5. Suara Claudi

3K 232 0
                                    

Pasca insiden tak terduga tadi, suasana rumah kami semakin kacau. Tindakan Kak Sam dan Kak Berlize membuat ayah memijit pelipis. Tentu ayah terlihat tak biasa menghadapi perlawanan anak-anaknya. Mengingat kami memang tidak pernah bertengkar dalam keluarga.

"Lebih baik bawa Lissa ke kamarnya, Claudi."

Melihat kondisi Lissa yang tak berhenti menangis, ayah menyuruhku mengantarkan Lissa ke dalam kamarnya. Untuk pertama kalinya, ayah tak menenangkan Lissa yang tengah menangis seperti sekarang ini.

Setelah menenangkan Lissa dan tetap menyuruhnya agar tetap berada di dalam kamar, aku segera kembali ke lantai bawah—tempat kejadian yang tak pernah kupikirkan sebelumnya akan terjadi.

Atensiku teralihkan pada ayah yang duduk di sofa dengan wajah tertunduk menghadap lantai. Entah ke mana perginya dua orang asing tadi. Seingatku, mereka masih berada di dekat ayah ketika aku mengantarkan Lissa ke kamarnya tadi.

Apa ayah sudah mengusir mereka?

Sembari menuruni anak tangga, senyumku mengembang ketika pikiranku menyimpulkan suatu kesimpulan tersebut.

Tapi, apa itu mungkin?

Senyumku memudar ketika teringat pada ucapan bahwa ayah sudah menikah lagi.

"Ayah ...," sapaku yang membuat wajah ayah terangkat menoleh ke arahku yang berjalan mendekat pada ayah.

Kulihat ayah tersenyum tipis menyadari kehadiranku. Ada perbedaan pada wajah ayah. Kantung mata yang mulai menjelaskan bahwa ayah kurang tidur. Pipi yang sudah agak tirus dari biasanya. Hatiku pilu baru menyadari hal itu.

"Kemarilah, Sayang."

Ayah memanggilku untuk lebih mendekat, tapi kali ini kakiku seolah terasa berat untuk melangkah. Aku masih mematung menatap ayah yang tak jauh berada di hadapanku.

"Apa mereka sudah pergi?"

Pertanyaanku spontan mengakibatkan senyuman tipis ayah menjadi hilang.

"Aku harap ayah tidak serius dengan ucapan ayah tadi," sambungku yang kali ini membuat ayah menghela napas sebelum mengatakan sesuatu yang kembali membuatku mengira bahwasanya yang berada di depanku ini bukanlah ayah.

"Mama Verty dan Abang Rey akan tinggal di rumah ini. Ayah harap Claudi mengerti. Ayah tahu kamu bukan seperti Sam dan Berlize," ucap ayah dengan wajah lelah tapi sarat dengan penuh penekanan.

Ini terdengar bukan seperti permintaan melainkan mencoba memaksaku untuk berpihak pada ayah.

"Apa maksudnya, Ayah? Mereka tinggal bersama kita? Aku tahu aku masih kecil, tapi bukan berarti aku tidak mengerti apa pun," balasku yang mulai mencoba untuk menyampaikan argumen pada ayah.

Hei, mereka akan tinggal di rumah ini? Di rumah yang sama dengan kami? Tentu aku tidak setuju! Kenapa ayah seperti ini?

"Claudi ... mengertilah, Nak. Ayah sudah benar-benar lelah," ujar ayah melunak sembari berlalu meninggalkanku menuju lantai atas.

Tidak! Mereka tidak boleh tinggal di rumah ini!

"Ayah, aku tidak setuju!"

Ucapanku yang lantang membuat langkah ayah langsung terhenti. Kulihat ayah masih mematung membelakangiku.

"Ayah tidak akan mengatakannya dua kali, Claudi. Mereka akan tetap tinggal di sini," tutur ayah tanpa berniat melihatku lagi.

"Apa ayah tidak rindu dengan bunda?"

Suaraku melunak. Kurasakan mataku sudah mulai berkaca-kaca. Aku sudah tidak tahan. Semuanya benar-benar berantakan.

"Apa ayah tidak akan mencari bunda?"

"Apa ayah sudah tidak mencintai bunda?"

"Apa ayah tidak memikirkan sedikit saja tentang bunda?"

"Bunda sendirian di luar sana tanpa kita, Ayah!!"

Air mataku menetes tepat setelah mengatakan itu semua pada ayah. Dadaku naik turun menahan amarah. Kuseka air mataku ketika melihat ayah berjalan melewati anak tangga ke lantai atas tanpa berniat membalas perkataan beruntunku barusan, meninggalkanku sendirian.

"Ayah!!!"

Aku berteriak kencang memanggil ayah dari bawah. Aku sudah tidak mengerti jalan pikiran ayah. Kenapa ayah tidak mengerti perasaan kami?

"Diam, Claudi!!!"

Diam, Claudi!!!

Diam, Claudi!!!

Diam, Claudi!!!

Ayah membentakku. Tubuhku mematung mendengarnya.

Kurasakan air mataku menetes lagi. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke taman belakang. Taman yang selalu menjadi tempatku dan bunda bercerita. Aku tidak mau tahu seperti apa ekspresi ayah saat membentakku. Jujur, ini adalah hal yang baru untukku.

Langkahku terhenti ketika kakiku memijak rerumputan hijau yang selalu menjadi tempat duduk kami—aku dan bunda. Di sini sengaja memang tidak ada bangku. Seingatku, itu atas permintaan bunda. Entahlah! Aku lupa kenapa dulu bunda meminta seperti itu pada ayah.

Kurasakan air hujan mulai menetes membasahiku. Membasahi pakaianku. Aku tidak peduli. Aku rindu bunda. Tempat inilah yang paling bunda suka. Bunda bilang, jika aku bersedih maka pergilah ke sini, maka bunda akan mendengarkanku bercerita.

Seperti dulu.

"Bundaaa ...," tuturku dengan suara yang serak akibat menangis.

"Aku rindu bunda. Ayah jahat! Apa bunda tahu bahwa ayah sudah menikah lagi? Apa bunda tidak akan memarahi ayah?"

Aku berucap meracau yang tentunya tak akan didengar bunda.

Tubuhku menggigil. Kurasakan pakaianku sudah benar-benar basah. Jika bunda di sini, aku yakin bunda sudah mengomel dari tadi. Memarahiku yang masih terus-terusan berdiri dalam derasnya hujan.

Bunda di mana? Aku butuh bunda. Aku rindu bunda.

Kakiku merosot jatuh ke bawah membiarkan rerumputan menyentuh lututku. Kututupi wajahku yang masih setia menangis dalam diam—dalam derasnya hujan.

Dalam hati, aku berharap bunda datang memelukku yang sudah kedinginan. Bukan hanya karena kelamaan di bawah hujan melainkan juga karena kasih sayang ayah yang mulai menghilang.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang