12. Sekolah

1.7K 122 0
                                    

Setelah aku duduk manis di sebelah kursi pengemudi, Abang Rey memutari mobil lalu duduk di balik kemudi—di sampingku. Dia menatapku sekilas sebelum menyalakan mesin mobil yang membuatku semakin muak.

Jika bukan karena ayah, aku tidak akan pernah mau pergi ke sekolah bersamanya. Jika bukan karena waktuku hanya tinggal tiga belas menit, aku tidak akan pernah semobil dengannya. Jika bukan karena Kak Sam yang tak pergi ke sekolah, aku tidak akan menerima tumpangan darinya. Jika bukan...

...jika bukan karena bunda menghilang, aku tidak akan pernah bertemu dengannya. Dan semuanya tak akan berubah seperti sekarang.

"Claudi ... pasang sabuk pengamannya!"

Dia mengatakannya seraya masih menatapku. Aku menurut. Bukan berarti aku telah menganggapnya sebagai kakakku melainkan karena waktuku yang terus berjalan tanpa bisa kuhentikan. Tentu aku tidak ingin terlambat.

Setelah memastikan aku memasang sabuk pengaman, Abang Rey segera melajukan mobilnya keluar dari halaman rumah. Membelah jalan raya yang pastinya cukup padat setiap hari. Entah karena memang makhluk bumi ini begitu sibuk atau hanya sekadar membuat jalan raya semakin sempit untuk dilalui.

Kutatap keadaan di luar dari balik kaca mobil. Kendaraan yang berlalu-lalang. Para pejalan kaki yang bersantai di kedai kopi. Dan penumpang yang silih berganti keluar masuk bus. Tak ada yang menarik. Membuatku cukup bosan.

"Claudi."

Suara itu.

Dia memanggilku dengan mata yang terus menatap fokus jalanan. Aku hanya membisu seraya melirik arloji yang sudah menunjukkan pukul 07.20 pagi. Itu artinya waktuku hanya tersisa sepuluh menit lagi.

Tanganku bergerak mengambil earphone yang selalu berada dalam tasku. Memakainya setelah menyetel musik yang selalu menjadi favoritku.

Memories-Maroon 5.

Aku tahu Abang Rey sekarang menyadari penolakanku untuk bercengkrama dengannya secara tidak langsung. Terbukti aku tak mendengar suaranya lagi. Sebenarnya jika dia berbicara, aku masih bisa mendengarnya di sela-sela musik ini berputar. Tapi, baguslah! Dia memilih pilihan yang tepat.

Lagu itu terus berputar seiring dengan pikiranku yang teringat akan bunda. Kenangan bersama bunda di rumah kami. Untuk satu hal, rumah itu sudah menjadi saksi kebahagiaan kami bertahun-tahun yang lalu. Dan aku bersumpah tidak akan meninggalkan rumah itu—rumah cinta keluargaku.

Atas alasan apa pun.

Gedung SMP Angkasa sudah mulai terlihat. Itu artinya aku sudah hendak sampai. Dan tepat sekali, aku masih belum terlambat.

Kulepas sabuk pengaman setelah Abang Rey memberhentikan mobilnya di depan gerbang. Segera kuhentikan lagu yang masih berputar dan memasukkan earphone-ku kembali ke dalam tas.

Kemudian, pintu mobil kubuka tanpa bersusah payah mengucapkan terima kasih atau semacamnya terlebih dahulu. Aku bahkan tidak mau tahu seperti apa ekspresi di wajah Abang Rey.

Aku tidak peduli!

Tepat setelah aku keluar dari mobil, bel sekolah langsung berbunyi menandakan untuk segera berbaris di lapangan upacara. Aku berjalan memasuki halaman depan sekolah setelah menutup pintu mobil Abang Rey tanpa berniat berlama-lama di sana. Ingat? Aku hampir terlambat dan juga ... orang itu adalah orang asing bagiku.

Dan kata bunda, kita tidak boleh percaya pada orang asing.

Kulangkahkan kakiku segera menuju ruang kelasku yang berada di lantai dua. Teriakan ketua osis untuk segera berkumpul di lapangan membuatku secara tak sadar telah mengumpat perihal kelasku yang hampir berada di pojok lantai ini.

Sebenarnya aku sedikit bersyukur kelasku berada di lantai dua, mengingat masih ada murid lainnya yang tergesa-gesa menuju lantai empat. Menuju kelas mereka hanya untuk meletakkan tas yang sialnya sangat butuh tenaga untuk bolak-balik sampai ke lapangan.

Setelah meletakkan tasku di dalam kelas secara asal, aku segera bergegas menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Entah keberapa kalinya lagi aku sudah mengumpat perihal sekolah ini. Ini adalah sekolah terfavorit tapi kenapa tidak ada lift atau eskalator? Membuatku lelah hanya untuk menuruni anak tangga yang terbilang cukup banyak.

"Cepat! Apa kalian tidak punya arloji? Ingat! Ini sudah jam berapa? Apa kaki kalian tidak bisa bergerak lebih cepat?"

Suara ketua osis membuatku semakin kesal. Apa-apaan itu? Apa dia tidak tahu seberapa besar usaha kami untuk sampai tepat waktu di lapangan? Lain kali dia harus terlambat agar bisa merasakan penderitaan seperti ini!

Napasku ngos-ngosan ketika telah sampai di lapangan. Kuedarkan pandanganku mencari Bella—teman sekelasku. Ternyata dia sudah ikut berbaris rupanya. Di depan pula. Baguslah! Aku tidak perlu repot untuk menangani keusilannya padaku saat upacara berlangsung.

"Claudi!"

Bella berteriak memanggil namaku dengan tangan melambai-lambai untuk segera menuju tempatnya. Kuseka keringat di pelipisku seraya berjalan ke arahnya. Mengingat ini, aku bersumpah tidak akan pernah mau lagi untuk terlambat. Ya, ini pengalaman pertama bagiku. Ternyata benar-benar membuat jantung dan kakiku maraton secara tiba-tiba.

"Tumben sekali kau terlambat. Ada apa? Apa kau terlambat bangun lagi? Eh? Bukan! Apa kali ini keterlambatan bangunmu lebih parah?"

Dia bertanya seraya memandangku penuh penasaran dengan mata bulatnya. Kali ini rambut ikalnya dibiarkan tergerai, membuatnya terlihat lebih cantik. Ya, dia memang cantik.

"Tidak," jawabku seadanya.

Memang benar, bukan? Ingat? Aku terlambat bukan karena hal itu.

"Lalu?"

Bella memiringkan kepalanya dengan alisnya yang menukik sebelah. Menampakkan wajahnya yang penuh tanda tanya. Dia terlihat imut dan lucu dengan tingkah seperti itu. Namun, aku mengedikkan bahuku acuh membuat dahinya segera mengerut.

"Claudi ... kau kenapa? Kenapa tak mengacuhkanku?"

Dia bertanya dengan berkacak pinggang. Pipi menggembung dan hidung kembang-kempis. Hal itu sontak membuatku menahan tawa. Bukannya kelihatan menakutkan, yang ada malah terlihat lucu. Temanku ini benar-benar menggemaskan.

"Kalau iya, kenapa?"

Aku ingin membuatnya kesal. Tak apa 'kan? Toh, Bella tak akan pernah bisa kesal padaku. Mengingat ancamanku selalu berhasil menakutinya. Matanya melotot kaget seketika.

Eh? Dia benar-benar terkejut?

"Claudi! Jangan harap aku tidak akan membalasmu! Ingat itu!"

Teriakan Bella berhasil membuat beberapa kepala yang berada di sekitar menoleh heran pada kami.

Uh, anak ini sudah membuatku malu.

Hanya cengiran yang bisa kuberikan pada mereka, mengingat Bella masih belum menyadarinya.

"Claudi ... kau dengar perkataanku, 'kan?!"

Bella mengajukan pertanyaan dengan mata yang masih menatap nyalang padaku.

Hhhmmmppphhh.

Segera kubekap mulut Bella ketika dia hendak berteriak lagi padaku. Membuat suaranya teredam oleh bekapanku. Bella meronta mencoba melepaskan tanganku dari mulutnya. Kuberi tatapan tajam seraya melepas bekapan itu. Kulihat Bella mengembuskan napas lega karena sudah kembali terbebas.

Bebas ingin memakiku selanjutnya. Aku yakin itu!

"Baiklah. Upacara akan segera dimulai."

Suara ketua osis menggagalkan aksi makian Bella yang akan tertuju padaku. Membuat Bella segera mengalihkan pandangan dariku seraya menahan kekesalan. Dalam hati aku berterima kasih kepada ketua osis yang telah menyelamatkan gendang telingaku.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang