2. Menghilangnya Bunda

4.5K 256 0
                                    

"Bagaimana? Apa kalian masih belum mendapatkan sedikit informasi saja? Dia hanya seorang wanita. Apa kalian tidak berniat mencarinya, huh?!!"

Bentakan ayah terdengar pada seseorang yang kuyakini adalah salah seorang anak buahnya. Kulihat ayah langsung melemparkan handphone ke atas sofa dengan kesal setelah menutup pembicaraannya sepihak lalu memijit pelipis pertanda pusing.

Aku yang baru turun dari anak tangga terakhir langsung mendapat pemandangan yang amat berbeda di rumah kami. Tanpa sadar aku menghela napas panjang menyadari bahwa ucapan ayah di kamarku tadi benar-benar terjadi.

Sejak menghilangnya bunda, ayah terlihat berbeda. Benar-benar berantakan. Rambut acak-acakan dengan wajah kusut dan bahkan ayah masih memakai baju tidur. Jika bukan dalam situasi seperti ini, mungkin aku akan tertawa terbahak-bahak melihat penampilan ayah. Mengingat sekarang sudah hampir siang.

Kualihkan atensiku pada Kak Berlize yang duduk di sofa yang berbeda dengan ayah. Dia hanya duduk dalam diam. Lebih tepatnya melamun. Pandangannya kosong ke depan. Jika dilihat lebih dekat matanya memerah seperti iblis yang ada di serial film kartun. Benar-benar menakutkan. Mungkin aku akan mengejeknya jikalau mengingat matanya memerah bukan karena menangis.

Kurasakan mataku perih melihat Kak Berlize. Mungkin aku akan menangis pula bila masih terus-terusan melihat kondisinya. Oleh karena itu, kuputuskan beranjak pergi ke dapur, berniat menghindari suasana ruang tamu yang mencekam. Kuhentikan langkah kakiku ketika mendengar suara tangis seseorang yang berasal dari sudut dapur.

Tapi ... siapa?

"Lissa? Hei, ada apa?"

Seketika aku merutuki kebodohanku sendiri. Pertanyaan macam apa itu Claudi?! Dia bukan lagi anak kecil yang masih bisa kau bohongi. Lihatlah wajahnya membuatku merasa ingin menangis juga. Jika bunda mengetahui ini, kujamin aku dan kedua kakak kembarku yang akan bertanggung jawab atas setiap tetes air mata Lissa.

Mengingat bunda amat marah jikalau ada yang menjahili Lissa, apalagi sampai membuatnya menangis.

"Kak, apa bunda belum kembali? Ke mana bunda pergi? Kenapa lama sekali? Kenapa bunda tidak pamit dulu denganku? Apa bunda melupakanku?"

Lissa meracau di sela-sela tangisannya. Apa yang harus kujawab? Bahkan aku saja tidak tahu alasan kenapa bunda pergi. Mulutku hanya bisa bungkam dan lebih memilih memeluknya dalam diam.

Sembari berusaha menenangkan Lissa, otakku berputar mengingat Kak Sam. Di mana kembaran Kak Berlize itu? Sedari tadi aku belum melihatnya. Apa dia juga menangisi bunda? Ingat? Dia itu 'kan anak manja bunda. Mungkin saja dia mengurung diri di dalam kamar.

"Claudi."

Aku sedikit tersentak mendengar suara itu. Baru dipikirkan, sudah berdiri di depanku dengan tiba-tiba saja. Kulihat keadaan Kak Sam juga berbeda dari biasanya. Rambut acak-acakan, mata sedikit sembab, dan tangan yang memegang jaket. Seingatku, itu adalah jaket pemberian bunda.

Apa dia merindukan bunda?

Kak Sam yang hendak membuka lemari pendingin terhenti seraya kembali menoleh ke arahku. Ia tersentak ketika melihat Lissa yang sedang tersedu-sedu karena menangis di dalam dekapanku. Bisa kupastikan, Kak Sam baru menyadari eksistensi Lissa di dalam ruangan ini. Sebegitu kacaukah keadaan Kak Sam sekarang?

"Lissa, kenapa menangis?"

Kak Sam langsung bertanya seraya berjongkok di hadapan kami.

Kulihat raut panik menghiasi wajah kakak laki-lakiku ini. Dengan segera, ia mengalihkan pandangan ke arahku seraya bertanya 'apa yang telah terjadi' tanpa suara.

"Bundaaa, hiks hiks ...."

Belum sempat kujawab pertanyaan tanpa suara Kak Sam tadi, isakan Lissa yang terdengar sudah menjelaskannya. Helaan napas keluar dari bibir Kak Sam yang bisa kupastikan ia juga menjadi kembali teringat akan bunda.

"Lissa ...," tegur Kak Sam dengan menyentuh lengan si bungsu yang menyembunyikan wajah di dalam dekapanku.

Tak ada sahutan dari Lissa.

"Hei ...."

Kak Sam mulai mengusap-usap punggung Lissa, berniat menenangkan adik kecil kami yang tak berhenti menangis tersebut.

"Jangan menangis lagi ... bunda pasti akan kembali."

Mendengar hal itu, Lissa menolehkan kepalanya ke arah Kak Sam yang langsung membuat Kak Sam mengangguk mantap menegaskan pernyataannya barusan. Seakan-akan apa yang dia ucapkan itu benar-benar akan terjadi dalam kurun waktu yang dekat.

Meskipun hanya untuk sekadar menenangkan Lissa, di dalam hati aku berharap apa yang diucapkan oleh Kak Sam tadi agar menjadi kenyataan.

"Lissa, apa sudah makan?"

Kak Sam bertanya pada Lissa yang sudah mulai tenang.

Inilah yang kusuka dari Kak Sam. Meski dalam keadaan seperti apapun, dia selalu memerhatikan Lissa—adik kecil kami. Kulihat Lissa hanya menggeleng menjawab pertanyaan Kak Sam.

Hei, apa Kak Sam lupa?

Jika Lissa belum makan, itu artinya satu keluarga kita belum makan juga.

"Lissa harus makan tepat waktu, oke?"

Kak Sam berujar dengan tersenyum lembut yang dibalas anggukan kecil oleh si bungsu keluarga kami itu.

Tak lama kemudian, Kak Sam mengajakku mencari bunda setelah selesai menemani Lissa makan. Ya, kalian tidak salah dengar! Kak Sam hanya menemani! Karena menurut pengakuannya, dia sedang tidak lapar, meski kuyakini perut satu keluarga kami sudah bernyanyi minta diisi.

"Biarkan Berlize tetap di rumah menjaga Lissa," tutur Kak Sam ketika aku bertanya kenapa tidak mengajak Kak Berlize.

Ah, benar juga.

Bunda di mana? Belum genap dua puluh empat jam bunda pergi, rumah seakan sudah mati. Apa bunda tidak ingin kembali? Apa bunda sudah tidak menyayangi kami?

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang