"Kak, apa bunda masih belum ditemukan?"
Suara Lissa berhasil menyadarkanku dari alam bawah sadar yang terus terenggut oleh ucapan Kak Sam tadi. Tanpa kusadari langkah kakiku menuju ruang rawat Kak Berlize mendadak terhenti.
Setelah menemui Kak Sam di kantor polisi, aku langsung kemari. Berniat menemui Kak Berlize.
"Kak ...," seru Lissa dengan tangan yang melambai-lambai di depan wajahku. Ya, tadi sebelum ke rumah sakit, Lissa menghubungi Pak Toni agar dijemput dari tempat les piano yang selalu sekali seminggu diikutinya. Alhasil membuatku bersamanya pergi ke sini.
"Belum, Lissa."
Aku menjawab dengan kaki yang kembali melangkah, membuat wajah Lissa menjadi murung. Lalu berjalan dengan terus menekuk wajah ke bawah. Membuatku secara tak sadar telah mengembuskan napas kasar.
Permasalahan seakan terus berdatangan pada keluarga kami. Tanpa jeda. Membuat semuanya benar-benar merasa lelah.
Aku yakin itu.
Menyadari Lissa yang tak berniat membuka suara, aku juga memilih untuk diam. Suasana hati Lissa ... aku bisa memahaminya.
Gagang pintu dibuka oleh Lissa. Menampakkan Kak Berlize yang sedang makan disuapi ayah ... dan Mama Verty yang menatap kehadiran kami. Sepertinya aku harus lebih bersabar kali ini. Tidak mungkin aku akan membuat kerusuhan di sini, bukan?
"Hei, putri-putri ayah yang ini sudah datang ternyata," sahut ayah menyambut kedatangan kami.
Suapan terakhir sudah memasuki rongga mulut Kak Berlize lalu meminum air yang disodorkan ayah.
"Claudi ... kenapa masih pakai seragam sekolah, Sayang?"
Ayah mengajukan pertanyaan seraya meletakkan mangkuk yang sudah kosong dan gelas yang berisi seperempat air putih pada nampan yang terletak di atas meja.
Kemudian ayah beralih menghampiri kami yang sudah berdiri di samping kiri ranjang Kak Berlize bak patung mati. Menatap ayah dan Kak Berlize bergantian. Hei, kenapa aku malah cemburu pada Kak Berlize yang disuapi ayah?
Aku juga mau!
"Ayah ... aku juga mau makan disuapi ayah."
Dalam hati aku terus berdoa bahwasanya itu bukanlah suaraku. Dan ya, sepertinya kali ini harapanku terkabul. Terbukti ayah langsung terkekeh sembari berjalan menghampiri Lissa lalu memeluknya. Mengelus surai sepinggang Lissa tanpa menghentikan tawa yang begitu merdu merasuk dalam gendang telingaku.
Sudut bibirku terangkat otomatis ke atas menciptakan lengkungan senyum manis bak orang yang sedang dilanda kebahagiaan. Aku benar-benar rindu suasana ini. Melihat ayah tertawa lepas seperti saat ini.
"Lissa ... apa guna kedua tanganmu, Sayang? Tidak mungkin mereka hanya bertengger manis pada tubuhmu, bukan?"
Ayah meledek tanpa melepas pagutannya pada Lissa.
"Pokoknya aku juga mau!"
Lissa berucap menuntut sembari mengurai dekapan ayah. Kudengar ayah kembali terkekeh ringan melihat wajah masam Lissa. Hei, Lissa benar-benar anak yang pemaksa.
"Hai, Kak. Bagaimana keadaan kakak?"
Lissa bertanya pada Kak Berlize yang hanya diam membisu melihat interaksi antara ayah dan Lissa. Kak Berlize hanya diam dengan pandangan yang terus menatap lurus Lissa. Aku cukup bingung kenapa Kak Berlize hanya membisu.
Apa dia marah pada Lissa? Tapi, itu sangat tidak mungkin. Mengingat Kak Berlize bukanlah orang yang pelit untuk berbagi perihal ayah.
"Bunda ...."
Kak Berlize berucap dengan mata yang memancarkan rasa bahagia menatap Lissa. Apa maksudnya?
"Bunda? Apa kakak sudah bertemu dengan bunda? Lalu di mana bunda? Bunda baik-baik saja, bukan?"
Lontaran pertanyaan beruntun langsung tertuju pada Kak Berlize dari mulutku. Kulihat semua orang menatap penuh harap pada jawaban Kak Berlize.
Dan, ya termasuk wanita itu.
"Sudah ...."
Jawaban Kak Berlize membuat senyum kami semua langsung terlukis manis. Bahkan kulihat Lissa hampir menangis saking bahagianya.
"Ini bunda. Apa kalian mulai amnesia? Bunda sudah bersama kita."
Belum sempat kami berujar perihal bunda, ucapan Kak Berlize selanjutnya berhasil membungkam mulut semua orang. Bagaimana tidak? Kak Berlize mengatakannya dengan tangan yang menunjuk Lissa.
"Apa maksudmu, Sayang?"
Ayah bertanya baik-baik pada Kak Berlize lantaran rasa kaget kami semua masih terasa. Kuharap apa yang ada dalam pikiran kecilku bukanlah yang akan dikatakan Kak Berlize. Namun naas, semuanya adalah fakta.
"Iya, Ayah. Ini bunda, 'kan? Bunda bersama kita, Ayah. Di samping ayah," tunjuk Kak Berlize terus-terusan pada Lissa yang dianggapnya sebagai sosok bunda.
"Kak ... dia adalah Lissa, bukan bunda."
Aku mencoba menyadarkan Kak Berlize. Membawanya pada kenyataan.
"Claudi, apa kau mulai buta? Jelas-jelas itu bunda. Kuharap kau segera melakukan periksa mata," ujar Kak Berlize dengan nada yang penuh keyakinan. Seakan-akan ucapannya yang benar sekarang.
Aku semakin dibuat bingung olehnya. Kuakui wajah Lissa memanglah yang paling mirip dengan bunda. Namun, amat tidak elite jikalau Kak Berlize menganggap Lissa sebagai bunda.
"Kak, jangan bercanda sekarang. Ini bukan waktu yang tepat," elakku pada Kak Berlize. Kuharap dia sedang melakukan prank pada kami.
"Ck! Kau sungguh bodoh, Claudi! Menyingkirlah jikalau kau tak memercayaiku," usir Kak Berlize dengan tangan yang menarik Lissa untuk mendekat padanya.
"Bunda jangan pergi lagi, ya? Aku rindu bunda. Aku tidak mau bunda jauh-jauh lagi dariku."
Kak Berlize berucap dengan tangan yang melingkar pada pinggang Lissa. Memeluk Lissa dengan penuh kasih sayang. Tapi, kenapa Kak Berlize menganggap Lissa sebagai bunda?
Aku masih belum paham.
"Dengar, Sayang. Dia itu Lissa, bukan bunda. Berlize paham, bukan?"
Ayah berucap dengan mencoba melepaskan lingkaran tangan Kak Berlize pada Lissa yang didekapnya.
"Tidak, Ayah! Ini bunda! Jangan berani memisahkanku dari bunda!"
Kak Berlize mengamuk sambil berteriak pada ayah. Membuatku berjengit kaget mendengar bentakan Kak Berlize.
"Sayang ... dengarkan ayah. Dia bukan ...."
Belum sempat ayah menyelesaikan ucapannya, suara pecahan mangkuk dan gelas mengalihkan atensi kami semua. Kak Berlize mendorong nampan tempat makannya tadi. Membuat semuanya hancur berantakan di lantai dekat kami berdiri.
"Sayang ...."
Ayah langsung beralih mendekap Kak Berlize berusaha menenangkannya yang sudah di luar batas kendali.
"Verty! Cepat panggil dokter," titah ayah pada Mama Verty yang segera dianggukinya.
Kak Berlize terus meronta-ronta dalam dekapan ayah. Mencoba menggapai Lissa yang dianggapnya sebagai bunda. Kulihat Lissa sudah gemetaran menahan ketakutan.
"Lissa."
Panggilanku membuat Lissa segera menjauh dari ranjang Kak Berlize ke arah sofa. Kupilih menghampiri Lissa lalu memeluknya yang mulai menangis lantaran ketakutan.
"Sudah. Semuanya akan baik-baik saja," ujarku menenangkan Lissa. Berharap apa yang telah kukatakan benar-benar akan menjadi kenyataan. Meskipun aku tak begitu yakin akan ucapanku sendiri.
Pintu terbuka menampilkan Dokter Rio dan Mama Verty yang bergegas masuk ke dalam ruangan ini. Setelahnya ada dua orang perawat yang menyusul di belakang mereka dengan membawa berbagai macam peralatan medis.
"Bapak dan semuanya silakan keluar dulu. Biar kami yang menangani pasien."
Salah seorang perawat yang ber-name tag Susi Anggreini menginterupsi pada kami untuk keluar sebentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Heart [Completed]
Teen Fiction"Bagiku, rumah adalah tempat terindah di bumi dan ayah adalah kebanggaan kami." Bahagia? Tentu saja! Namun... ...semuanya begitu sempurna sebelum bunda menghilang secara tiba-tiba. Semuanya akan baik-baik saja jikalau ayah pulang tanpa membawa mere...