29. Oma

1.2K 88 3
                                    

Kendaraan roda empat yang kutempati ini terus melaju membelah jalan raya pada siang hari. Mengabaikan panas terik sang surya yang pastinya amat menyengat kulit bagi orang-orang yang berada di bawahnya.

Kupencet tombol yang berfungsi untuk menurunkan kaca mobil. Berniat sekadar merasakan suhu panas di bawah terik matahari yang pada kenyataannya tak bisa kurasakan sama sekali lantaran laju mobil yang cukup sedang membuat angin terus-terusan menghempas wajahku. Memberikan rasa sensasi sejuk di tengah-tengah hawa cerah di kota ini.

"Apa Non Claudi masih merasa kepanasan? Padahal air conditioner sudah bapak aktifkan sedari tadi."

Suara Pak Toni memecah kesunyian yang terus melanda sejak aku pulang dari sekolah.

"Tidak, Pak. Lagi pula suhu hari ini memang cukup tinggi daripada biasanya," jawabku sembari terus menatap pemandangan di luar mobil.

Hening kembali menghampiri. Otakku berputar pada kejadian tadi pagi. Lissa yang divonis terkena penyakit mematikan.

Leukimia.

Kuembuskan napas panjang ketika ingatanku bermuara pada paksaan ayah yang menyuruhku untuk tetap pergi ke sekolah. Jikalau bukan karena tak ingin membuat beban pikiran ayah bertambah, tentu saja permintaan itu akan kutolak mentah-mentah.

Namun lagi-lagi, aku tak pernah bisa melakukannya, melawan ayah—super hero kami.

Dan di sinilah aku sekarang.

Duduk manis dalam mobil jemputan yang biasanya hanya ditugaskan ayah untuk Lissa. Namun, sejak aku mulai kembali sekolah, sejak bunda menghilang dan ayah membawa dua orang tak dikenal, pekerjaan Pak Toni bertambah.

Tanpa kusadari, mobil sudah memasuki gerbang rumah kami. Membuatku refleks kembali sadar dari lamunan singkat barusan.

"Tiii-daak! Jangan berani bawa bunda pergi dariku!!"

Teriakan itu sukses mengagetkanku. Suara yang mirip dengan suara Kak Berlize. Membuat tanganku langsung membuka pintu mobil.

"Apa kau tidak bisa mendengar nenek tua?! Aku bilang jangan jauhkan bunda dariku!!"

Benar.

Itu memang suara milik Kak Berlize. Tapi, apa yang telah terjadi? Kenapa Kak Berlize berteriak marah?

Segera kupercepat langkah tungkaiku menuju pintu depan yang sedang terbuka. Kuyakini suara bentakan Kak Berlize berasal dari dalam rumah.

"Berlize ... tenanglah," ujar ayah berusaha untuk menenangkan Kak Berlize.

Kulihat Kak Berlize sedang dipegang oleh ayah dan dua orang perawatnya. Kak Berlize terus mencoba untuk melepaskan diri dari kungkungan mereka seraya mata yang menatap nyalang seorang wanita tua.

"Oma?"

Pertanyaanku sukses mengalihkan atensi semua orang kecuali Kak Berlize tentunya.

"Claudi."

Suara Oma terdengar rapuh memanggilku, lalu beringsut mendekat padaku. Menghampiri aku yang masih berdiri di ujung pintu. Mengamati semuanya—situasi yang amat menegangkan.

"Apa yang sudah terjadi, Oma?"

Nadaku terdengar bergetir. Terlalu takut mendengar jeritan amarah Kak Berlize.

"Sayang ...."

Ucapan Oma tak terlalu kuhiraukan lantaran netra hitamku tak sengaja menemukan Lissa yang sedang berada dalam pangkuan seorang pria dewasa yang kuyakini salah seorang bodyguard milik Oma. Dahiku mengernyit aneh melihat Lissa yang seakan tak sadarkan diri. Entah sedang tertidur lelap atau pingsan.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang