21. Memori

1.2K 99 2
                                    

Jam weker berhasil membangunkanku dari tidur delapan jam kali ini. Semalam ayah memaksaku untuk tidur di rumah saja. Melarangku menemani Kak Berlize di rumah sakit. Tanpa bersusah payah menuruti kemauanku yang kecil ini, ayah malah menyuruhku dan Lissa pulang bersama Abang Rey. Mengingat itu, membuat rasa jengkelku kembali tumbuh saja.

Menghela napas panjang dengan badan yang setengah duduk di atas pembaringan setelah menatap dinding kamarku yang bernuansa kehijauan.

Sedari tadi.

Sepuluh menit.

Lima belas menit.

Itu yang terus-terusan kulakukan tanpa berniat beranjak untuk bersiap-siap pergi sekolah. Ya, hari ini adalah hari kedua untuk pergi ke sekolah.

Dddrrrttt dddrrrttt.

Dering handphone mengalihkan atensiku dari dinding kamar yang setia menemaniku sedari bangun tidur tadi. Kulirik handphone tersebut yang menampilkan panggilan masuk dari My Lovely Dad.

Suara dering itu terus-terusan memecahkan kesunyian dalam kamarku. Alih-alih menerima panggilan dari ayah, tanganku hanya bertengger malas di atas kasur tempat tidurku.

Satu menit.

Dua menit.

Dering itu sudah tak hadir dalam ruangan ini. Membuat kepalaku refleks melirik kembali handphone yang berada di atas meja di samping kanan tempat tidurku. Tujuh panggilan tak terjawab dan dua pesan masuk. Itu yang tertera di saat aku menatap layar teknologi canggih itu.

From : My Lovely Dad

Claudi, apa sudah bangun? Ayah akan pulang sebentar lagi. Jadi, segeralah bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Tunggu ayah disana, oke? Ayah sayang Claudi.

Sudut bibirku sedikit tertarik ke atas setelah membaca pesan dari ayah. Ayah tidak pernah berubah. Aku yakin itu. Lihat saja! Ayah masih sempat-sempatnya mengatakan sayang padaku.

Dan ya, aku juga sayang ayah.

Netra hitamku bergulir menatap pesan masuk dari nomor yang tak dikenal. Dahiku mengernyit bingung melirik isi pesan tersebut.

Claudi, apa sudah bangun? Abang tunggu di bawah.

Otakku seakan lambat dalam berpikir siapa pengirim pesan ini. Tapi belum genap satu menit, benakku sudah memikirkan seseorang.

Abang? Abang Rey, 'kan?

Kemungkinannya sangat besar, membuat wajahku kembali datar. Untuk satu hal, otakku memikirkan dari mana dia mendapatkan nomor teleponku? Kuletakkan kembali handphone tersebut ke atas meja setelah membaca pesan terakhir yang tak bermutu itu.

Cih, aku tidak butuh!

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 6.32 pagi. Yang artinya, aku akan terlambat datang ke sekolah jikalau tidak segera bersiap-siap.

Kutarik selimut bermotif doraemon itu sebatas leher seraya membaringkan kembali tubuh mungilku bak posisi seseorang yang sedang tertidur. Untuk sekarang aku malas pergi ke sekolah. Entahlah! Rasanya semangatku hilang begitu saja.

Kupejamkan mataku berniat mencoba untuk kembali terlelap. Namun, nihil. Usahaku hanya sia-sia belaka. Tanpa membuka mata, otakku dengan lancangnya memutar semua memori sejak bunda menghilang hingga sekarang. Tidak bisa dihentikan. Terus berputar sembari dadaku yang kembali sesak.

Kurasakan bulir bening itu mulai berjatuhan membasahi pipiku. Bunda menghilang. Ayah kembali menikah. Kemudian membawa Mama Verty dan Abang Rey ke dalam rumah. Kak Berlize kecelakaan hingga sekarang mengalami kelumpuhan. Juga Kak Sam yang berada dalam jeruji besi.

Tanpa ada yang menyadari, aku kembali menangis dalam diam.

Sendirian.

Perih, pedih, kecewa, dan rapuh. Hatiku sesak terhimpit semua itu. Kubuka kelopak mata lalu menyeka air mata yang masih mencoba menyeruak keluar. Kutatap langit-langit kamar sembari laut air mata itu yang terus menggenang. Membentuk kolam kepedihan di pelupuk mataku.

Tok tok tok!

Suara pintu yang terdengar sedang digedor oleh seseorang berhasil mengalihkan perhatianku. Kusingkirkan selimut lalu duduk di tepi ranjang menatap ke arah pintu.

"Claudi ... apa sudah bangun, Sayang? Ini ayah."

Ayah terus-terusan menggedor pintu kamarku sembari memanggilku. Perlahan tungkaiku mulai melangkah mendekati pintu. Tanpa balasan sahutan. Tanpa berniat sekadar merespon panggilan ayah.

Daun pintu terbuka oleh tanganku yang sukses menampilkan sosok yang paling kubanggakan—super hero kami. Aku hanya mematung di hadapan ayah. Menunggu apa yang ingin ayah sampaikan meskipun aku sudah tahu sebelum ayah mengutarakannya.

"Claudi ... kenapa masih belum bersiap-siap, Sayang? Apa kau lupa untuk berangkat ke sekolah? Lihatlah sekarang sudah jam berapa, Sayang."

Ayah berucap panjang lebar padaku. Aku diam dengan otak yang sudah berputar mencari jawaban. Apa yang harus kujawab? Akan sangat tidak mungkin aku mengatakan bahwa sedang malas bersekolah. Bisa-bisa ayah akan amat marah.

"Apa aku boleh tidak pergi ke sekolah untuk hari ini, Ayah?"

Pertanyaan konyol. Mungkin otakku benar-benar lemot sekarang.

"Kenapa, Sayang?"

Ayah bertanya dengan dahi yang mengerut dalam. Tentu saja ayah bingung mengingat dulunya aku adalah anak yang selalu rajin bersekolah.

Keringat dingin mulai bercucuran di telapak tanganku. Membuatku secara tak langsung sudah mempertaruhkan nyawa pada ayah. Hei, ayah selalu mengajari kedisiplinan dalam hidup! Dan sekarang aku malah mencoba bolos sekolah. Sungguh bodoh sekali kau, Claudi!

"Aku ingin menemani Kak Berlize di rumah sakit, Ayah ... dan ingin menemui Kak Sam."

Kalimat itu terucap begitu mulus menjawab kebingungan ayah.

Alasan yang bagus, Claudi.

Ayah menghela napas setelah mendengar penuturanku. Lalu memegang kedua pundakku sembari menatap sayang padaku. Itu yang kutafsirkan jika aku tak salah memandang.

"Mengenai Berlize, biar ayah yang akan menjaganya. Dan perihal Claudi yang ingin menemui Sam, bukankah sepulang sekolah bisa? Claudi tidak harus bolos sekolah, Sayang."

Ayah mengatakannya dengan suara yang berhasil menyentuh hatiku. Ayah mengingatkanku akan bunda.

"Tapi, Ayah ...."

Ucapanku tergantung begitu saja di udara saat netra hitamku tak sengaja bertubrukan dengan netra coklat terang itu.

Melihatku yang tak melanjutkan ucapan, ayah ikut melirik ke belakang. Menatap sosok yang tak pernah kuinginkan berada dalam lingkungan keluarga kami.

"Rey ...."

Ayah memanggilnya. Membuatku langsung mengalihkan pandangan ke arah lain.

Aku benci mata itu.

"Baiklah, Claudi bisa berangkat ke sekolah bersama Abang Rey, ya? Ayah tidak bisa mengantarkan Claudi hari ini. Mama Verty sendirian menemani Berlize di rumah sakit. Tak apa 'kan, Sayang?"

Jangankan untuk berangkat bersamanya, pergi ke sekolah saja aku tidak memikirkannya. Namun, sekarang sepertinya aku akan menuruti kemauan ayah lagi.

Untuk kedua kalinya sejak hari sekolah dimulai.

"Tentu, Ayah."

Kuharap itu bukan suara dari mulutku. Tapi seberapa besar apa pun aku menolaknya, suara itu akan tetap menjadi milikku. Bagaimana mungkin aku bisa mengiyakan ucapan ayah dengan begitu mudahnya? Apa aku sudah mulai gila?

Ayah tersenyum menatapku lalu beralih menarikku ke dalam dekapan hangatnya. Mengecup puncak kepalaku sebelum mengatakan rasa sayang kepadaku sekali lagi.

Aku hanya bisa membalas pelukan ayah dengan semakin erat. Menyembunyikan wajahku pada dada bidang ayah. Berharap tak ada yang menyadari genangan air mataku sudah berkumpul dan hanya menunggu waktu sedetik untuk mengalir deras keluar.

Ayah tidak akan tahu seberapa besar rasa sayangku pada ayah. Tidak akan pernah!

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang