"Aku benci abang! Aku benci kalian semua!"
Aku mengamuk dengan kaki yang mulai melangkah pergi dari hadapan Abang Rey. Dengan terus menyeka air mata yang mengalir di pipi, aku berlari menjauhi rumah.
Di sela-sela aku berlari, Abang Rey memanggil-manggil namaku. Menyuruhku untuk berhenti, mengejarku yang sudah hampir sampai di tepi jalan raya.
Klakson mobil menyadarkanku. Refleks mataku bergulir ke arah kanan. Mataku seketika melotot lebar. Dengan berusaha secepat mungkin, aku berbalik arah untuk kembali menggapai trotoar.
Dalam hati aku terus merutuki kebodohanku yang tanpa menoleh kiri kanan langsung menyeberang jalan. Ringisan keluar dari bibirku kala tubuhku terpental di atas trotoar, berguling-guling beberapa kali. Terdapat goresan di kulit tangan dan kakiku.
Rasa kagetku semakin bertambah. Bukan karena mobil yang malah kabur setelah hampir menabrak kami, bukan karena luka di tubuhku ... melainkan seseorang yang sedang memelukku erat.
Dengan detak jantung yang kian menggila, tanganku bergetar menyentuh wajahnya.
"Abang ...," ucapku lirih.
Air mata langsung menetes kala mengucapkan kata itu. Kulirik batu besar yang tergeletak di samping Abang Rey. Darah mengucur deras dari kepalanya, membasahi rerumputan di bawahnya lantaran Abang Rey yang berbaring.
Panik semakin menderaku.
"Hiks hiks hiks ... abang."
Suaraku tercekat dengan isak tangis yang mulai terdengar.
"Adek ... tak apa-apa, bukan? Apa ada yang luka, Dek?"
Pertanyaan Abang Rey begitu menyentil hatiku. Membuat rasa bersalah mulai menggerogoti jiwaku.
"Dasar bodoh! Di sini abang yang terluka. Kenapa abang menolong adek, huh?! Lihatlah sekarang. Hiks hiks hiks ... darah ini ... hiks hiks ... abang ...," ujarku dengan tangan yang sudah berlumuran darah lantaran menangkup kepala Abang Rey.
"Itu sudah menjadi kewajiban abang, Dek. Abang menyayangi adek. Adek jangan pergi lagi," tutur Abang Rey dengan tangan yang berusaha menyentuh pipiku.
Air mataku semakin bergulir jatuh merasakan tangan Abang Rey yang mengusap pipiku, begitu gemetar. Membuat keringat dingin semakin membanjiri pelipisku.
"Tolong jangan membenci abang, Dek ... abang mohon. Abang tak akan pernah sanggup dibenci oleh adek," pinta Abang Rey dengan netra cokelatnya yang mulai ingin memejam.
"Tidak, Abang. Adek tak akan pernah membenci abang. Percayalah ... hal itu tak pernah adek rasakan," balasku dengan rasa panik yang semakin meninggi.
Melihat Abang Rey yang berusaha untuk terus terjaga, tubuhku mulai bergetar hebat. Kepalaku menggeleng-geleng histeris.
"Abang ... tolonglah untuk tetap terjaga. Jangan tinggalkan adek, Bang. Adek menyayangi abang ... seperti yang abang pinta."
Kalimatku hanya didengarkan oleh Abang Rey. Kelopak matanya sudah menutupi netra cokelat yang indah itu. Membuat isak tangisku semakin menjadi-jadi. Rasa khawatir kembali menyergapku. Menghimpit dan menyesakkan.
"Abang ... hiks hiks. Bangunlah, Bang ... jangan tinggalkan adek. Abang tak ingin adek membenci abang, 'kan? Makanya ... tolong buka mata abang. Adek di sini ... adek tak akan pergi lagi ...," racauku dengan tangan yang mengguncang-guncang tubuh Abang Rey, berusaha membangunkannya kembali.
"Abang ... hiks hiks. Jika abang tak mau membuka mata ... maka adek akan membenci abang. Hiks hiks ... abang tak mau, 'kan? Maka ... ayo bangun, Bang. Jangan membuat adek cemas. Abang sayang adek, 'kan? Jangan tinggalkan adek. Hiks hiks ... adek minta maaf."
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Heart [Completed]
Teen Fiction"Bagiku, rumah adalah tempat terindah di bumi dan ayah adalah kebanggaan kami." Bahagia? Tentu saja! Namun... ...semuanya begitu sempurna sebelum bunda menghilang secara tiba-tiba. Semuanya akan baik-baik saja jikalau ayah pulang tanpa membawa mere...