33. Tempat Mengadu

982 79 1
                                    

Tatapanku terus tertuju pada sosok di hadapanku yang balik menatapku dengan wajah datar yang sedari tadi terpampang. Kak Sam hanya diam sembari menungguku membuka pembicaraan. Sedangkan aku? Aku malah keasyikan mengamati wajah Kak Sam yang agak sedikit tirus dari biasanya, membuat hatiku tersentil pilu.

Di sinilah aku berada sekarang, mengunjungi Kak Sam yang masih menjadi seorang tahanan. Aku langsung ke mari setelah sepulang sekolah tadi. Tanpa sekadar mengganti pakaian ke rumah, tanpa meminta izin pada ayah.

Jikalau bukan karena paksaan ayah tadi pagi, mungkin aku takkan pergi sekolah hari ini. Kejadian-kejadian kemarin cukup menguras emosiku, memeras tenaga dengan gamblangnya, menghancurkan semangatku yang bahkan hanya tersisa beberapa saja.

"Jika Claudi masih diam sembari hanya menatapku seperti itu, waktu pertemuan kita akan habis dengan sia-sia."

Ucapan Kak Sam sontak menyadarkanku. Benar apa yang dikatakannya. Waktu kami hanya akan terbuang sia-sia dan pengaduanku padanya tidak akan terlaksana. Ya, kurang lebih seperti itulah tujuanku datang ke mari; mengunjungi salah seorang yang kusayangi.

"Kak, keadaan rumah sudah sangat kacau sekarang. Aku tidak tahu lagi harus melakukan apa. Semuanya terasa begitu hancur," aduku pada Kak Sam dengan nada yang mulai bergetir.

Kak Sam menghela napas berat sebelum beralih menggenggam erat kedua tanganku. Kemudian menatapku lamat-lamat dengan seulas senyum yang terukir manis.

"Apa yang telah terjadi, Sayang? Claudi bisa katakan pada kakak. Pelan-pelan saja. Jangan terlalu dipaksakan. Kadang dunia memang suka seenaknya."

Kak Sam berujar dengan masih menampilkan senyuman padaku. Seperti berusaha meyakinkanku untuk bercerita padanya; mengatakan keluh-kesah yang sudah tak mampu kusimpan.

Kupejamkan mata sejenak sebelum memulai aksi pengaduanku pada Kak Sam. Dengan membalas genggaman Kak Sam tak kalah erat, dengan terus meyakinkan hatiku jikalau ini adalah hal yang benar.

Toh, aku cuma bercerita, bukan?

Kurasa tidak bermasalah.

"Di hari saat kakak dijebloskan ke dalam penjara, Kak Berlize mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kakinya mengalami kelumpuhan."

Lontaran kalimatku berhasil membuat tubuh Kak Sam menegang di tempat. Terkejut mendengar berita yang kemungkinan besar baru didengarnya setelah sekian lama.

"Tapi, berkat pengobatan yang dilakukan serta rasa optimis kami semua akan kesembuhan kaki Kak Berlize, maka Kak Berlize berhasil pulih setelah sebulan lamanya dia mengalami kelumpuhan."

Kak Sam langsung menatapku kembali setelah mendengar lanjutan ucapanku. Terlihat raut wajahnya yang kembali tenang, tersenyum melirikku dengan perasaan lega yang amat jelas terpancar.

Kini hatiku sedang dilanda keraguan; antara ingin mengatakan hal apa yang terjadi selanjutnya, tapi menghancurkan senyuman Kak Sam atau tidak kukatakan ... namun membohongi Kak Sam bukanlah keahlianku. Aku yakin jikalau bukan hari ini, suatu saat Kak Sam pasti akan mengetahuinya...

...dan aku adalah orang pertama yang akan dibencinya.

Poin kedua mungkin yang paling akan kuhindari. Dibenci Kak Sam? Tolong jangan tanyakan padaku. Aku sudah kehilangan orang-orang yang kusayang. Meninggalkanku di rumah sendirian. Tanpa seizinku mereka pergi, berpencar. Tanpa bisa dicegah, tanpa mampu kubantah.

"Dan kemarin adalah hari buruknya. Lissa didiagnosis terkena penyakit mematikan ... leukimia," sambungku dengan nada yang mulai parau. Berusaha menahan air mata agar tak keluar.

Kulihat wajah Kak Sam memucat. Lalu kembali menatapku dengan tatapan seolah-olah berkata 'itu tidak mungkin' padaku. Aku hanya mengangguk memperjelas ucapanku. Meyakinkan Kak Sam perihal keadaan Lissa.

Dengan tangan yang semakin erat menggenggam kedua tangan Kak Sam, aku kembali berujar. Melanjutkan kejadian yang kujalani tanpa kehadiran Kak Sam.

"Dikarenakan Lissa mengalami leukimia, maka Oma berinisiatif membawanya pergi berobat ke luar negeri; Amerika Serikat."

Ucapanku yang kali ini membuat bahuku bergetar lantaran menahan isak tangis yang sebentar lagi akan keluar. Membuat Kak Sam segera mendekapku tanpa bersusah payah memberi respon lewat kata-kata. Kak Sam hanya diam mendengarkanku berbicara sedari tadi.

Kuyakini hatinya amatlah hancur berantakan.

Kueratkan dekapanku pada Kak Sam seraya air mata mulai menetes di kedua belah pipi. Rasanya amat sakit menceritakan hal yang selama ini kualami.

"Apa kakak tahu hal yang paling menyakitiku? Setelah Lissa dibawa Oma, kesehatan jiwa Kak Berlize semakin terguncang yang pada sebelumnya sudah dokter katakan. Kak Berlize mengalami mental disease dengan menganggap Lissa sebagai bunda. Dan kemarin Kak Berlize sudah benar-benar lepas kendali hingga dia harus dibawa ke rumah sakit jiwa."

Isakanku keluar sudah setelah selesai mengatakan semua itu. Tangisanku terdengar amat memilukan. Pelukanku pada Kak Sam semakin erat. Berharap rasa sesak dalam dadaku bisa berkurang, minimal sedikit saja.

Kak Sam tak merespon sedikit pun. Dia hanya terus memelukku dalam diam. Mendengarkan jerit tangisanku yang pilu.

"Aku rindu bunda," ucapku lirih entah pada siapa. Satu hal yang kusadari pelukan Kak Sam semakin mengerat setelah mendengar ucapan penuh rinduku akan bunda.

"Kak, kapan bunda akan kembali? Kapan bunda akan memperbaiki semua ini?"

Aku meracau tanpa henti pada Kak Sam.

"Bunda tidak akan pernah kembali lagi, Claudi. Bunda tidak akan memperbaikinya ... karena bunda adalah orang yang menjadi biang keladi semua permasalahan ini. Bunda yang telah menghancurkan semuanya; kita semua."

Perkataan Kak Sam sukses membuatku segera mengurai pelukan kami. Kepalaku memanas mendengarnya. Apa-apaan ini? Kenapa Kak Sam malah menyalahkan bunda?

"Apa maksud ucapan kakak tadi? Kenapa malah bunda yang kakak salahkan? Apa kakak lupa jikalau bunda masih belum ditemukan?"

Bibirku berucap lantang pada Kak Sam. Tak menutup kenyataan tentang amarahku yang mulai keluar. Berusaha menegaskan pada Kak Sam perihal terkaannya yang pastinya salah besar.

"Kau tidak tahu apa-apa, Claudi."

Kak Sam membalas dengan tersenyum miris menatapku. Kulihat raut wajahnya menjadi sendu, membuatku semakin bingung.

"Kalau memang benar begitu ... katakan hal apa yang tidak kuketahui. Katakan apa yang menjadi alasan kakak berani menyalahkan bunda. Katakan padaku sekarang."

Nada suaraku berubah menjadi mengintimidasi. Tidak bergetar karena menahan isak tangis yang sering kutahan. Kali ini amarahku sedang diuji.

"Suatu saat kau akan mengerti, Claudi ... bahwa apa yang kukatakan adalah benar adanya. Bunda telah meninggalkan kita. Apalagi kata yang tepat jikalau bukan jahat?"

Amarahku sudah mendidih. Kak Sam benar-benar keterlaluan. Aku datang ke mari untuk mengunjunginya yang sedang kurindukan. Juga sebagai orang satu-satunya yang kujadikan sebagai tempat mengadu. Berharap bisa mengerti perasaanku, bukannya malah menyalahkan bunda atas semua hal yang telah terjadi.

Jika bunda di sini, aku sangat yakin semua tragedi ini juga takkan pernah bunda inginkan.

"Berhenti, Kak! Jika kakak masih menyalahkan bunda, tolong jangan harap aku akan berada di pihak kakak. Ingat itu!"

Nadaku terdengar penuh penekanan pada Kak Sam. Lalu langsung bangkit berdiri dengan tujuan segera pergi meninggalkan tempat ini. Andaikata aku tahu akan seperti ini kejadiannya, maka tanpa berpikir dua kali, aku takkan pernah mau mengunjungi Kak Sam. Apalagi bercerita panjang lebar seperti tadi.

Menyesal?

Tentu saja.

Kecewa?

Tolong jangan ditanya.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang