"Claudi!"
Aku terkejut mendengar teriakan seseorang di sebelahku. Wajahnya merah padam menahan amarah. Kuarahkan kembali pandanganku ke depan setelah melihat sang pelaku. Berniat melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti karena suara nyaring nan mengagetkan itu. Jujur saja lampu merah sebagai peringatan sudah menyala dalam otakku. Dia terlihat benar-benar menyeramkan sekarang.
Kupercepat langkahku seraya berdoa dalam hati agar dia kembali tenang. Berharap bisa melupakan kekesalannya padaku sebab tidak mengacuhkannya sedari tadi. Baiklah, apa yang harus kulakukan? Menghadapi singa yang sedang kelaparan tentu bukan pilihan yang bagus. Mengingat target yang menjadi incarannya adalah aku.
"Claudi! Mau ke mana lagi, huh?!"
Oh my god!
Belum genap dua jam berada di sekolah, aku sudah merasa malu sebanyak dua kali. Bagaimana tidak? Sekarang kami—aku dan Bella—kembali menjadi pusat perhatian para murid yang berada di sepanjang koridor. Dan lebih sialnya mereka terbilang cukup banyak.
Kali ini bukan cengiran yang kuberikan melainkan wajah frustrasi yang secara terang-terangan terlihat untuk pertama kalinya. Mereka kaget melihatku, mungkin karena ekspresiku. Baiklah, apa aku harus kabur saja sekarang? Aku sungguh sangat malu!
Dan aku yakin orang yang tidak tahu malu itu masih belum menyadarinya.
Tanpa berbalik melihat Bella, kuayunkan segera kakiku melangkah menuju ruang kelas. Meninggalkannya yang pastinya kembali mendumel perihalku. Hei, itu lebih baik daripada para murid ini yang masih melihatku dengan raut wajah penasaran. Mereka seolah-olah sedang menyaksikan sebuah pertunjukan.
Membuatku dongkol saja!
"Claudia Smellyta Pregino!"
Refleks langkahku terhenti tepat ketika hanya dua langkah lagi untuk masuk ke dalam kelas. Tubuhku membeku. Ingatanku langsung berputar pada saat bunda hendak memarahiku.
Bunda?
Dadaku sesak mengingat semua itu. Saat-saat bersama bunda. Bagaikan dihimpit beribu ton besi yang membuat hatiku begitu nyeri. Sungguh ini sakit sekali!
"Claudi ... baguslah kau segera menyerah hingga aku tak akan bersusah payah mengejarmu lagi!"
Aku tersentak dari lamunanku tatkala mendengar ocehan kesal Bella. Eh? Ternyata dia tidak ada lelahnya mendumel padaku.
"Claudi ... kau pikir aku ini apa, huh? Mengabaikanku sejak tadi, mencoba kabur pula. Maksudnya apa? Apa kau tidak menganggapku lagi sebagai temanmu?"
Bella mengoceh panjang lebar seraya menatapku untuk segera membalas ucapannya. Entah kenapa ketakutanku pada amukan Bella mendadak hilang begitu saja. Membuatku malah bosan mendengarnya. Mungkin karena teringat bunda. Aku yakin itu!
Aku berlalu melewati Bella yang masih setia berkacak pinggang di sebelahku. Memasuki kelas yang sudah hampir penuh terisi murid kelas ini. Segera kuambil tas yang tergeletak di atas meja dekat pintu kelas hasil ketergesaan menuju lapangan tadi pagi. Lalu melangkah menuju tempat dudukku yang berada paling depan di pojok sebelah kiri.
Kulirik bangku di sebelahku yang sudah diisi oleh tas berwarna silver. Kuyakini pemiliknya adalah orang yang masih berada di depan pintu kelas saat ini. Dia terlihat begitu kaget. Mulut menganga dan mata melotot melihat ke arahku.
"Bella, apa kau ingin lalat memasuki mulutmu?"
Vellez. Salah satu murid kelas ini bertanya pada Bella dengan mimik wajah penuh keheranan. Suara gelak tawa terdengar dari mulut murid lainnya. Membuat Bella segera tersadar dan melangkah memasuki kelas dengan wajah merah menahan malu. Bella duduk di sebelahku setelah menatapku penuh kekesalan. Mungkin karena kuabaikan di depan pintu kelas tadi.
Bel tanda masuk berbunyi menandakan proses belajar mengajar akan segera dimulai. Kulihat Bella hanya diam tanpa bersusah payah menyapaku. Dia masih marah rupanya. Baguslah! Setidaknya kebisingan di sekitarku berkurang satu.
"Bu Mia datang!"
Suara Ben—sang ketua kelas—terdengar menggelegar. Mengakibatkan para murid lainnya segera beranjak menuju tempat duduk mereka masing-masing.
Suara langkah kaki Bu Mia terdengar memasuki ruang kelas. Refleks aku langsung menatap guru yang satu ini. Penampilannya masih sama. Seragam guru SMP Angkasa.
Tunggu! Ada yang berbeda!
Sejak kapan Bu Mia memakai kacamata?
"Selamat pagi, Anak-anak."
Ucapan Bu Mia memecahkan keheningan yang tadinya tercipta.
"Pagiii, Buuu."
Kami berucap kompak walaupun bukan aku salah satunya. Entahlah! Rasanya aku malas saja mengeluarkan kata dari mulutku.
Setelah lama Bu Mia berbasa-basi perihal liburan semester satu, kami segera diberi tugas. Menakjubkan, bukan? Namun, tenang saja! Tugasnya tidak susah, hanya menceritakan pengalaman kami selama liburan semester kemarin. Eits, bukan berbicara di depan kelas melainkan kami menceritakannya dalam bentuk tulisan.
Kulihat ada yang bersemangat setelah mendengar tugas ini. Mungkin dia mempunyai pengalaman yang bagus dan menarik. Dan ada juga yang mendengus kesal. Entah karena tidak menyukai tugas yang diberikan oleh Bu Mia atau tidak tahu cara menceritakannya.
Bella sudah berkutat dengan pena dan buku Bahasa Indonesianya. Dia terlihat serius sekali dalam menulis. Terkadang tersenyum atau juga menggerutu tak jelas.
Kuembuskan napasku sebelum melirik pena yang sudah kupegang sedari tadi. Bukannya aku tak bisa merangkai kata-kata. Hanya saja aku tidak bisa berpikir dengan baik sekarang. Pikiranku terus melayang pada bunda.
Segera kubuka buku yang masih putih bersih tanpa coretan tanganku. Aku harus memulai dari mana? Tidak mungkin 'kan aku biarkan saja buku ini kosong selamanya? Yang ada aku akan diomeli Bu Mia. Ingat? Ini adalah hari pertamaku sekolah dan aku tidak mau mendapatkan poin buruk.
My Lovely Family.
Namaku Claudi. Bukan! Ini bukan semacam perkenalan melainkan sebuah peringatan pada diriku sendiri untuk tidak membuat bunda memanggilku dengan nama lengkap. Karena setelah itu aku akan selalu berada dalam pengawasan bunda untuk mengomeliku.
Aku adalah seorang adik bagi kedua kakak kembarku—Kak Sam dan Kak Berlize. Mengingat mereka, aku sedikit malas mendeskripsikannya. Karena apa? Selama liburan semester, mereka selalu menjahiliku. Dan aku adalah korban setia mereka. Lebih tepatnya korban satu-satunya.
Bicara tentang liburan, keluargaku dan aku tidak pergi ke mana-mana. Hanya bermain di rumah. Makan bersama di rumah atau ... pernah satu kali di tepi kolam renang. Itu adalah masa-masa di saat aku yang kelaparan setelah berenang. Dan singkatnya kami makan bersama di sana. Kami juga sering bercengkrama di ruang kerja ayah. Alhasil, bunda memarahi kami karena sudah mengacaukan ruangan tersebut. Sebenarnya yang paling bertanggung jawab tentang hal ini bukan aku maupun kedua kakak kembarku melainkan Lissa—si bungsu keluarga kami.
Memang begitu sederhana, tapi kami bahagia. Selalu bahagia sebelum hari itu tiba— hari yang menjadi awal kehancuran semuanya.
Tanganku berhenti menulis. Mataku terasa perih menahan untuk tidak menangis. Hatiku benar-benar terasa dikoyak dengan pisau tajam. Membuatku secara tak sadar telah meremukkan pena yang berada dalam genggaman tangan kananku.
Aku kembali merasa sakit. Sakit yang masih tak bisa kujelaskan pada siapa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Heart [Completed]
Teen Fiction"Bagiku, rumah adalah tempat terindah di bumi dan ayah adalah kebanggaan kami." Bahagia? Tentu saja! Namun... ...semuanya begitu sempurna sebelum bunda menghilang secara tiba-tiba. Semuanya akan baik-baik saja jikalau ayah pulang tanpa membawa mere...