35. Dongeng Pengantar Tidur

802 71 1
                                    

Dddrrrttt dddrrrttt.

Suara dering handphone yang bergetar mengalihkan atensiku. Segera kuraih handphone milikku yang terletak di atas meja di samping tempat tidur.

Nama Bella terpampang jelas di layar handphone yang sedang menampilkan panggilan masuk. Kini aku masih diam. Tanpa berusaha untuk menerima panggilan dalam jaringan dari Bella lantaran pikiranku masih melayang pada kejadian tadi pagi dalam mobil ayah...

...serta kabar mendadak yang Bella sampaikan tanpa bisa berharap hanya prank darinya.

Dering telepon terus bersahut-sahutan dalam ruang kamarku. Sejenak aku menghela napas sebelum beralih menerima panggilan dari Bella.

"Ada apa?"

Aku bertanya langsung pada orang di seberang telepon. Tanpa bersusah payah mengucapkan salam dan segala macam basa-basi yang akan membuatku semakin lelah saja.

"Kau sungguh tidak sopan sekali, Claudi. Kesalahanmu sangat banyak mengenai hal ini," sungut Bella dengan kesalnya yang tak akan kupedulikan tentunya.

Toh, itu sudah menjadi hal yang rutin untuk kudengar.

"Gak usah bawel deh, Bella. Cepat katakan saja sekarang apa alasanmu menggangguku malam-malam."

21.56 sudah terpampang jelas di layar handphone milikku.

Artinya batas waktuku untuk segera tidur sudah hampir datang. Jikalau aku tidak cepat-cepat menyelesaikan pembicaraan dengan Bella yang pastinya lebih banyak ocehan tak bergunanya dibandingkan informasi yang ingin disampaikan atau ditanyakan, maka waktu tidurku akan terpakai cuma-cuma.

"Hei, sebelum itu aku harus menegaskan dulu beberapa hal padamu. Pertama, kau tidak mengucapkan salam ketika memulai obrolan denganku. Kedua, kau malah bersikap cuek padaku. Ketiga, kau telah memaksaku yang pada hakikatnya aku juga punya hak yang harus kutegakkan; hak untuk memilih tindakan."

Bella mengoceh panjang lebar yang membuatku malah mengantuk ingin bergelut dengan selimut. Sepertinya Bella berbakat untuk membuat seseorang cepat mengantuk. Omongannya bisa dijadikan dongeng pengantar tidur rupanya.

"Claudi ... kau bisa mendengarkanku, bukan? Hello! Claudi masih di sana, bukan? Bangun! Dasar kebo!"

Teriakan Bella dalam telepon cukup membuatku sebal. Tidak bertemu langsung, dia masih bisa sebegitu menjengkelkannya. Sebenarnya dia itu kenapa? Kenapa hobi sekali menggangguku?

"Aku masih di sini, Bella. Tolonglah, jika tidak ada hal yang penting, biarkan aku tidur sekarang. Apa kau tidak punya jam di rumahmu?"

Ucapan dan pertanyaan sarkastikku berhasil membuat Bella semakin mendumel-dumel tak karuan. Lima menit lamanya kubiarkan Bella bersungut-sungut tak jelas padaku.

"Bella!"

Oh, tidak!

Segera aku menyumpah serapahi mulutku yang tanpa sadar telah membentak Bella. Sontak hal itu membuat Bella terdiam. Keheningan menyelimuti kami beberapa saat lamanya. Hingga aku memilih untuk meminta maaf padanya.

"Bella, maaf ... aku benar-benar tak bermaksud untuk membentakmu."

Suaraku terdengar berat lantaran rasa penyesalan telah merasuk masuk dalam hatiku. Meski Bella menjengkelkan, namun untuk hal yang seperti tadi, tidaklah pernah kulakukan. Ya, tadi adalah untuk pertama kalinya.

"Tidak apa-apa. Lagi pula aku memang menyebalkan."

Balasan Bella yang disertai dengan kekehan ringan membuat hatiku kembali menghangat. Inilah yang kusukai dari Bella, dia tidak pernah memanjang-manjangkan suatu masalah.

"Apa kau terus akan tertawa seperti itu, Bella? Ingat ini sudah jam berapa dan jangan biarkan tawamu terus menggelegar di sana. Nanti kalau ada yang mendengarnya, kau malah dituduh setan. Aku tak akan mau berteman dengan setan."

Ucapanku membuat tawa Bella langsung menghilang. Tergantikan oleh decakan sebal di seberang sana. Memaki-makiku yang tanpa berdosanya mengatakan kalimat itu. Setidaknya itulah yang bisa kulakukan untuk menghentikan tingkah absurd Bella.

"Claudi ... perihal yang kukatakan tadi di sekolah, itu memang benar adanya. Besok pagi, kami akan berangkat ke sana. Maafkan aku karena tak bisa membantah keputusan kedua orang tuaku. Maafkan aku karena tak bisa juga untuk tetap tinggal di sini. Maafkan aku karena pertemuan terakhir kita yang tak mengenakkan ... dan maafkan aku karena hanya bisa mengatakannya lewat telepon sekarang."

Ucapan Bella membuat rasa kantukku lenyap begitu saja. Mulutku masih membisu, tubuhku hanya membatu. Kenyataan kembali menamparku, mencoba untuk membawa kembali ingatanku pada persoalan Bella.

"Tak apa, Bella. Aku mengerti situasinya," jawabku seadanya pada Bella. Kudengar dia mengembuskan napas panjang mendengarnya. Mungkin karena jawaban super singkatku.

"Claudi, aku benar-benar minta maaf. Jika aku mampu, maka aku akan tetap berada di sini pastinya; menolak keputusan mereka. Namun, nyatanya aku hanyalah seorang anak perempuan yang masih berumur empat belas tahun."

Aku masih diam setelah Bella selesai berbicara panjang lebar. Berusaha menjelaskan padaku bahwa dia juga tidak menginginkan perihal kepindahan tersebut. Apa aku perlu memercayainya?

"Ya," jawabku singkat membalas ucapannya.

Amat singkat.

Maafkan aku, Bella. Hatiku terlalu sakit atas semuanya. Kalian yang dengan lancangnya pergi meninggalkanku di sini tanpa sekadar berusaha untuk mengerti seperti apa hancurnya aku.

Bella terus-terusan melontarkan kalimat permintaan maaf yang sebenarnya sama sekali tak berguna untukku. Apa dia sadar yang telah dia lakukan? Semakin meminta maaf padaku, dia seakan mencoba untuk terus membela diri. Sedangkan aku? Aku malah merasa adalah seseorang yang amat jahat. Begitu terpojokkan dalam ruangan yang luas.

"Bella, aku ingin tidur."

Setelah selesai mengatakan empat kata itu, aku langsung menyudahi pembicaraan lantaran Bella yang nampaknya juga tak terlalu memaksaku lagi.

Handphone masih dalam genggaman tanganku. Tubuhku masih mematung bak batu. Bella ingin meninggalkanku? Lantas kenapa begitu pilu? Sakit, sesak. Semuanya ingin meninggalkanku sepertinya. Apa kesalahanku?

Suara pesan masuk membuat handphone yang masih berada dalam genggamanku bergetar. Lantas sukses mengalihkan atensiku. Layar handphone menampilkan pesan dari seseorang yang baru saja membuat suasana hatiku begitu muram. Bella mengirimkan pesan yang berhasil membuat air mataku mulai jatuh bergulir.

From : Bella

Claudi, mungkin kau tak akan bisa memaafkanku ... namun untuk sekadar kau ketahui, aku amat tak menyetujui keputusan ini. Aku sebagai sahabatmu; teman karibmu, percayalah tak akan melupakanmu. Jika nanti ada waktu, aku pasti akan tetap menghubungimu. Jika nanti ada kesempatan, tentu aku akan mengunjungimu. Memang benar aku adalah seorang pengecut yang tak mampu mengatakan semua ini secara langsung padamu. Aku terlalu lemah ... dan kau pun memahami itu. Kuharap kau tetap menganggapku sebagai teman terbaikmu. Semoga selalu bahagia. Aku akan selalu mendoakanmu.

Kuremas selimut yang sudah terbentang menutupi sebagian tubuhku dengan erat setelah melempar handphone ke sembarang arah. Setetes lagi air mata jatuh membasahi wajahku. Kupejamkan mata erat-erat seraya berharap bisa menghilangkan rasa sesak dalam dada.

Air mata meluncur sudah. Terlalu sakit hingga yang bisa kulakukan hanya menangis dalam diam, tanpa suara. Dengan tubuh yang mulai bergetar lantaran menahan isak tangis yang bisa keluar sekarang juga, aku merebahkan badan di atas ranjang.

Tubuhku mulai meringkuk dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir keluar. Selimut sudah menjadi pelampiasan perasaanku. Meremasnya kuat-kuat berharap bisa meredam amarah yang bercampur perih di dalamnya.

Begitu sesak, amat penuh luka.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang