39. Papa dan Sofia

1.1K 80 1
                                    

Setelah ayah keluar dari kamarku, aku segera menghampiri ranjang berniat untuk tidur secepatnya. Berharap dengan tertidur maka beban pikiranku hilang dalam sekejap. Berbeda lagi jikalau sedang terbangun seperti ini.

Seketika ingatanku melayang pada kertas yang diberikan Bella dulu. Katanya kertas itu berisi puisi, bukan? Segera kurogoh seluruh isi tasku mencari secarik kertas tersebut.

Kunyalakan lampu khusus untuk belajar yang terdapat di atas meja belajar. Kemudian beralih duduk di atas kursi dengan mulai membuka lipatan kertas tersebut.

Teruntuk,
Si irit bicara,
Claudia.

Pertama, maafkan aku karena telah membohongimu. Kertas ini bukanlah kertas yang berisi puisi yang kumaksud. Kau akan mendapatkannya di saat hari ulang tahunmu.

Aku sudah menyiapkannya.

Jadi, tenang saja.

Kedua, maafkan aku karena hanya dengan cara ini ... aku mampu mengutarakan isi hatiku; perihal kepindahan kami memang sudah lama aku ketahui, namun untuk mengatakannya padamu tak pernah terkumpul nyaliku.

Ketiga, tolong jangan membenciku. Aku menulis ini di saat bersamamu, dalam kelas. Mencuri-curi kesempatan dari guru dongeng sejarah. Ingat, bukan?

Maafkan aku, Claudi. Maafkan aku. Aku menyayangimu, selalu.

Tertanda,
Sahabat karibmu,
Si cantik Bella.

Air mataku jatuh menetes setelah membaca tulisan tangan Bella. Dia adalah satu-satunya teman yang kumiliki. Dan kini Bella juga sudah pergi.

"Bella ... kau sungguh menjengkelkan ... sangat," ujarku yang tentunya tak akan pernah didengar Bella. Dengan terus meracau tentang Bella, air mata tak berhenti mengalir jua.

Kepalaku lama-kelamaan tersandar mulus di atas meja belajar dengan kedua tanganku yang terlipat sebagai alas sandaran. Berusaha meredam suara tangisan yang mulai keluar.

Seiring tangisanku yang mulai reda, kurasakan tangan seseorang mengusap rambutku yang entah kenapa semakin bisa menenangkanku, menetralisirkan kecamuk rasa di hatiku.

"Claudi ...."

Suara itu membuat tubuhku menegang. Ada banyak pertanyaan dalam hati yang sedang kupikirkan. Apa yang dilakukannya di sini? Bagaimana caranya dia bisa masuk ke dalam kamarku? Dan apa tujuannya menghampiriku?

"Dek ... adek baik-baik saja, bukan?"

Adek?

Aku bukanlah saudaranya!

Segera kutegakkan kepalaku dan bangkit dari duduk. Menatap Abang Rey yang sudah tak mengusap rambutku lantaran posisiku sekarang sudah berdiri di hadapannya.

"Keluar dari kamarku!"

Aku berujar dengan penuh penekanan.

"Dek ... abang cuma mau bicara sama adek."

Abang Rey berujar dengan tatapan sendu. Mengamati wajahku yang pastinya berantakan karena menangis tadi.

"Aku tidak punya waktu," balasku singkat padanya. Menatap Abang Rey dengan tatapan yang amat tak bersahabat.

"Dek ... abang memang tidak tahu seperti apa perasaan adek, sehancur apa hati adek. Namun, abang di sini bukan untuk menyakiti adek maupun yang lainnya. Abang sayang kalian semua."

Cih, bullshit!

"Abang cuma mau bilang ... adek jangan merasa sendirian. Abang dan mama ada di sini untuk adek dan ayah. Kami sayang kalian semua."

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang