payung yang dia punya untukku kemarin siang lantaran hujan pada saat aku mengunjungi makam bunda?

Mama Verty bilang bahwasanya dia melihat aku marah-marah pada Abang Rey sebelum beranjak pergi ke makam bunda. Wanita itu juga mengatakan bahwasanya Abang Rey mengikutiku secara diam-diam.

Beberapa menit yang lalu adalah waktu di mana bel pulang sekolah berbunyi. Dan di sinilah aku sekarang berada, sepanjang jalan pulang ke rumah, menatap lurus ke depan tanpa ekspresi.

Pengakuan Pak Toni tadi semakin membuat hatiku tersentil haru dan rasa penyesalan secara bersamaan. Abang Rey rela berhujan-hujanan hanya agar aku tak kehujanan dan kedinginan.

Dan ... pengakuan itu pula yang menyebabkanku untuk memutuskan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Perasaanku sudah tak karuan sejak tadi.

"Abang dan mama akan tetap ada untuk Claudi, untuk ayah, untuk Berlize dan Sam ... juga untuk Lissa. Kami di sini bukan untuk hal yang buruk, Claudi."

"Claudi ... abang sayang kalian. Mama juga sayang kalian."

"Abang cuma mau bilang ... adek jangan merasa sendirian. Abang dan mama ada di sini untuk adek dan ayah. Kami sayang kalian semua."

"Abang tidak akan menyakiti adek ... abang berjanji."

"Adek ... abang takut terjadi apa-apa sama adek."

"Dasar kebo. Ayo bangun."

"Happy birthday, My sweety."

Suara-suara itu kian menggema dalam pendengaranku. Membuat setetes tangis rindu nan haru jatuh membasahi pipiku.

"Jantung ini adalah jantung bunda. Dengan detak yang sama, tapi tubuh yang berbeda. Aku rindu bunda, aku ingin bunda ... tapi abang malah mengambilnya dari bunda."

"Cepat pergi dari hadapanku! Apa pun yang abang katakan ... tidak akan mengubah perasaanku. Semuanya sudah terlambat, Bang ... hatiku sudah hancur."

"Aku benci abang, aku benci kalian semua. Kalian amat jahat!"

"Jangan berani menyentuhku, Pencuri!"

"Kau tidak berhak mendapatkan jantung itu ... jantung bundaku."

Secepat itu pula suara-suara penuh kebencianku menusuk gendang telinga kala mendengar ucapan penuh kasih yang pernah Abang Rey lontarkan.

Mendadak kepalaku terasa sakit memikirkan hal tersebut. Air mata semakin menyeruak keluar. Penyesalan demi penyesalan mulai memenuhi relung hatiku. Kenapa aku bisa sekejam itu?

Semilir angin semakin membuatku mampu mengenang masa-masa indah bersama Abang Rey; bercanda tawa, menghabiskan waktu luang bersama atau sekadar ikut membantu Mama Verty memasak yang sebenarnya malah membuat mama marah.

Kami mengacaukannya.

Oh, ayolah ... kami hanya ingin membantu mama yang berujung mendapatkan amukan. Senyum tipis langsung terbit di wajahku ketika mengingat hal itu.

Dengan langkah kaki yang terus melaju, aku menyeka air mata yang mengalir di pipi. Berusaha menampakkan wajah ceria yang sudah ingin kuperlihatkan pada ayah dan mereka.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang