"Non ...."
Suara Bi Sutry tidak berhasil mengalihkan pandanganku. Kini tatapanku masih terkunci pada sosok di hadapanku, merenggut kesadaranku. Membuat amarahku membludak tanpa bisa kucegah.
"Apa kau tahu siapa yang paling bodoh di sini?"
Suaraku terdengar berat dengan pandangan sayu nan sinis. Tangan terkepal di samping badan, netra hitam yang masih setia menatap pantulan seseorang di depan cermin. Mengamati rupa yang persis sepertiku, sangat mirip.
"Apa yang Non Claudi bicarakan?"
Pertanyaan Bi Sutry masih tak mendapat balasan. Aku hanya diam. Fokusku masih pada sosok di hadapanku. Begitu menarik atensiku.
"Apa kau dengar?! Siapa di sini yang paling bodoh?!"
"Kau!!! Kau adalah orang yang paling bodoh!!"
Teriakanku menggelegar dalam ruangan kamarku. Dengan napas yang memburu, kubanting guci yang tergeletak di atas meja di samping tempat tidurku.
Prang!
Pecahan kaca berserakan di atas lantai tak jauh dari tempatku berdiri. Kulihat Bi Sutry panik melihatnya. Lebih tepatnya menyadari tingkah penuh emosiku.
"Apa bibi tahu bagaimana sakitnya menjadi aku? Perihnya menahan lara yang tak pernah orang-orang ketahui? Hancurnya saat orang-orang yang kau sayangi perlahan mulai pergi?"
Racauanku hanya didengarkan oleh Bi Sutry. Kulihat wajahnya amat kentara oleh rasa khawatir sekaligus prihatin. Cih, aku tidak peduli!
"Lihat guci itu!"
Aku berucap seraya menunjuk pecahan kaca yang menodai lantai kamarku.
"Seperti itulah keadaan hatiku sekarang, Bi. Sudah hancur. Mereka menghancurkannya. Mereka tak mencoba untuk memperbaikinya."
Isakanku mulai keluar dengan tubuh yang merosot jatuh ke lantai. Kubenamkan wajahku pada lipatan tangan di atas kedua lututku. Menangis histeris yang amat terdengar pilu.
Di sela-sela tangisanku, sayup-sayup kudengar langkah kaki yang mulai keluar dari kamar.
Mungkin Bi Sutry.
Lantas memangnya siapa lagi?
Toh, tak ada lagi orang di sini ... apalagi yang peduli.
"Bunda ...."
Kutegakkan kepalaku kembali setelah menggumamkan nama bunda.
"Apa bunda tahu seperti apa hancurnya aku? Sakit ... bunda ...."
Gumamanku terdengar lirih. Dengan posisi yang masih terduduk di atas dinginnya lantai, aku kembali menangis.
"Kak Sam ...."
Ulu hatiku terasa amat nyeri menyebut nama Kak Sam. Pikiranku lantas berputar mulus tentang saudara laki-lakiku itu; sangat menyesakkan.
"Aaakkkhhhh ...."
Teriakanku memenuhi ruangan yang selalu kutempati ini. Dengan menjambak rambutku sendiri, dengan terus menangis meluapkan rasa perih.
"Kak Berlize ... ayo cepat kembali ... aku sendirian di sini ...," racauku seraya memukul-mukul dada berharap bisa menghilangkan rasa sesak yang kian menjalar. Menghimpit lubuk hatiku, sungguh pilu.
"Jika kalian tidak ingin kembali ... lantas mengapa aku hadir di antara kalian? Lantas mengapa kebahagiaan selama ini kalian ciptakan?"
"Aaakkkhhh ... bunda jahat!! Kak Sam jahat!! Kak Berlize jahat!! Kalian semua jahat!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Heart [Completed]
Teen Fiction"Bagiku, rumah adalah tempat terindah di bumi dan ayah adalah kebanggaan kami." Bahagia? Tentu saja! Namun... ...semuanya begitu sempurna sebelum bunda menghilang secara tiba-tiba. Semuanya akan baik-baik saja jikalau ayah pulang tanpa membawa mere...