27. Wanita Tua

1K 84 0
                                    

Hujan sudah mulai reda pasca bel pulang berbunyi beberapa menit yang lalu. Menyebabkan aroma tanah basah begitu pekat dalam indra penciuman. Udara dingin khas hujan masih terasa menusuk pori-pori kulitku. Meski rasa dinginnya tak begitu kental, tapi cukup membuat bulu romaku merinding lantaran menahan kedinginan.

Langkah kakiku terus melaju sedang di atas trotoar dengan tangan yang masih mengusap kedua lenganku berharap bisa sedikit menghilangkan rasa dingin yang terus menyergap.

Netra hitamku masih setia menatap taman-taman mini yang berjejer di sepanjang perjalanan pulang kali ini. Ya, hari ini aku lebih memilih pulang dari sekolah dengan berjalan kaki. Menikmati pemandangan yang biasanya kulalui bersama bunda sambil bercengkrama perihal apa saja.

Tersenyum miris sudah menjadi hal yang rutin kulakukan sekarang—sejak bunda menghilang. Terlebih di saat semua memori tentang keluarga bahagia kami mulai berputar mulus dalam benakku. Tanpa bisa dicegah. Dihapus pun tak akan pernah kulakukan.

Meski perih biarlah seperti ini. Biarlah memori itu tetap hadir. Akan tetap kusimpan rapi-rapi sampai hari baik kembali. Sampai bunda kembali pada kami dan semua permasalahan berakhir. Hingga kebahagiaan kembali terukir dalam rumah kami—rumah yang selalu kujadikan tempat terindah.

Mendadak mataku bergulir pada suara tangis seseorang di seberang jalan. Mencuri atensiku beberapa saat lamanya. Menghentikan langkah kakiku dengan pandangan sayu nan rindu.

Tanpa bisa kucegah, bulir bening mengalir mulus di pipiku. Meninggalkan jejak tanda kesedihan mulai kembali keluar. Mereka—seorang anak perempuan yang berkisar tujuh tahun usianya dan wanita paruh baya—berhasil menarik perhatianku. Mengunci pergerakan kecilku.

"Hei, Sayang. Bunda di sini. Tak akan terjadi apa-apa, tenang saja. Luka ini tak akan menyakitimu, bunda sudah mengobatinya. Ayo tampilkanlah kembali senyuman manismu itu. Bunda rindu, Sayangku."

Wanita paruh baya itu berucap sembari terus membujuk anak perempuan yang kuyakini adalah putri yang amat dicintainya. Terlihat dari cara bicara dan tatapan hangatnya.

Semua aksi mereka terekam jelas dalam ingatanku. Membuat otakku kembali memutar saat bunda memarahiku karena tidak mendengarkan peringatannya.

"Claudi, cepat kemari! Makan dulu ke sini. Berhenti di situ atau bunda akan memarahimu," ancam bunda dengan terus berlari mengejarku.

"Hahaha, Bunda. Aku tidak mau makan. Perutku masih kenyang."

Tawaku yang terbilang amat bahagia terus menggelegar memenuhi taman belakang rumah kami. Dengan kaki kecilku, aku berlari menjauhi bunda yang sudah mencak-mencak tidak jelas.

Ringisan keluar dari bibirku kala langkah kakiku tersandung oleh bebatuan. Menyebabkan tubuhku tersungkur menyentuh tanah yang sedikit berkerikil.

Tanpa bisa kuhindari, tangisan meluncur bebas dari mulutku. Mengakibatkan bunda berseru panik melihat keadaanku. Lalu membopong tubuhku ke dalam pangkuannya.

Bunda memeriksa semua sudut tubuhku. Hingga bunda menemukan goresan kecil pada lutut sebelah kiriku. Jua di beberapa area telapak tangan yang cukup perih kurasakan.

"Sudah bunda peringatkan tadi, tapi Claudi malah tidak mau mendengarkan. Lihat apa yang terjadi sekarang. Apa masih mau membantah peringatan bunda lagi nanti?"

Bunda mengomel panjang lebar dengan tangan yang mencoba membersihkan luka-luka kecil tersebut sebelum memberi obat yang semakin membuat jerit tangisku terdengar keras.

"Hei, Sayang. Bunda di sini. Tak akan terjadi apa-apa, tenang saja. Luka ini tak akan menyakitimu, bunda sudah mengobatinya. Ayo tampilkanlah kembali senyuman manismu itu. Bunda rindu, Sayangku."

"Nak ...."

Suara seseorang dan sentuhan tangannya pada lenganku berhasil menyadarkanku dari alam bawah sadar yang sempat terenggut oleh kenangan masa kecilku.

"Kau tak apa, Nak?"

Di sampingku, seorang wanita tua bertanya dengan raut wajah yang kentara rasa khawatir. Mungkin karena melihatku hanya berdiri mematung sembari air mata yang terus mengalir bak sungai panjang.

"Aku tak apa, Nek."

Aku menjawab dengan tangan yang bergerak menghapus air mata yang masih membekas jelas di kedua belah pipiku. Wanita tua itu tersenyum menatapku sebelum mengucapkan sesuatu yang cukup membuatku tercengang.

"Apa pun yang sedang kau alami, Nak. Ingatlah Tuhan tidak buta juga tidak tuli, maka lewatilah semuanya dengan tetap tenang. Semuanya terjadi bukan tanpa sebab. Kuharap kau bisa mengambil kesimpulan yang benar."

Mulutku masih membisu setelah mendengar penuturan wanita tua itu yang bahkan sudah hampir menghilang dalam pandangan. Kembali kualihkan pandanganku pada wanita paruh baya dan anak perempuannya. Kulihat dia nampak sedang memeluk anak kecil itu.

"Dia mirip dengan bunda."

Aku bergumam kecil sembari kembali melanjutkan langkah kakiku yang tadinya sempat terhenti. Lalu terus berjalan tanpa berniat memerhatikan sekitar. Aku terlalu takut kembali mengenang akan bunda. Amat menciut nyaliku jikalau perihal orang yang kucinta.

Tanpa terasa aku sudah berada di depan gerbang rumah kami. Lalu segera masuk seraya mengamati lamat-lamat apa yang terjadi di taman depan rumah. Terdapat dua orang perawat Kak Berlize, Lissa dan ayah. Juga Kak Berlize yang sedang berdiri dengan tersenyum gembira.

Tunggu! Kak Berlize sedang berdiri?

Mataku melotot kaget seketika. Tangisan haru langsung keluar begitu saja. Lantas kakiku langsung berlari mendekat pada mereka. Ingin segera ikut dalam suasana haru nan bahagia itu.

Dengan tangan yang terus mencoba menghapus bulir bening di pipi, aku terus berlari. Berusaha bisa menggapai segera Kak Berlize yang sedang tertawa gembira.

"Claudi."

Ayah memanggilku yang hampir sampai di hadapan mereka semua. Lalu ayah merentangkan kedua tangannya menyambut kehadiranku. Seolah-olah tahu hal apa yang sedang kurasakan.

Tanpa berniat sekadar bertanya perihal Kak Berlize, tubuhku segera kujatuhkan dalam pelukan hangat ayah. Mendeskripsikan rasa haruku akan kesembuhan kaki Kak Berlize.

Kulihat Lissa sedang berpelukan manja pada Kak Berlize. Masih dalam dekapan ayah, aku berujar senang menatap mereka berdua yang terlihat amat cerah di siang hari ini.

Setelah sebulan lamanya Kak Berlize mengalami kelumpuhan. Hari ini dia sudah kembali bisa berjalan. Itu artinya salah satu permasalahan dalam keluarga kami sudah terpecahkan. Membuat senyum di bibirku tak bisa lagi untuk kutahan.

Kurasakan Lissa mendekap tubuhku dan ayah dari samping. Lalu disusul oleh Kak Berlize mendekap kami semua, semampunya. Ikut masuk dalam pagutan hangat keluarga meski tanpa Kak Sam dan bunda.

"Ayah sayang kalian semua."

Pengakuan ayah membuatku dan Kak Berlize tertawa bahagia. Berbeda dengan Lissa yang menggerutu tak jelas lantaran paling pendek di antara kami semua. Hingga gumaman ayah menjadi bahan gerutuannya.

Segera ayah lepaskan pagutannya pada kami. Lalu beralih mendekap Lissa seraya mengecup puncak kepalanya dengan gemas. Membuat Lissa terkikik dalam pagutan lembut ayah.

Di sela-sela suasana bahagia ini, otakku kembali mengingat ucapan wanita tua tadi.

"Tuhan tidak buta juga tidak tuli."

Sudut bibirku terangkat ke atas seraya menggumamkan kalimat itu.

Bahagia?

Tentu saja.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang