30. Amerika Serikat

1K 81 0
                                    

Kak Berlize masih senantiasa meronta-ronta dalam kungkungan ayah dan dua orang perawatnya. Membuat ayah segera mendekap Kak Berlize tanpa memberikan celah untuk bisa bebas darinya.

"Jessy ... cepat hubungi Dokter Rio. Non Berlize sudah benar-benar di luar kendali," titah Grail pada Jessy tanpa melepaskan kedua tangannya yang ikut memerangkap Kak Berlize.

Jessy langsung mengiyakan penuturan teman satu pekerjaannya itu. Kemudian segera mengotak-atik handphone miliknya dan berucap pada lawan bicaranya di seberang telepon—Dokter Rio pastinya.

"Dokter bilang ... berikan saja obat bius untuk menenangkannya dulu. Dokter akan segera datang," ujar Jessy setelah meletakkan kembali handphone miliknya ke dalam saku baju khas seorang perawat.

"Kalau begitu tunggu apalagi? Cepat ambilkan sebuah suntikan yang sudah berisi obat itu."

Grail—perawat utama Kak Berlize kembali memberikan perintah pada Jessy yang segera berlari ke lantai atas setelah mendengarnya. Yang pastinya melakukan apa yang dikatakan Grail.

Aku hanya bisa berdiam diri di sini, di ujung pintu. Menatap Kak Berlize yang masih menjerit histeris. Memaki-maki Oma yang dipanggilnya sebagai nenek tua. Menangis kencang tanpa berhenti berusaha untuk bisa bebas dari dekapan ayah.

Tatapanku kembali memburam lantaran bening bulir di mataku semakin tebal, menghalangi pandangan. Hatiku kembali teriris oleh pisau tak kasat mata. Menyayat dengan tak berdosanya. Membuat banyak goresan yang tak pernah berdarah.

Jessy kembali ke arah kami, lebih tepatnya pada tiga orang di hadapanku. Lalu segera menyuntikkannya pada Kak Berlize. Tak lama kemudian, kesadaran Kak Berlize berhasil terenggut hingga jatuh dalam pangkuan ayah. Pastinya perasaan lega langsung memenuhi relung hatiku.

Suasana rumah mendadak sepi lantaran pekikan pasien penderita mental disease ini sudah tak sadarkan diri. Refleks kakiku melangkah mendekati mereka.

Ayah terlihat sangat hancur menatap Kak Berlize yang masih berada dalam pagutan ayah. Bekas air mata di kedua belah pipi, rambut yang sedikit acak-acakan lantaran Kak Berlize yang tak bisa tenang. Kondisi Kak Berlize memang sedang buruk. Maka dari itu, aku memaklumi ayah yang tak menyadari kehadiranku, di hadapan ayah yang masih setia memandangi putrinya yang sedang mengalami guncangan jiwa.

Tanpa berucap apa-apa, tanpa sekadar menatapku saja, ayah langsung berlalu menuju tangga. Melewati beberapa anak tangga untuk sampai ke lantai atas yang kuyakini pasti ke kamar Kak Berlize.

Aku masih mematung di saat Grail dan Jessy mulai mengikuti ayah yang melangkah sembari menggendong Kak Berlize. Membuat sudut hati kecilku kembali perih. Bukan karena diabaikan ayah, bukan pula karena keadaan rumah, melainkan mengingat bunda yang masih belum ditemukan di saat-saat buruk ini.

Apa bunda tidak ingin mengobati lukaku? Rumah sudah benar-benar kacau, Bunda.

Air mata kembali mengalir deras bak sungai panjang. Bibirku gemetaran lantaran jeritan tangis yang masih berusaha untuk ditahan.

"Non ...."

Bi Sutry memanggilku dengan tangan yang memegang pundak kananku dari belakang. Aku hanya membisu. Enggan untuk berbalik badan. Katakan saja aku sudah tidak sopan. Aku tidak peduli!

Tanpa mengeluarkan satu kata pun, aku berlalu pergi menuju lantai atas. Menghampiri ayah yang kuyakini berada dalam kamar Kak Berlize. Dalam hati, aku terus meminta maaf pada Bi Sutry atas sikap kurang santunku barusan. Tapi apa boleh buat, ruang hati terdalamku sudah amat ngilu. Membuatku untuk sekadar membuka bibir saja sudah linu.

Kuseka jejak air mata di pipi sebelum memasuki kamar Kak Berlize. Tujuanku hanya ada dua. Pertama, ingin melihat keadaan Kak Berlize dan ayah. Aku hanya sedikit risau jikalau ayah masih bersikap seperti tadi. Terlihat amat bukan seperti ayah. Kedua, andaikata keadaan memungkinkan, aku ingin bertanya pada ayah perihal Lissa yang dibawa Oma. Dan jangan lupakan kenapa ayah membiarkannya begitu saja. Itu patut dipertanyakan.

Tubuhku sudah berdiri di samping ranjang Kak Berlize. Memerhatikannya yang sedang tertidur dalam pembaringan. Sekarang wajahnya tampak damai dalam diam. Sungguh bertolak belakang saat kejadian tadi.

"Ayah ...."

Nada suaraku terdengar lirih. Membuat ayah langsung menatapku tanpa melepaskan tautan tangan pada tangan kiri Kak Berlize.

"Ya, Sayang?"

Ayah membalas dengan berusaha menghampiriku yang masih berdiri setelah mengurai tautan tangan tadi. Aku masih membisu di saat ayah sudah berada di hadapanku. Menatapku dengan penuh rasa sayang.

Sudah kubilang, bukan? Aku tidak mempermasalahkan perihal ayah mengabaikanku tadi. Karena apa? Lihat saja sekarang, ayah masih sama.

"Ayah, kenapa Oma membawa pergi Lissa?"

Aku mengatakannya setelah berhasil mengumpulkan keberanian untuk bertanya langsung pada ayah. Hanya ada satu alasan kenapa aku melakukannya; aku hanya percaya pada ayah.

Ayah mendekapku sebelum menjawab pertanyaanku. Kemudian mengecup puncak kepalaku beberapa kali. Membuatku refleks membalas pelukan hangat ayah.

"Claudi tenang saja, Oma tidak akan menyakiti Lissa. Oma hanya ingin memberikan pengobatan yang terbaik untuk Lissa. Seperti yang Claudi ketahui, penyakit yang sedang dialami Lissa bukan penyakit sembarangan, Sayang. Leukimia kapan pun bisa saja merenggut nyawanya," tutur ayah panjang lebar tanpa melepaskan pagutannya padaku.

"Lalu ke mana Oma membawa Lissa, Ayah?"

Pertanyaanku hanya dijawab dengan helaan napas panjang ayah.

Satu sekon.

Dua sekon.

Hingga lima menit...

...barulah ayah kembali bersuara.

"Amerika Serikat, Sayang"

Bagaikan dihimpit oleh beribu ton besi hatiku mendengar ucapan ayah.

Amerika Serikat?

Bulir bening kembali keluar tanpa izin. Membasahi kemeja ayah yang berwarna biru. Membiarkan pipiku kembali dibanjiri air sungai kepedihan. Bermuara dalam lubuk hatiku.

Aku hanya diam. Antara memang tidak tahu respon seperti apa yang harus kuberikan dan hatiku yang amat ngilu. Terkejut? Aku sudah terbiasa. Terlalu banyak kejutan yang diberikan Tuhan padaku. Hal inilah salah satunya.

Setelah beberapa saat lamanya aku menangis dalam diam, dalam dekapan ayah, di kamar Kak Berlize. Lantas otakku mulai kembali berputar. Bagaimana dengan ayah? Kenapa ayah rela begitu saja?

"Ayah ... apa pengobatan Lissa tidak bisa dilakukan di sini saja?"

Kalimat itu yang lebih kupilih sebagai perwakilan atas rasa kegelisahanku. Mencoba membiarkan Lissa dibawa jauh dariku? Tentu saja aku tidak akan pernah setuju. Sampai kapan pun!

"Sayang ... pengobatan di sini tidak sebaik di Amerika Serikat."

Jawaban ayah berhasil membungkam mulutku telak. Aku akui itu memang benar. Tapi atas dasar apa pun, aku masih tidak rela jikalau Lissa dibawa ke sana, jauh dariku.

Ayah kembali membawaku masuk ke dalam dekapan hangatnya. Berusaha menenangkan hatiku yang pastinya sudah berkecamuk rasa. Sedih, marah, dan hancur. Tak bisa melakukan apa pun.

Pasrah? Apa aku harus menjadi salah satu golongan orang-orang seperti itu?

Tidak!

Meskipun aku berusaha, semuanya tidak akan bisa berubah. Keputusan Oma adalah hal yang mutlak. Terlebih pula semua ini dilakukannya demi kesembuhan Lissa. Lagi pula Oma tidak akan terpengaruh oleh aku yang hanya seorang anak perempuan yang masih berusia empat belas tahun.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang