Kak Sam masih memelukku erat. Setia mendengarkan tangisan pilu yang sudah tak bisa kubendung lagi. Juga mengusap punggungku berusaha menenangkan meskipun tetap tidak mempan.
"Ada apa, Claudi? Coba cerita," bujuk Kak Sam sedari tadi. Aku tidak berniat membalas perkataannya. Apalagi menceritakan semua keluh kesah yang selama ini kurasakan. Tidak akan! Bisa-bisa Kak Sam semakin kepikiran.
Tangisanku terdengar menyayat hati. Aku yakin Kak Sam sekarang sudah panik menghadapi ini. Tapi terlebih dari itu, Kak Sam masih berusaha sabar dan tenang.
"Apa ada yang menyakitimu, Claudi?"
Kak Sam bertanya di sela-sela jeritan tangisanku yang tak mau berhenti.
"Tidak, Kak."
Aku menjawab dengan suara yang mulai parau. Dalam hati aku selalu menyebut nama Mama Verty dan Abang Rey. Mereka tidak hanya menyakitiku tapi semua anggota keluargaku.
"Lalu ... kenapa?"
Aku hanya mendekap Kak Sam semakin erat tanpa berniat menjawab pertanyaannya. Terlalu susah menjelaskan semuanya. Akan amat parah jika aku bercerita pada Kak Sam. Apalagi perihal luka yang pastinya semua orang tak akan pernah mau hadir dalam hidupnya. Lagi pula aku bukanlah satu-satunya orang yang terluka sekarang.
Kutarik napas dalam-dalam berharap bisa menetralisirkan rasa sesak dalam dada yang terus datang. Lalu memejamkan mata sejenak seraya berusaha untuk kembali bernapas normal. Pelukan Kak Sam segera kuurai setelah menghapus air mata hasil tangisan yang dengan lancangnya keluar tanpa kabar.
Kak Sam menatapku lamat-lamat seakan dia bisa melihat luka yang kupendam. Lalu menangkup wajahku seraya bertanya 'ada apa?' untuk kesekian kalinya.
"Kak, apa mataku bengkak?"
Niatku sudah mantap untuk tidak menambah beban pikiran Kak Sam. Oleh sebab itu, kupilih mengalihkan topik pembicaraan. Kuharap Kak Sam paham sekarang.
Kak Sam menghela napas panjang mengetahui percobaan pengelakan dariku. Tanpa menjauhkan kedua telapak tangannya dari wajahku, Kak Sam berujar dengan nada yang sarat akan penyesalan.
"Maafkan aku, Claudi. Kakak tahu apa yang sudah kakak lakukan itu adalah salah. Tapi apa boleh buat, semuanya sudah terjadi. Dan sekarang kakak tidak bisa menjaga Claudi maupun Berlize dan Lissa. Kakak harap Claudi bisa menjaga mereka. Tak apa 'kan, Sayang? Untuk sementara saja. Setelah kakak dibebaskan, semuanya akan kakak pertanggungjawabkan. Seperti yang Claudi tahu, kakak sayang kalian."
Air mataku kembali mencoba memaksa untuk keluar setelah mendengar penuturan dari Kak Sam. Untuk pertama kalinya, Kak Sam mengakui perihal perasaannya padaku—perasaan sayangnya pada kami. Tapi, kenapa harus pada situasi seperti ini? Kenapa di saat semuanya sudah tak terkendali?
"Kak ...."
Suaraku tercekat. Tak bisa melanjutkan apa yang sudah ada dalam otak juga hati yang terdalam.
Runtuh sudah pertahananku sejak Kak Sam mengatakan semua itu. Tangisan pilu kembali keluar dari bibirku. Membuat Kak Sam terus menyeka bulir bening itu dengan tatapan yang sulit kuartikan. Entah penyesalan atau prihatin pada keadaanku.
Aku tidak tahu.
"Claudi tetap bertahan, oke? Demi kakak, demi semuanya. Jika hari itu tiba ... Claudi pasti mengerti."
Kak Sam berucap sembari menarikku kembali dalam dekapannya. Mengurung tubuh mungilku oleh badan besar nan gagah yang dia punya.
Kembali kueratkan pelukanku pada Kak Sam berharap bisa merasakannya lama-lama. Mengingat entah kapan lagi aku bisa seperti ini. Mengadu pada sosok yang paling kuat selama ini. Dan fakta yang harus segera kuakui adalah dia yang juga ikut pergi. Meninggalkanku di rumah yang entah masih bisa kusebut tempat terindah.
"Bagaimana dengan sekolahmu, Claudi? Tetap berjalan lancar, bukan?"
Pertanyaan Kak Sam membuatku secara refleks memikirkan perihal tadi pagi. Pergi sekolah bersama Abang Rey akibat permintaan ayah lagi. Jika Kak Sam mengetahuinya, entah apa yang akan dipikirkannya tentangku. Terlalu takut melihat amarahnya yang mungkin saja terpancing karena hal itu.
Segera kugelengkan kepalaku mengingat kemungkinan terburuk reaksi Kak Sam. Lalu mengurai dekapannya dengan tangan yang menghapus jejak air mata yang entah keberapa kalinya lagi mendapat umpatan dalam hati.
"Membosankan seperti biasa," aduku pada Kak Sam.
Hei, itu memang benar.
Dulu, aku sering mengatakan hal itu pada Kak Sam lantaran rumah adalah tempat yang paling mengasyikkan. Tapi, sekarang tolong jangan ditanya lagi. Hatiku pasti akan merintih perih kembali.
Kak Sam terkekeh pelan mendengar lontaran kalimat yang kuajukan. Lalu mengacak asal suraiku seraya terus tertawa ringan seakan tak ada beban. Membuat hatiku kembali dirobek pisau tak kasat mata. Terlalu sakit melihat Kak Sam yang selalu berpura-pura jika dia baik-baik saja.
"Kau selalu mengatakan itu, Claudi. Sesekali gantilah jawabanmu itu. Kau terlihat seperti seseorang yang sangat minim kosa-kata."
Kak Sam berujar dengan tawa yang mulai reda. Aku hanya diam mengamati wajahnya yang pintar sekali menutupi rasa pedihnya. Membuat Kak Sam mengembus napas kasar secara terang-terangan.
"Dengar, Claudi. Kakak tidak punya waktu yang banyak sekarang. Jadi, tolong dengarkan perkataan kakak sekarang."
Kak Sam mengatakannya dengan tatapan yang terlihat serius. Seolah-olah apa yang akan disampaikannya benar-benar suatu hal yang penting.
"Apa pun yang telah terjadi, jangan pernah menyesalinya. Dan ... jangan gegabah mengambil kesimpulan atas semuanya. Kita hidup penuh suka-duka. Jadi belajarlah untuk menerima semuanya suatu hari nanti."
Ucapan Kak Sam terhenti lantaran salah seorang polisi sudah menginterupsi untuk menyudahi pertemuanku dan Kak Sam. Aku hanya diam di saat Kak Sam pamit dan mengecup singkat dahiku sebelum berlalu pergi kembali ke dalam sel penjara ini.
Tubuhku masih membatu di bangku yang kududuki ini. Otakku masih memutar ucapan terakhir Kak Sam tadi. Apa maksudnya? Kenapa Kak Sam berucap seperti itu? Apa telah terjadi sesuatu?
Aku tersentak saat merasakan bahuku disentuh seseorang. Ternyata polisi yang tadi—yang mengantarkan Kak Sam untuk masuk ke dalam jeruji besi kembali.
Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya perihal 'apa aku baik-baik saja' dengan segera. Kemudian bangkit dan mulai berjalan melangkah keluar. Menghampiri Pak Toni di luar kantor polisi ini.
Sepanjang perjalanan, benakku terus berputar memikirkan ucapan Kak Sam. Kak Sam berucap seolah-olah aku sedang berada di situasi yang amat kelam.
Ucapan Kak Sam seakan sebuah teka-teki yang harus segera aku pecahkan lantaran rasa penasaran yang sudah tak karuan. Ditambah lagi sikap Kak Sam yang tak pernah seperti ini menambah buah pikiranku kali ini.
Sebenarnya apa yang sudah aku lewatkan?
Tanpa sadar kakiku sudah berhenti melangkah di saat mobil yang kucari sudah berada di sampingku. Tanpa pikir panjang, aku segera masuk dan duduk dalam diam di belakang.
"Apa Non Claudi ingin segera pulang ke rumah?"
Pertanyaan Pak Toni memecahkan keheningan yang melanda ruang mobil beberapa saat yang lalu.
"Tidak. Aku ingin menemui Kak Berlize dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Heart [Completed]
Teen Fiction"Bagiku, rumah adalah tempat terindah di bumi dan ayah adalah kebanggaan kami." Bahagia? Tentu saja! Namun... ...semuanya begitu sempurna sebelum bunda menghilang secara tiba-tiba. Semuanya akan baik-baik saja jikalau ayah pulang tanpa membawa mere...