Epilog

4.2K 147 6
                                    

Tangisan pilu masih terdengar jelas di dalam rumah itu.

Seorang wanita paruh baya semakin menjerit histeris kala membuka kain penutup wajah anak perempuannya. Wajah pucat, tubuh kaku dan dingin. Berbaring di dalam ruangan yang sudah dipenuhi oleh orang-orang yang melayat.

Wanita itu mulai menyentuh wajah si mayat. Mulai dari dahi, alis, mata, hidung, dan terakhir menangkup pipi anak gadisnya. Tangannya gemetaran. Air mata tak henti-hentinya keluar. Rasa tak percaya masih membungkus rapi pikirannya.

"Audi ... buka matamu, Sayang. Mom sudah di sini. Mom ingin mendengar suara lembutmu, Sayang."

Wanita itu mulai meracau dengan isak tangis yang mulai membuatnya sesegukan. Menyebabkan orang-orang yang melihatnya ikut meneteskan air mata. Rasa iba mulai terpancar dari wajah mereka.

"Mom sudah di sini, Audi. Ayo, Sayang. Bangunlah. Bukankah Audi ingin memeluk Mom?"

Wanita itu berseru dengan tangan yang mulai menggenggam lembut tangan putrinya.

Di salah satu sudut rumah nampak seorang pria yang sudah meneteskan air mata sedari tadi. Tangannya terkepal erat. Emosinya sudah campur aduk. Sesak, marah, penyesalan, dan kecewa.

Pria paruh baya itu merasakan semuanya.

"Bukankah Audi ingin memakan masakan Mom? Baru kemarin Audi mengatakannya. Amat tak sopan jika hari ini Audi tak mau memakan masakan Mom."

Pria paruh baya itu mulai menopang tubuhnya pada dinding di belakangnya ketika mendengar racauan mantan istrinya itu. Begitu menghancurkan pertahanannya sebagai seorang suami dan ayah untuk putri kecilnya.

"Audi ... ayo bangun, Sayang. Apa Audi tidak capek tidur terus? Mom rindu menatap netra indahmu, Sayang."

Setetes air mata mulai mengenai wajah putri kecil yang sudah terbujur kaku itu. Sekeras apa pun usahanya untuk membangunkan anak perempuannya, semua itu hanya akan sia-sia.

Jangankan untuk memenuhi semua permintaan itu, mendengarkan saja dulu ... mungkin sudah akan membuat putri kecilnya itu bahagia tak karuan.

Dan ... sekarang, di saat ia sudah memilih jalannya sendiri, di saat ia sebagai anak yang tak pernah didengar gemuruh perasaannya, di saat ia yang berusaha memperbaiki keharmonisan keluarganya ... kau; ibu darinya, berada di mana?

Aku tanyakan sekali lagi.

Dimana?!

"Maafkan Mom, Audi."

Tak ada maaf yang berguna.

Semua hanya pemborosan kata-kata dalam sebuah ucapan.

Maaf.

Berjuta kali pun kau ucapkan, sesering apa pun kau lontarkan. Membujuk dengan keras, menangis kencang, merayunya agar kembali pulang.

Ya, dia akan pulang ... tapi bukan padamu.

Dia memilih tempatnya sendiri. Hatinya sudah kau remukkan, kepercayaannya sudah kau hancurkan, perjuangannya tak kau acuhkan.

Apa masih pantas ... kau sebagai orang yang sering dipanggilnya 'Mom' meminta maaf pada tubuhnya yang sudah merenggang nyawa?

Di mana kau kemarin?

Di mana matamu kemarin?

Apa perlu kucarikan mesin waktu untukmu agar bisa berkunjung ke masa lalu? Hanya sekadar mengingatkanmu atas apa yang telah kau perbuat pada putri kecilmu. Dan ... kau amat tak pantas berucap manis seperti itu.

"Audi!! Bangun, Sayang. Mom di sini!! Audi harus bangun untuk memeluk Mom. Untuk memakan masakan Mom. Mom janji akan menceritakan kisah indah yang pernah Mom ceritakan dulu kembali. Mom janji akan mengantarkan Audi ke sekolah kembali. Bangunlah ...."

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang