34. Pagi yang Tak Indah

916 75 0
                                    

Pagi ini terasa amat berbeda.

Sunyi sangat mendominasi rumah kami, membuatku secara tak sadar sudah mengembuskan napas kasar.

Kini tak ada lagi suara berisik Kak Berlize, juga nada manja Kak Sam pada bunda atau pun perdebatan antara Lissa dan ayah ... lantaran partner berdebat ayah juga ikut-ikutan angkat kaki dari rumah.

Seperti itulah aku mendeskripsikan tentang mereka, tentang kepergian yang tak pernah kami inginkan.

"Claudi ... ayo sarapan dulu, Sayang."

Sahutan ayah sukses mengalihkan atensiku. Kulirik ayah yang sudah duduk di salah satu kursi di ruang makan. Baru hendak mempercepat langkah kakiku menuruni anak tangga, suara seorang wanita berhasil menghentikannya.

"Iya, Sayang. Ayo cepat ke sini. Nanti Claudi bisa terlambat jikalau masih berdiri di sana."

Mama Verty berucap dengan lembutnya, seolah-olah dia benar-benar tulus mengatakannya. Membuat sudut bibirku menyunggingkan senyuman miring. Rupanya dia sedang berusaha menampilkan perannya sebagai istri ayah sekarang.

"Ayah ... aku sedang tidak lapar," jawabku dengan kaki yang mulai kembali melangkah menuruni anak tangga untuk ke lantai bawah.

"Walaupun begitu ... Claudi tetap harus sarapan," titah ayah yang sepertinya tak boleh kubantah.

Ayah ... tolong maafkan aku. Jikalau bukan karena mereka, aku pasti akan ikut bergabung sarapan bersama ayah.

"Aku ingin segera pergi ke sekolah, Ayah. Jikalau nanti perutku sudah minta diisi, maka kantin sekolah adalah tempat yang langsung kuhampiri ... aku berjanji."

Ucapanku membuat ayah tersenyum singkat. Kemudian segera menghampiriku yang sedang berdiri di ujung tangga, meninggalkan Mama Verty dan Abang Rey di meja makan.

"Apakah Claudi mau ayah yang akan mengantarkan ke sekolah hari ini?"

Ayah mengatakannya setelah sampai di hadapanku, membuat mataku langsung berbinar gembira. Katakanlah reaksiku berlebihan, terserah apa kata kalian. Yang jelas aku sangat bahagia mendengarnya, mengingat waktuku bersama ayah sudah jarang ada.

Seperti yang kalian ketahui, sejak bunda menghilang, keadaan rumah menjadi tak karuan.

"Tentu saja, Ayah."

Aku menjawab seraya mengulas senyuman yang manis pada ayah, mengakibatkan ayah semakin tersenyum menatapku. Lalu segera beralih membalikkan badan, berbicara pada mereka—Mama Verty dan Abang Rey.

"Verty ... Rey ... kalian sarapan saja. Claudi sepertinya segera ingin berangkat ke sekolah."

Perkataan ayah tertuju pada kedua orang itu yang masih duduk manis di ruang makan. Mungkin masih menunggu kedatanganku dan ayah.

Ah, bukan.

Mungkin lebih tepatnya hanya ayah.

"Oh, iya ... Rey hati-hati pergi ke sekolah. Jangan ngebut-ngebut mengendarai mobil. Ingat itu," titah ayah setelah mendengar persetujuan dari Mama Verty.

Kulihat Abang Rey mengangguk seraya mengiyakan perintah ayah, membuatku sukses menampilkan senyuman miring sekali lagi.

Mereka benar-benar membuatku muak.

"Ayo, Ayah. Aku tidak ingin terlambat."

Sahutanku itu berhasil memusatkan perhatian semua orang padaku. Kulihat ayah tersenyum sekali lagi ke arahku. Kemudian mengusap rambutku sebelum kami mulai melangkah keluar rumah.

Tanpa berniat untuk sekadar melihat reaksi Mama Verty dan Abang Rey, aku terus berjalan di samping ayah. Tak mau tahu-menahu perihal mereka. Toh, mereka pasti sudah bahagia mengingat anggota keluargaku sudah tak berada di rumah.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang