"Tidak ada apa-apa, Bu. Saya menulis kalimat itu secara tidak sengaja karena teringat cuplikan sebuah film sedih," elakku menjawab pertanyaan Bu Mia dengan harapan Bu Mia percaya.
"Benarkah?"
Bu Mia bertanya dengan raut wajah yang penuh curiga. Membuatku secara tak sadar sudah meremas tepi seragam sekolahku.
"Iya, Bu," ujarku dengan jantung yang sudah berdebar kencang. Oh, ayolah! Aku sedang berusaha mengelabui salah seorang guru killer di sekolahku.
Ternyata benar tentang rumor yang beredar perihal guruku yang satu ini. Memang guru Bahasa Indonesia tapi Bu Mia benar-benar mengerikan dalam mengintimidasi lawan bicaranya. Hanya dengan tatapan matanya sudah berhasil membuat nyaliku menciut seketika. Dan jangan lupakan segudang kata-kata pedas yang siap menusuk jantung kala itu juga.
"Film apa?"
Bu Mia bertanya dengan mata yang masih setia menatapku. Otakku menjadi tidak bisa berpikir jernih sekarang. Apa yang harus kujawab? Kulihat Bu Mia menunggu jawabanku. Baiklah, hanya menyebutkan judul sebuah film yang bernuansa sedih, 'kan? Ayolah, Claudi! Jangan bodoh!
Masalahnya, aku tidak pernah menonton film yang bernuansa sedih!
Seketika aku tersenyum dalam hati mengingat Bella pernah menyebutkan judul sebuah film yang berhasil membuatnya menangis tak karuan.
"Little Boy."
Bukan tanpa alasan aku harus repot-repot memikirkan sebuah judul film itu. Karena apa? Aku sangat yakin jika Bu Mia akan mencari tahu apa film itu sesuai seperti yang kutulis dalam buku pelajaranku. Dan aku tidak mau alibiku terbongkar begitu saja. Itu cukup memalukan!
"Apa itu benar?"
Bu Mia masih belum percaya rupanya. Sepertinya aku harus berusaha meyakinkannya lebih keras lagi.
"Iya, Bu. Jika ibu tidak percaya, sesekali tontonlah film itu. Aku jamin ibu akan menangis," balasku dengan nada yang begitu pongahnya.
"Hmm ... kau tidak sedang mengelabuiku, 'kan?"
Bu Mia bertanya seraya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kebanggaannya.
"Ibu tidak perlu berprasangka buruk seperti itu. Apa perlu kita menonton bersama saja? Mungkin ... sekarang."
Kepercayaan diriku kembali. Aku sudah bisa menetralisirkan kegugupanku. Sepertinya Bu Mia butuh barang bukti.
"Ah, itu tidak perlu," balas Bu Mia cepat menolak tawaranku.
"Baiklah, Claudi. Kau boleh keluar sekarang," sambung Bu Mia seraya kembali memakai kacamatanya.
Aku segera beranjak dari kursi yang sudah kududuki beberapa menit yang lalu. Mengucapkan kata pamit sebelum mengayunkan kaki menuju pintu. Kemudian, kupegang gagang pintu berniat segera keluar dari ruangan yang berhasil membuat darahku berdesir ketakutan.
Daun pintu terbuka mempersilakanku untuk segera melangkah keluar. Kututup pintu sebelum melangkah pergi menjauh. Hingga sebuah suara berhasil mengalihkan perhatianku.
"Claudi, apa yang kau bicarakan dengan Bu Mia?"
Bella berseru cepat setelah aku berbalik ingin melangkah. Aku menatap datar anak ini. Dia di sini menungguku sedari tadi?
"Bukan apa-apa," balasku seraya melangkah pergi.
"Hei, ayolah! Beritahu aku! Andai saja ruangan itu tidak kedap suara, mungkin aku tidak perlu bertanya padamu," ujar Bella sembari menyeimbangi langkah kakiku.
Aku baru ingat bahwa ruangan setiap guru SMP Angkasa kedap suara. Dan pastinya ruangan Bu Mia juga.
"Pemilik sekolah ini sudah tahu tentang sifat suka mengupingmu itu. Makanya ruangannya dibuat kedap suara," ucapku asal membalas perkataannya.
"Apa hubungannya denganku?"
Bella bersungut-sungut dengan mata yang melotot tidak percaya.
"Dan satu lagi! Aku bukan penguping!"
"Aku tidak mengatakanmu seperti itu."
Aku berujar dengan wajah bingung yang kubuat-buat. Membuat Bella kembali kesal.
"Claudi!"
Bella terlihat geram dengan mengepalkan kedua tangannya. Aku segera berlari menjauhi Bella, berniat kabur dari amukannya.
Di sela-sela aksi kaburku, terdengar perutku berbunyi minta segera diisi. Kubelokkan langkah kakiku ke arah kantin. Waktu istirahat masih tersisa, 'kan?
Suasana kantin sangat ramai membuatku harus mengantri memesan makanan. Kulirik arlojiku sebentar sebelum bergumam bahwa waktu istirahat hanya tersisa tujuh belas menit lagi. Sepertinya aku masih bisa bersantai makan nantinya.
"Satu porsi mangkok bakso dan satu gelas jus alpukat," ulang Bi Susi setelah aku menyebutkan pesananku.
Aku mengangguk sebelum mencari meja yang masih kosong. Tapi, apa masih ada? Mengingat para murid sudah sangat banyak memadati kantin ini.
Bibirku tertarik ke atas menghasilkan sebuah senyuman tipis ketika melihat masih ada meja yang kosong di pojok kantin. Segera kulangkahkan kakiku menuju meja tersebut sebelum ada yang mendudukinya.
Belum berselang lama aku duduk, pesananku sudah diantar oleh Bi Tegi—salah seorang yang membantu Bi Susi dalam melayani para siswa yang makan di sini.
"Silakan menikmati, Non Claudi."
Bi Tegi berucap seraya meletakkan pesananku di atas meja.
"Terima kasih, Bi."
Bi Tegi hanya tersenyum membalas ucapanku, lalu berlalu pergi mengantarkan pesanan ke meja yang lain.
"Selamat makan," ucapku pada diri sendiri seraya menuangkan saus dan kecap ke dalam semangkok bakso lalu mengaduknya.
"Claudi! Di mana kau?!"
Uhuk uhuk!
Suara nyaring nan menggelegar itu berhasil membuatku tersedak bakso yang sedang kumakan. Segera kuraih jus alpukatku lalu meminumnya hingga tandas separuh gelas.
Kurasakan wajahku memanas, perpaduan antara masih merasakan perihnya tersedak bakso dan juga malu. Malu karena menjadi tontonan puluhan kepala murid di kantin. Kuyakini karena namaku yang dipanggil oleh seseorang yang berteriak tadi dan juga karena adegan memalukan barusan.
Bella menatapku garang membuatku mengumpat dalam hati perihal anak ini yang tidak tahu tempat. Apa dia tidak sadar akan ulahnya barusan? Hingga menyita perhatian banyak orang? Ck! Sepertinya aku lupa bahwa urat malu Bella sudah terputus sejak tadi pagi.
Kupijit pelipisku sembari berdoa dalam hati agar Bella tidak membuatku malu lagi.
Ingat? Ini sudah ketiga kalinya.
"Claudi!"
Bella membentak seraya menepuk lengan kananku. Refleks ringisan keluar dari mulutku. Kuarahkan pandanganku ke sekitar memastikan apakah mereka masih memerhatikan kami atau tidak. Aku menghela napas lega menyadari mereka sudah lebih memilih melanjutkan acara makan yang sempat tertunda.
"Hei, kau mengabaikanku lagi?"
Suara Bella mengalihkan perhatianku padanya. Seketika kepalaku panas melihatnya. Dia sudah mempermalukanku sebanyak tiga kali hari ini. Dan lebih parahnya perihal adegan tersedak bakso tadi.
"Apa lagi, huh?!"
Bella berjengit kaget mendengar bentakanku hingga membuatnya hampir terjengkang ke belakang.
"Hei, kenapa malah aku yang kau bentak?!"
Bella kembali berteriak membuat beberapa pasang mata kembali melirik kami. Uh, anak ini benar-benar membuatku ingin menguburnya hidup-hidup detik ini juga.
Kupilih segera melanjutkan acara makanku yang sempat tertunda daripada kembali meladeni Bella. Dan lagipula waktuku sudah terbuang cuma-cuma karena ulahnya.
"Claudi ... minta jus alpukatmu, ya? Aku haus," pinta Bella seraya mengambil jus alpukatku. Dia segera meminumnya tanpa menunggu persetujuanku.
Aku hanya diam melanjutkan acara makanku. Antara malas berbicara dengan Bella dan setengah hati tidak rela jus alpukatku diminum olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Heart [Completed]
Teen Fiction"Bagiku, rumah adalah tempat terindah di bumi dan ayah adalah kebanggaan kami." Bahagia? Tentu saja! Namun... ...semuanya begitu sempurna sebelum bunda menghilang secara tiba-tiba. Semuanya akan baik-baik saja jikalau ayah pulang tanpa membawa mere...