Bel pulang terdengar sudah berbunyi menyebabkan para murid segera berhamburan keluar. Bahkan ada yang sampai lupa jikalau guru yang mengajar dalam kelasnya belum angkat kaki. Membuat gelak tawa terdengar membahana. Menertawakan kekonyolan mereka. Dan salah satunya terjadi di kelas kami.
"Anda terlalu bahagia, ya? Saya salut akan keagresifannya. Tapi sebelum itu, silakan duduk dulu. Tak perlu terlalu bergegas keluar, pintu itu tak akan menghilang."
Guru ter-hits di sekolah ini sudah mulai angkat bicara. Mengejek murid kelas kami yang hampir keluar dari ruang kelas tadi. Dan hiruk-pikuk kembali terdengar.
Sekali lagi.
Kulihat korban ejekan guru itu hanya diam mendengarkan dengan raut wajah yang kentara rasa malu. Kembali duduk di bangku lalu menunduk seperti ingin tenggelam dalam lautan saja. Sudut bibirku berkedut samar ke atas. Dia cukup lucu.
"Baiklah, kalian sudah boleh keluar. Selamat berpulang dan hati-hati di jalan."
Wanita dengan gaya rambut yang di-curly itu melangkah keluar setelah mengucapkan kalimat penutup pembelajaran. Mengakibatkan para murid kelas ini keluar tak beraturan.
Dan ya ... bukan aku salah satunya.
Segera kubereskan perlengkapan belajarku lalu melangkah pergi sembari menyampirkan tas di punggung. Hingga tanpa sadar aku telah melupakan seseorang.
"Claudi!"
Sudah kubilang, aku hampir melupakan anak yang satu ini. Panggilan itu membuat langkahku terhenti menanti Bella yang berusaha mengejarku.
"Jangan terlalu terburu-buru. Kau melupakanku, huh?"
Bella bersungut-sungut sesampainya di sampingku.
Wajah imut yang dibuat-buat. Aku sudah hafal! Memutar kedua bola mataku dengan malas lalu mulai melanjutkan langkah kaki yang sempat terhenti. Itu yang kupilih daripada mendengarkan ocehannya yang tak bernilai sama sekali.
"Claudi! Apa kau mulai bisu?"
"Tidak."
"Kalau begitu jawab pertanyaanku!"
"Apa?"
Tak ada sahutan lagi. Aku menoleh ke samping berniat mencari tahu apa yang terjadi. Bella hanya diam tapi yang membuatku jengkel kenapa dia malah memasang wajah seakan-akan ingin menangis sekarang? Apa aku terlalu berlebihan?
Mata Bella mulai berkaca-kaca membuatku benar-benar panik sekarang. Hei, kenapa dia malah begini? Apa aku yang salah di sini?
"Bella, kau kenapa?"
Aku bertanya dengan rasa panik yang sudah tak karuan. Ingat? Dia itu Bella. Apa pun akan dia lakukan untuk membalasku. Aku tahu jika dia menangis sekarang, yang ada malah aku yang akan disalahkan semua orang, mengingat hanya aku yang berada di sisinya setiap saat di sekolah...
...dan aku juga yang akan dituduh menjadi si biang masalah.
"Oh ayolah, Bella!"
Nada suaraku mulai terdengar jengkel. Anak yang satu ini benar-benar menyusahkan.
"Baiklah, kau mau apa?"
Salahkan saja pertanyaanku itu. Karena apa? Bella langsung tersenyum penuh kemenangan setelah mendengar lontaran pertanyaanku.
Segera menghapus air mata, Bella langsung menarik sebelah tanganku untuk melanjutkan perjalanan ke depan gerbang sekolah.
"Aku ingin main ke rumahmu sekarang."
Permintaan Bella sukses membuat tubuhku mematung seketika. Bagaimana ini? Bella tidak tahu apa yang sudah terjadi dalam keluarga kami. Jika dia sampai mengetahuinya, bagaimana aku akan menjelaskannya? Lagi pula, apa dia tidak akan meninggalkanku juga?
Seperti Kak Sam dan bunda, semisalnya.
"Bella ... lain kali saja, ya? Sekarang aku tidak bisa," ujarku berbohong pada Bella yang membuat wajahnya langsung berubah murung.
"Lain kali jika aku bisa. Aku janji," ucapku meyakinkan Bella. Kuharap dia mau menerima negosiasiku ini. Aku sudah benar-benar lelah menghadapi Bella. Tingkah aneh dia yang selalu sukses membuatku kewalahan dibuatnya.
"Tawaran diterima asalkan kau bersedia membelikanku boneka beruang lagi. Dua buah atas hari ini dan kemarin."
Ingatkan aku untuk menjauhkan uang tabunganku dari Bella. Permintaan itu cukup menguras uang jajanku. Dia pikir aku akan mau membelikannya lagi?
Tidak untuk sekarang, Bella. Jika lain hari mungkin akan berbeda.
Aku hanya mengangguk merespon ocehan Bella. Tanpa sadar kami sudah berada di depan gerbang sekolah. Bella segera izin pulang dikarenakan supirnya sudah datang.
Aku masih mematung di sini. Antara ingin langsung berjalan pulang atau meminta Pak Toni menjemputku kemari.
Segera kuambil handphone yang berada dalam tas lalu mendial nomor Pak Toni untuk menghubunginya. Tujuanku sekarang ingin menemui Kak Sam. Tidak mungkin aku akan berjalan ke kantor polisi, 'kan? Yang ada aku akan sampai pada malam hari.
Belum beberapa lama percakapan singkatku dalam jaringan dengan Pak Toni terputus, sebuah mobil sudah melaju menghampiriku.
"Silakan masuk, Non Claudi."
Pak Toni berucap tanpa turun dari dalam mobil. Segera kulangkahkan kakiku menuju mobil lalu masuk dan duduk di bangku penumpang.
"Apa Non Claudi yakin ingin pergi ke kantor polisi?"
"Tentu saja. Dia kakakku."
Percakapan pun langsung usai. Terbukti tak ada sahutan lagi dari mulut Pak Toni.
Apalagi aku.
Mobil mulai melaju ke arah yang berlawanan dengan arah jalan pulang ke rumahku. Rumah yang dulunya selalu membuatku ingin cepat-cepat pulang. Namun, sekarang....
Apa bunda tahu? Seberapa hancurnya aku? Bahkan untuk sekadar mendeskripsikan rumah saja, aku sudah tak mampu!
Langit cerah selalu menjadi objek terindah dalam penglihatanku. Dulu Kak Sam pernah bilang bahwasanya langit adalah cerminan hati seseorang. Entah karena dia yang paling bersedih atau yang sedang berbahagia. Hingga Tuhan memilih langit untuk menggambarkan suasana hatinya.
Sekarang siapa yang berbahagia, kak? Tidak mungkin salah satu di antara kita, 'kan?
Tanpa terasa mendung di mataku kembali hadir. Ingin menangis seperti hujan di kala bersedih. Bedanya kini, kau sudah tak bersamaku lagi. Meninggalkan aku yang sedang butuh-butuhnya bahu ternyaman tempatku untuk bersandar.
"Non, kita sudah sampai."
Suara Pak Toni berhasil memecahkan lamunanku beberapa menit yang lalu. Aku bahkan tak sadar sudah empat puluh menit duduk diam dalam mobil.
Aku hanya mengangguk samar. Suaraku seakan sulit keluar.
"Mari, Non. Bapak antar ke dalam," tawar Pak Toni setelah kami keluar dari dalam mobil.
"Baik, Pak."
Aku menjawab seadanya seraya kaki kami yang mulai melangkah memasuki kantor polisi.
Setelah Pak Toni berbincang-bincang sebentar dengan para polisi itu, aku dipersilakan untuk bertemu dengan Kak Sam dalam waktu yang tidak boleh terlalu lama. Sekitar lima belas menit, begitu katanya.
Aku sudah duduk gelisah di bangku yang akan menjadi tempat pertemuanku dengan Kak Sam. Tak terasa keringat dingin mulai bercucuran kembali.
"Claudi."
Suara itu berhasil mengangkat kepalaku yang tadinya menunduk dalam. Kak Sam terlihat baik-baik saja. Tidak ada luka ataupun lebam di wajahnya. Membuat mataku berkaca-kaca menahan rindu juga pilu.
"Hei, ada apa? Kenapa menangis?"
Kak Sam memegang pundakku cemas lalu menghapus air mata sialan yang terus berjatuhan tak tahu aturan itu. Membuatku semakin tak kuasa untuk menahan tangisan.
"Ya ampun, Claudi. Ada apa, hei?"
Kak Sam bertanya sembari membawaku ke dalam pelukannya. Membelai suraiku yang tergerai dengan lembut.
"Aku rindu kakak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Heart [Completed]
Teen Fiction"Bagiku, rumah adalah tempat terindah di bumi dan ayah adalah kebanggaan kami." Bahagia? Tentu saja! Namun... ...semuanya begitu sempurna sebelum bunda menghilang secara tiba-tiba. Semuanya akan baik-baik saja jikalau ayah pulang tanpa membawa mere...