8. Amarah

2.9K 202 1
                                    

Setelah Kak Berlize memastikanku memakan bubur buatannya, dia pergi mencari bunda bersama Kak Sam. Katanya aku akan berulah lagi untuk tidak makan jika dia pergi sebelum aku menyuap sampai suapan terakhir. Lama-lama dia begitu mirip seperti bunda, benar-benar bawel.

Huft. Aku bosan.

Aku ingin pergi dengan mereka. Namun, Kak Sam malah mengancamku dengan sebuah ancaman yang berhasil membuatku tak berkutik seketika.

"Akan aku biarkan kau ikut, Claudi ... asalkan bersedia untuk tidak menyesal jika aku mengatakan pada ayah bahwa kau yang telah menumpahkan air di kertas kerja ayah sebulan yang lalu."

Kira-kira begitulah ancamannya.

Kenapa aku takut? Karena itu berkas yang sangat penting bagi ayah. Parahnya, Kak Sam sempat memergokiku sebelum aku kabur dari ruang kerja ayah. Salahkan saja rasa penasaranku akan lukisan yang baru selesai ayah buat! Hingga tanpa sengaja aku menyenggol air yang ada di meja ayah.

Ya, ayahku suka melukis. Ayah sering melukis kami.

Dulu.

Aku sempat berpikir memangnya Kak Sam sudah berbaikan dengan ayah? Bukan apa, tapi kalau Kak Sam ingin mengadukanku, pasti dia akan berbicara pada ayah. Dan setahuku Kak Sam masih marah pada ayah sampai sekarang.

"Jika ingin mencari bunda ... pastikan saja tubuhmu sudah sembuh."

Ucapan Kak Berlize masih terngiang di kepalaku. Menjengkelkan! Aku hanya demam dan sudah makan. Apa masih belum bisa dikatakan cukup kuat untuk mencari bunda?

Kuembuskan napasku untuk kesekian kalinya. Aku benar-benar sudah bosan! Kulirik jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas pagi. Itu artinya aku sudah tiga jam mendekam dalam kamar sejak kepergian Kak Berlize dan Kak Sam.

Lissa.

Aku hampir melupakannya. Di mana dia? Kak Sam bilang dia akan menemaniku. Namun, kenapa dia belum ke kamarku?

Tanpa berpikir panjang lagi, kuputuskan mencari Lissa saja daripada menunggunya yang entah kapan bocah kecil itu akan datang. Bisa-bisa aku semakin mati kebosanan.

Tubuhku tidak oleng. Itu artinya aku sudah lebih baik dari tadi pagi. Bubur buatan Kak Berlize cukup manjur ternyata.

Kosong.

Itu yang kulihat setelah keluar dari kamar. Tidak ada orang di lantai bawah. Sayup-sayup terdengar suara orang bercengkrama. Suaranya berasal dari arah kamar Lissa.

"Ada apa, Lissa? Ayah dengar kamu tadi marah-marah pada Mama Verty. Apa ada masalah, Sayang?"

Itu suara ayah.

Kupilih untuk tidak masuk melainkan bersembunyi di balik pintu kamar Lissa yang sedikit terbuka. Atensiku terfokuskan pada Lissa yang hanya diam sembari mengalihkan pandangan dari ayah. Membuat ayah menghela napas.

"Lissa ... ayah tanya sekali lagi. Apa bungsu ayah ada masalah dengan Mama Verty?"

Ayah mencoba memaksa Lissa untuk berbicara.

Omong-omong, siapa yang tidak akan bermasalah dengannya? Sejak awal kedatangannya, rumah semakin menjadi berantakan. Dan ayah masih bertanya? Tanpa kusadari aku telah tersenyum miris mendengarnya.

Lissa menoleh menatap ayah setelah mendengar pertanyaan tersebut. Matanya berkilat marah. Apa dia marah pada ayah?

"Aku tidak suka dia tinggal di rumah!"

Ucapan Lissa tersebut membuat ayah memijit pelipis. Seperti sudah lelah mendengar pernyataan yang bukan pertama kalinya lagi ayah mendengarnya sejak kemarin siang.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang