19. Hari Kesepuluh

1.4K 117 1
                                    

"Ayah, di mana Kak Sam?"

Aku bertanya pada ayah tanpa mengacuhkan dia. Bukan hanya karena enggan untuk bercakap-cakap dengannya. Melainkan karena Kak Sam memang belum terlihat sejak aku memasuki ruang rawat ini. Di mana dia?

Kulirik Mama Verty melalui ekor mataku seraya menunggu jawaban ayah. Dia terlihat menampilkan raut sendu.

Cih, aku tidak peduli!

Tepat saat aku mengalihkan perhatian kembali pada ayah, suara ponsel berdering terdengar memecahkan kesunyian yang tercipta beberapa detik yang lalu. Kulihat ayah langsung merogoh saku celana kirinya. Ternyata ponsel ayah sedang berusaha memotong pembicaraanku.

"Apa?!!"

Suara tinggi ayah mengagetkan kami semua. Bahkan ayah sampai berdiri dari duduknya. Menyebabkan pelukan Lissa pada ayah terurai begitu saja.

Wajah ayah begitu kentara akan rasa kaget sekaligus cemas. Membuatku cukup penasaran juga ketakutan. Apa yang sebenarnya dibicarakan oleh orang yang menghubungi ayah?

"Baiklah. Saya akan ke sana sekarang juga."

Ayah mengatakan itu sebagai penutup pembicaraannya. Terbukti ayah langsung memutuskan panggilannya dengan tangan yang memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celana ayah.

Ayah segera menatap Lissa yang masih duduk di atas sofa dekat tempat tidur Kak Berlize. Lalu sedikit menunduk berniat menyejajarkan tinggi dengan Lissa yang menatap ayah dengan raut wajah bingung.

"Ayah pergi sebentar, oke? Lissa jangan menangis lagi," ujar ayah dengan memegang kedua pundak Lissa. Lalu mengecup dahinya sebelum menatap Kak Berlize yang masih setia menutup mata.

Aku benar-benar bingung ketika ayah langsung berlalu pergi keluar ruangan ini. Tanpa bersusah payah menjelaskan apa yang telah terjadi.

Kulihat Mama Verty ingin berbicara pada ayah, tapi langsung ia urungkan saat ayah tak menatapnya. Aku tak peduli akan hal itu. Sekarang benakku dilanda beribu pertanyaan yang aku sendiri tak tahu bagaimana mengutarakannya.

Ayah kenapa?

"Ayah."

Mulutku seakan refleks memanggil dengan berlari-lari kecil mengikuti ayah yang sudah berhasil menuju pintu. Ayah menoleh padaku yang sudah sampai di dekat ayah. Dengan raut wajah yang masih bingung, aku bertanya.

"Ada apa, Ayah?"

Pertanyaanku dijawab dengan helaan napas berat ayah. Seakan-akan hal yang akan ayah utarakan begitu sulit untuk dijelaskan. Keningku semakin mengerut dalam ketika melihat ayah yang memijit pelipis dengan wajah lelah.

"Sayang ... ayah akan pergi ke kantor polisi sebentar, ya? Ada hal yang harus ayah selesaikan," tutur ayah dengan tangan yang mengelus lembut surai sebahuku.

Kantor polisi? Untuk apa?

"Kenapa ayah ke sana?"

Katakan saja aku begitu lancang. Aku benar-benar penasaran sekarang. Tak biasanya ayah seperti ini. Melupakan aku yang berada di sampingnya hanya karena sebuah pembicaraan dalam telepon.

"Kak Sam ditangkap polisi karena telah membunuh lawan adu jotos-nya di arena pergulatan, Sayang. Jadi, ayah akan berusaha membebaskannya."

Ayah mengatakannya dengan raut yang kentara amat lelah. Aku menegang.

Kak Sam ditangkap polisi?

Kak Sam membunuh orang?

"Ayah, apa itu benar?"

Suaraku mendadak parau.

Ayah menatapku iba. Seolah-olah ayah menyesal mengatakannya.

"Claudi ... ayah akan berusaha membawa Sam kembali. Ayah janji!"

Ucapan ayah tak berhasil menenangkanku. Aku terlalu takut. Tak terasa mataku mulai berkaca-kaca mengingat kemungkinan terburuknya jika Kak Sam tidak bisa dibebaskan.

Tubuhku menabrak dada bidang ayah ketika ayah langsung memelukku. Membuatku kembali sadar apa yang telah aku pikirkan. Ayah sudah berjanji. Itu artinya Kak Sam akan baik-baik saja.

Air mataku bergulir jatuh dengan lancangnya. Menyebabkan kemeja putih yang ayah pakai menjadi basah oleh air mataku. Segera kuurai pelukan ayah setelah menghapus jejak air mata yang tak tahu waktu untuk jatuh itu.

"Baiklah. Aku percaya pada ayah," ucapku dengan tersenyum selembut mungkin agar hati ayah bisa sedikit tenang.

Tanpa ayah katakan, aku tahu ayah adalah orang yang paling cemas di sini. Nampak dari tatapan ayah yang kentara takut kehilangan lagi.

Ayah hanya membalas senyumanku lalu berbalik berniat keluar dari ruangan ini. Netra hitamku bergulir begitu saja pada tangan kiri yang sedang menggenggam payung hitam tadi.

"Ayah."

Langkah ayah langsung terhenti mendengar panggilanku. Segera kuhampiri ayah yang berdiri di ujung pintu menatapku.

"Di luar masih hujan. Jadi, lebih baik ayah memakai payung ini karena Pak Toni tidak punya payung yang lain."

Aku berujar sembari menyodorkan payung hitam itu pada ayah. Ayah kembali tersenyum menatapku. Lalu segera mengambilnya tanpa berniat bertanya perihal payung hitam yang kusodorkan.

"Terima kasih, Sayang."

Ayah mengucapkannya setelah mengecup pelan dahiku. Membuat sudut bibirku tertarik manis ke atas.

"Ayah pergi dulu," pamit ayah dengan langkah yang terburu-buru. Bahkan Pak Toni belum sempat bertanya pada ayah, membuatnya langsung mengejar ayah yang hampir hilang di belokan koridor rumah sakit ini.

Hatiku bagaikan dikoyak pisau yang tajam. Begitu perih nan ngilu. Hanya dalam satu hari, kabar buruk terdengar dua kali dalam pendengaranku.

Aku tersenyum miris mengingat sekarang adalah hari kesepuluh sejak bunda menghilang. Dan sekarang kedua kakak kembarku mengalami hal yang amat buruk.

Baru genap sepuluh hari bunda menghilang, semuanya perlahan mulai semakin kacau. Tanganku terkepal berharap segera bisa meredam amarah yang akan membludak keluar. Memaki-maki kedua orang asing itu yang lancangnya memasuki rumah kami.

Baru beberapa hari mereka berada dalam kehidupan kami, kedua kakak kembarku sudah mengalami hal mengerikan ini. Mimpi terburuk keluarga kami.

Aku tidak bisa membayangkan hal buruk apa lagi yang akan terjadi jikalau mereka masih berada di dekat kami. Orang-orang ini benar-benar jahat!

Memang benar aku tidak mempunyai bukti. Bukan! Lebih tepatnya, aku belum mendapatkan bukti yang akan menguatkan kejahatan mereka pada keluarga kami.

Demi bunda, aku akan mengusir mereka secepatnya. Demi keluargaku, semuanya akan kembali baik-baik saja.

Aku berjanji!

"Claudi, apa yang dikatakan ayah tadi?"

Dia bertanya padaku. Wanita ini benar-benar bermulut manis. Membuat kepalan tanganku semakin menguat hingga kurasakan kuku-kuku jari tanganku hampir menembus telapak tangan.

Dadaku berdenyut cepat menahan amarah. Tanganku amat gatal ingin mencakar wajah sok baik orang asing yang satu ini.

Tanpa bersusah payah membalikkan badan untuk sekadar melihatnya, aku langsung berujar dengan suara yang penuh ancaman.

"Jangan berani mengusik keluargaku! Jangan berani menghancurkan keluargaku! Aku masih diam selama ini, tapi sekarang ... aku akan membalas kalian. Umurku yang masih empat belas tahun bukan masalah besar bagiku. Kau tahu, 'kan?!"

Suaraku terdengar penuh penekanan. Bibirku tertarik untuk tersenyum miring mengingat tak ada balasan darinya.

Dari mereka.

"Claudi ...."

Sebelum aku mendengar kembali ketidaksetujuannya akan ucapanku, aku langsung mengayunkan kakiku keluar dari ruangan. Aku tidak sudi berada dalam ruangan yang sama dengan mereka, terutama wanita itu—orang yang dengan lancangnya berani merebut posisi bunda.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang