Seminggu setelah Kak Berlize pulang ke rumah, kami mendapat kabar baik lainnya; Lissa yang sudah mendapat donor sumsum tulang belakang. Besar harapanku setelah operasi ini dilakukan, Lissa akan sembuh dari penyakit mematikan, leukimia-nya.
Kemarin malam kami habiskan waktu untuk menyiapkan segala macam keperluan untuk berangkat ke sana; Amerika Serikat tempat Lissa berobat. Rencananya, kami akan menemani transplantasi sumsum tulang belakang yang akan dilakukan oleh Lissa.
Tentu, kami tidak ingin melewatkannya.
"Claudi, apa kau sudah menyiapkan barang-barangmu?"
Suara Kak Berlize langsung menyambutku ketika menuruni anak tangga. Aku mengangguk menjawab pertanyaan Kak Berlize yang kulihat dia sangat sibuk memastikan semua barang-barang penting kami agar tidak tertinggal.
Senyumku terukir tipis menyaksikan Kak Berlize yang mulai mengomeli Abang Rey yang baru bangun tidur. Kuyakini Abang Rey sudah kewalahan meladeni omelan Kak Berlize yang tak kunjung berhenti; mulai dari perihal keterlambatan bangun tidurnya sampai perkara belum mandi.
Well, Kak Berlize memang mirip bunda.
"Jangan diam saja! Sudah jelas-jelas jadwal penerbangan kita itu tinggal beberapa jam lagi. Sana bersiap-siap, Rey!"
Setelah Kak Berlize mengatakan kalimat tersebut, Abang Rey bergerak patuh menuruti perintah Kak Berlize. Tawaku hampir menyembur menyaksikan kejadian itu. Ini sungguh lucu!
"Adek tak usah ikut-ikutan. Berlize kok lebih seram dari mama, ya?"
Abang Rey berujar ketika berpapasan denganku di undakan tangga. Kuperhatikan raut wajahnya antara kesal dan sedih diomeli Kak Berlize pada pagi hari. Melihatnya, aku berinisiatif untuk menenangkan perasaannya yang kemungkinan mulai pusing menghadapi omelan selain omelan Mama Verty, tentunya.
Kulihat Kak Berlize beralih bercengkrama dengan Mama Verty yang baru keluar dari dapur. Selama Kak Berlize di rumah, hubungan Mama Verty dan Kak Berlize memang semakin akrab. Mulai dari kegiatan memasak yang dilakukan bersama-sama sampai kekompakan mereka mengomeli kami semua jika bermasalah.
Intinya, semuanya jauh lebih baik.
"Sepertinya Kak Berlize lebih cocok sebagai kakak daripada adik buat abang," bisikku dengan jahil pada Abang Rey.
"Benar, sih. Adik abang yang paling gemes 'kan adek."
Tawaku terdengar ketika Abang Rey beraksi menggelitiki perutku yang membuatku kegelian. Kudengar Kak Berlize dan Mama Verty mengomeli Abang Rey kembali yang berujung aku terbebas dari kejahilan kakak laki-lakiku itu.
Tak lama kemudian, ayah datang menghampiri kami dengan pakaian yang sudah rapi, sudah siap berangkat. Sejenak ayah memberikan sebuah kecupan pada dahiku sebelum mengatakan sesuatu pada Kak Berlize.
"Kita sarapan dulu sebelum mengunjungi Sam ya, Sayang?"
Kulihat Kak Berlize mengangguk menyetujui argumen ayah. Semalam, Kak Berlize meminta sebuah permintaan sebelum berangkat ke Amerika Serikat; menemui kembarannya—Kak Sam dengan alasan rindu.
Jika Kak Sam mendengarnya, aku yakin lelaki itu sudah memekik histeris mengetahui pengakuan kakak kembarnya tersebut. Mengingat selama ini, percakapan mereka amat jauh dari kata-kata manis.
Membicarakan Kak Sam, aku cukup menjadi sedih. Ayah bilang bahwasanya Kak Sam belum bisa dibebaskan sampai masa tujuh tahun lamanya. Itu disebabkan karena insiden tersebut termasuk perkelahian yang sampai mengakibatkan lawannya terbunuh.
Entahlah, aku tak terlalu mengerti mengenai hukum pidana.
Namun, kami tetap berharap Kak Sam segera bisa berkumpul kembali bersama kami di rumah ini.
Sesampainya kami di kantor polisi ... aku, ayah dan Kak Berlize yang menemui Kak Sam terlebih dahulu. Hal itu disebabkan oleh batas maksimal untuk menemui tahanan cuma tiga orang. Alhasil, Abang Rey dan Mama Verty menunggu di luar.
"Sam ...."
Suara Kak Berlize terdengar bergetir ketika melihat Kak Sam yang datang dengan pakaian tahanan. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Kak Berlize segera menghambur ke dalam pelukan kembarannya itu. Kulihat Kak Sam meneteskan air mata mendekap Kak Berlize.
Aku yang berdiri di samping ayah menjadi ikut terharu menyaksikan sepasang manusia kembar itu menangis melepas rindu. Jika bukan dalam keadaan seperti ini, aku pasti sudah mengejek mereka yang tengah terisak-isak berdua. Mengingat selama ini, mereka tak pernah melakukannya.
"Are you okay? Stop crying, Girl."
Kak Sam berucap seraya menghapus air mata Kak Berlize yang dibalas dengan tamparan oleh kakak perempuanku itu. Hal itu sontak membuat tawaku terdengar membludak.
"Diamlah, Sam! Kau pikir matamu itu basah karena apa?"
Ayah yang semula menangis haru menyaksikan mereka menjadi ikut tertawa ketika mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Kak Berlize setelah menampar kembarannya. Kulihat Kak Sam meringis sembari mengelus pipi yang kuyakini lumayan perih.
"Bagaimana keadaanmu, Sam? Ayah minta maaf karena ayah tidak bisa ...."
"Sudahlah, Ayah. I'm fine ... and I will be fine. Aku paham."
Kak Sam tersenyum ketika mengatakannya. Hatiku pilu ketika melihat senyumannya. Namun, ayah langsung mendekap putranya dengan erat yang membuat Kak Sam tertawa.
"Ayah bangga memiliki putra yang kuat dan sabar sepertimu, Sam."
Aku juga bangga pada Kak Sam, Ayah.
Setelah sesi pelepas rindu usai, kami berpamitan pada Kak Sam dengan kembali berpelukan untuk melepas rindu beberapa saat ke depan. Setelah ayah dan Kak Berlize keluar, aku tak beranjak dari hadapan Kak Sam sedikit pun. Menyadari hal itu, Kak Sam menyejajarkan tubuhnya denganku seraya menyentil dahiku.
"Kenapa diam saja, hm?"
"Ih, Kak ... sakit," tuturku dengan mengelus dahiku sendiri.
Kudengar tawa Kak Sam keluar seraya mengacak asal puncak suraiku. Namun, setelah Abang Rey dan Mama Verty datang, tawa tersebut langsung hilang.
"Sam ... mama bawa makanan buat kamu. Dimakan, ya?"
Kak Sam hanya membisu ketika Mama Verty meletakkan rantang makanan di atas meja di dekat kami berdiri. Kulihat Kak Sam menatap Abang Rey dalam diam. Di dalam hati, aku sangat takut terjadi sesuatu yang buruk...
...hingga suara Kak Sam mengagetkanku, mengagetkan kami semua.
"Terima kasih, Ma."
Mama Verty bahkan hampir menangis saking terharunya. Kuyakini ia juga tak menduga reaksi Kak Sam begitu positif. Dengan senyuman yang mengembang, Kak Sam mulai mendekap Abang Rey yang masih kentara dengan rasa kaget.
"Jangan terlalu tegang, Rey. Pikiranku sudah jernih. Jadi ... santai saja," ujar Kak Sam yang berhasil membuatku sangat bahagia.
Kuperhatikan mata Abang Rey begitu jelas memancarkan kebahagiaan. Tak pernah aku melihat kebahagiaan seperti itu sebelumnya. Demi apa pun, aku begitu bersyukur dalam hati.
"Tolong jaga mereka semua selama aku masih di sini. Aku percaya padamu, Rey."
Abang Rey mengangguk mantap pertanda bersedia menuruti permintaan Kak Sam. Kemudian mereka kembali bercengkrama singkat tanpa melupakan Mama Verty sebelum waktu berkunjung habis.
"Sampaikan salam kakak pada Lissa ya, Sayang. Kakak sayang Claudi ... kakak sayang semuanya."
Aku lebih menyayangi kalian semua, Kak...
...bahkan melebihi diriku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Heart [Completed]
Teen Fiction"Bagiku, rumah adalah tempat terindah di bumi dan ayah adalah kebanggaan kami." Bahagia? Tentu saja! Namun... ...semuanya begitu sempurna sebelum bunda menghilang secara tiba-tiba. Semuanya akan baik-baik saja jikalau ayah pulang tanpa membawa mere...