31. Di Luar Nalar

1K 79 0
                                    

Jarum pendek arlojiku sudah menunjukkan pukul empat sore. Pastinya sudah sepuluh menit lamanya aku menghabiskan waktu untuk duduk dalam mobil yang sedang bergerak melaju ini. Menikmati pemandangan di balik kaca mobil yang lebih menarik atensi.

"Oma bilang bahwasanya Lissa akan dibawa pukul enam sore nanti, Sayang. Mereka akan berangkat ke Amerika Serikat dengan segera."

Ucapan ayah masih basah dalam ingatanku. Membuat kepalaku ingin meledak mendengarnya. Apa-apaan itu? Oma begitu tega! Itulah yang menjadi persepsiku sedari tadi. Sungguh miris sekali.

Kusandarkan punggungku pada sandaran bangku penumpang dengan malas. Tanpa ada gairah, tanpa semangat yang mencuat. Bayangkan saja seorang anak yang masih berusia empat belas tahun sudah mengalami banyak masalah dalam kehidupan keluarganya. Keluarga yang dulunya terkenal dengan keharmonisan oleh khalayak ramai.

Dan itu adalah nyata, sungguh sempurna.

Helaan napas kembali terdengar untuk kesekian kalinya dariku kala kembali mengingat perbedaan keadaan rumahku antara dulu dengan yang sekarang. Benar-benar mencolok, sangat bertolak belakang.

Bunda masih belum ditemukan. Kak Sam masih belum boleh dibebaskan. Kak Berlize yang mengalami mental disease. Dan sekarang Lissa yang terkena penyakit Leukimia yang mematikan.

Oh, jangan lupakan perihal Oma yang akan membawa Lissa berobat jauh ke sana.

Entah bagaimana lagi caraku untuk bertahan. Menghadapi semua permasalahan yang tanpa henti berdatangan. Siapa yang harus kusalahkan? Apa mereka yang dengan lancangnya memasuki rumah kami?

Kini benakku mulai berpikir acak. Mulai dari yang bisa dipahami sampai yang tak logis dalam akal pikiran. Bagaimana kalau aku menggugat ayah yang dengan lancangnya menikah lagi? Apakah gugatanku akan berlaku?

Ah, tidak.

Bukannya tak berlaku melainkan aku takkan pernah mampu. Rasa sayangku pada ayah amatlah besar yang jikalau kujabarkan takkan pernah selesai kalian dengar.

Aku juga sedang berpikir betapa bagusnya jikalau aku adalah seseorang yang mempunyai kekuatan ajaib. Bisa kembali ke masa lalu atau setidaknya mengendalikan waktu. Maka kekacauan ini akan kuselesaikan tanpa cela.

Sepertinya otakku mulai salah bekerja.

Segera kugelengkan kepala berulang kali lantaran mengingat betapa bodohnya aku berpikir tentang hal konyol itu. Berandai-andai. Apa aku mulai tak waras juga sekarang?

"Non, kita sudah sampai."

Lontaran kalimat Pak Toni semakin sukses membawaku kembali pada kenyataan. Membuatku secara tak sadar sudah bernapas lega lantaran pikiran konyol itu sudah tak merenggut akal sehatku.

Kubuka pintu mobil lalu menutupnya kembali setelah kedua kakiku menginjak area pekarangan rumah mewah ini. Tujuanku hanya satu untuk datang ke mari; berusaha menggagalkan rencana Oma yang akan membawa pergi jauh Lissa.

Belum sempat kakiku melangkah menuju pintu rumah megah Oma, suara mobil yang datang berhasil mengalihkan perhatianku. Lantas pandanganku terus tertuju pada mobil mewah itu.

Di sana, dari dalam mobil, keluarlah seorang wanita tua dengan kacamata khas usianya yang bertengger manis di wajah. Menghampiriku yang hanya mematung tak jauh darinya.

"Oma."

Tanpa membiarkan Oma berlalu dariku, panggilan itu kuajukan sebagai pengalihan perhatian Oma. Sebagai suatu cara agar Oma tak menghindariku.

Sekali lagi.

"Ya, Sayang. Ada apa? Apa Claudi merindukan Oma?"

Oma berucap dengan kerlingan mata yang penuh jenaka padaku. Seakan-akan semuanya masih baik-baik saja ... atau mungkin Oma berpikir bahwasanya aku adalah orang yang tak mengerti apa-apa. Tapi terlebih dari semua itu, Oma salah besar. Aku memahami semuanya; mengerti perihal semua permasalahan yang tak pernah berkurang.

"Oma, di mana Lissa?"

Aku bertanya tanpa berniat membalas gurauan penuh jenaka dari Oma. Itu akan kulakukan jikalau situasinya berbeda, tidak semenyesakkan sekarang.

"Dia sedang beristirahat, Claudi."

Dahiku mengernyit bingung mendengar penuturan singkat Oma. Sejak kapan Oma menjadi seseorang yang seperti ini?

Aneh sekali.

"Oma, aku bertanya di mana Lissa bukan tentang aktivitas yang dilakukannya."

Katakan saja aku adalah cucu yang sangat tidak sopan. Melawan Oma dengan untaian kata. Asal kalian tahu, aku terpaksa melakukannya lantaran Oma yang sepertinya tak mau memberitahuku perihal Lissa.

"Memangnya kenapa, Sayang?"

Oma berucap lemah lembut padaku. Mengelak dari aksi penyudutanku.

"Oma, aku sudah tahu semuanya. Jadi, tolong jangan bawa Lissa ke sana."

Tanpa basa-basi lagi, segera kulontarkan kalimat yang berisi isi hati kecilku. Berharap Oma mau memenuhi permintaan penuh permohonan itu.

Oma menghela napas panjang setelah mendengar ucapanku. Lalu berucap dengan tatapan penuh rasa khawatir jika aku benar mengamati raut wajah Oma.

"Claudi, penyakit yang sedang dialami Lissa bukanlah penyakit yang jika berobat tak butuh pengobatan yang terbaik, Sayang. Lissa membutuhkannya, amat butuh. Jika Claudi ingin dia segera pulih, maka biarkanlah Oma membawanya. Tak akan lama, Sayang. Setelah Lissa sembuh ... Oma berjanji akan membawa Lissa pulang ke mari."

Aku masih diam setelah Oma selesai bicara panjang lebar. Menebar janji yang entah kapan bisa Oma tepati.

Apa yang harus kulakukan?

Membiarkan Lissa dibawa Oma bukanlah keinginanku yang sebenarnya. Memang benar, harapanku akan kesembuhan Lissa amat besar. Tapi perihal jauh dariku, apa itu adalah pilihan terakhirnya? Apa Tuhan masih ingin menjauhkan orang-orang yang kusayang dari jangkauanku?

"Oma, jika itu adalah keputusan Oma yang takkan pernah bisa berubah ... maka aku bersedia. Menunggu Oma menepati janji yang terucap beberapa menit yang lalu, menunggu adik kecilku kembali dalam keadaan yang sudah pulih. Sampai hari itu tiba ... aku akan menunggu kepulangannya. Maka dari itu, biarkan aku bertemu dengannya sekarang. Anggap saja semacam salam perpisahan."

Mataku berkaca-kaca di saat kalimat itu keluar begitu saja dari bibirku. Nadanya penuh kegetiran. Dengan rasa takut yang terus menjalar. Membuat hati kecilku lagi-lagi pedih tak beraturan.

Oma mengalihkan pandangan dariku setelah keheningan mulai melanda kami. Membuat sudut hati kecilku semakin perih. Apa Oma tidak akan memenuhi permintaanku itu?

"Dengar, Claudi. Bukannya Oma tak mau mempertemukanmu dengan Lissa. Tapi, Sayang ... sekarang Lissa sedang beristirahat."

"Jika itu adalah permasalahannya, maka untuk sekadar melihatnya saja ... aku sudah bahagia, Oma."

Air mata terus mendesak ingin keluar. Membuatku semakin sesak rasanya. Menahan kesedihan yang amat mendalam. Apa sesulit inikah rasanya ingin menggapai orang yang kusayang?

Tuhan, ini sungguh sakit.

"Baiklah, tapi Claudi harus berjanji pada Oma bahwasanya Claudi hanya melihatnya dari kejauhan. Tidak untuk berbicara dengannya ya, Sayang?"

Oma mengatakannya setelah menghela napas panjang untuk kedua kalinya. Bibirku berkedut samar. Hampir menampilkan senyuman miris yang akhir-akhir ini sudah menjadi bagian koleksi ekspresiku.

Kakiku langsung mengikuti Oma yang berjalan di depan. Memanduku untuk tiba di tempat yang akan memperlihatkan adik kecilku—Lissa—yang entah kapan bisa kulihat lagi. Tanpa Oma katakan, aku amat paham perihal larangan Oma untuk berbicara pada Lissa.

Karena jikalau aku sempat bertukar kata dengan Lissa...

...maka Lissa akan menolak keras permintaan Oma untuk membawanya ke sana.

Tentu saja.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang