25. Mental Disease

1.5K 99 1
                                    

Suara pintu terbuka menampakkan Dokter Rio yang keluar dari ruang rawat Kak Berlize. Membuat atensi kami semua segera teralihkan padanya.

"Bagaimana keadaan putri saya, Dok?"

Ayah langsung bertanya pada Dokter Rio.

"Untuk itu ... mari kita bicarakan di ruangan saya, Pak."

Dokter Rio berucap dengan intonasi yang lunak. Kemudian menunggu ayah mengangguk setuju mengikuti arah kakinya yang mulai melangkah.

"Verty ... tolong jaga mereka," titah ayah pada Mama Verty sebelum menghilang dari pandangan kami.

Sebenarnya ada apa dengan Kak Berlize? Kenapa dia bisa seperti itu?

"Kak ...."

Suara Lissa kembali menyadarkanku dari lamunan singkat barusan. Lissa masih berada dalam pelukanku. Melingkarkan kedua tangannya erat seraya menahan isakan agar tak kembali keluar. Rupanya dia masih ketakutan.

"Lissa, apa sudah makan?"

Pertanyaan itu kuajukan sebagai pengalihan rasa takut Lissa yang masih bersemayam dalam. Aku paham apa yang dirasakannya. Syok berat pastinya kala mengetahui keadaan Kak Berlize yang bisa dikatakan sangat tidak baik.

Lissa hanya menggeleng menanggapi lontaran pertanyaanku. Tanpa melepaskan dekapan, tanpa melihatku sebentar. Dia hanya semakin mengencangkan pelukannya padaku. Lagi dan lagi. Membuatku hampir merasakan sesak saking kencangnya.

"Kalau begitu ... ayo kita makan sebentar," sambungku dengan tangan yang berusaha meraih wajah Lissa yang terus disembunyikannya dalam pelukanku. Kurasakan dekapannya mengendur perlahan. Membuatku refleks langsung bernapas lega.

"Makan di mana?"

Lissa bertanya dengan suara yang nyaris tak terdengar olehku. Apa sebegitu takutnya dia? Hingga bicara saja malah susah?

"Di kantin rumah sakit ini saja. Tak apa, 'kan?"

Aku bertanya pada Lissa yang terus-terusan menahan gemetar di tubuhnya.

"Kalau Lissa tidak suka makan di rumah sakit ... biar mama belikan saja keluar sebentar, ya?"

Wanita ini ikut masuk dalam pembicaraan kami sebelum Lissa sempat membalas ucapanku. Kulihat Lissa hanya diam tanpa berniat sekadar menatap Mama Verty yang beralih duduk di salah satu kursi yang berada di lorong rumah sakit ini.

"Lissa ... ayo kita ke kantin rumah sakit ini sebentar," ajakku pada Lissa tanpa mengindahkan tindakan ikut campur Mama Verty.

"Claudi, biar mama belikan keluar saja. Mama yakin kalian tidak akan suka makanan di kantin rumah sakit ini. Tunggu sebentar, oke?"

Dia berujar panjang lebar dengan bibir yang terukir manis nan tulus pada kami. Membuat secercah rasa hangat mulai hadir dalam lubuk hatiku.

Kami hanya diam sembari Mama Verty mulai berlalu pergi. Berniat membelikan makanan untuk kami. Tanpa persetujuan ataupun penolakan dariku dan Lissa.

Kulihat Lissa sudah mulai tenang. Terbukti dengan napasnya yang mulai beraturan. Berbeda denganku yang masih berdiri mematung sejak kepergian Mama Verty tadi. Senyumannya membuatku teringat akan bunda.

Bunda ... bagaimana jikalau aku mulai menganggapnya ada? Apa bunda akan memarahiku? Apa bunda akan membenciku?

Hati kecilku terus bertengkar dengan otak yang entah sejak kapan mulai tak mau kalah. Menyanggah semua argumenku yang hampir tak pernah kupikirkan matang-matang.

Sekarang, semisalnya.

Benakku terus mengingatkan bahwasanya Mama Verty memang bersalah sedangkan perasaanku mulai merindukan bunda lewat kehadirannya. Seakan-akan Tuhan mengirimkannya sebagai pengganti sosok bunda.

"Ayah ...."

Sahutan Lissa membuatku tersentak dalam diam. Jika ada orang yang melihatku, mungkin mereka akan berpikir yang tidak-tidak mengenaiku. Mengingat aku berdiri dengan pandangan kosong ke depan. Hampa. Kurang lebih seperti itulah rasanya.

Kepalaku menoleh melihat ayah yang sedang berjalan ke arah kami dengan tatapan yang sayu. Seolah-olah dunia ayah sudah dihancurkan dengan begitu cepat. Tanpa ada yang bisa mencegah hingga hancur-lebur sudah.

Lissa langsung bangkit dari duduknya ketika mendapati ayah yang sudah berada di hadapan kami. Lalu segera beralih mendekap ayah yang dibalas dengan pelukan sayang kembali oleh ayah.

Kulihat ayah memejamkan mata ketika Lissa bertanya tentang keadaan Kak Berlize. Mengecup puncak rambut Lissa tanpa berniat menjawabnya.

"Ayah ...."

Aku berseru mengalihkan perhatian kedua orang itu—ayah dan Lissa. Lantas mereka menatapku secara bersamaan dengan pelukan yang mulai terurai.

"Claudi, kemarilah!"

Ayah menyeret tangan kiriku agar mendekat padanya. Lalu membawaku dan Lissa untuk duduk di kursi. Membiarkan kami mengapit ayah yang duduk di tengah—di antara kami.

"Dokter bilang bahwasanya keadaan Berlize sedang buruk. Jadi untuk itu, kita harus merawatnya baik-baik. Mengedepankan kesehatannya. Claudi dan Lissa mau, bukan?"

Ayah mengatakannya dengan tangan yang masing-masing menggenggam sebelah tangan kami.

"Tentu, Ayah. Tapi, bagaimana dengan Kak Berlize yang menganggap Lissa sebagai bunda? Apa itu baik-baik saja?"

Aku bertanya langsung pada ayah yang membuat wajah Lissa mulai berekspresi takut. Ayah mengembuskan napas panjang sebelum mengatakan sesuatu yang benar-benar membuat tubuhku menegang.

"Dokter bilang ... Berlize seperti itu karena mengalami depresi hingga membuatnya terkena mental disease."

Ucapan ayah terus berputar-putar dalam benakku, mengaduk isi pikiranku.

Depresi?

Mental disease?

Tentu aku tidak bodoh untuk tidak memahaminya. Ini hanya semacam kalimat baik yang sedang berusaha disampaikan perihal kesehatan jiwa Kak Berlize.

Gila?

Itulah bahasa kasarnya.

"Dan satu-satunya cara untuk menyembuhkan Berlize adalah dengan tidak menjauhkannya dari Lissa. Sebab Lissa adalah orang terdekat yang dia kira," imbuh ayah semakin menambah keterkejutanku.

Kulihat Lissa mematung mendengarnya. Lalu melepaskan tautan tangannya dengan ayah. Terus menggeleng tidak percaya. Kaget? Tentu saja.

"Dengar, Sayang. Berlize tidak akan melukaimu. Dia amat menyayangimu, Lissa. Hanya saja dia menganggapmu sebagai bunda."

Ayah terus berusaha menenangkan Lissa. Membuat tautan tangan antara aku dan ayah terlepas begitu saja. Aku paham akan rasa khawatir ayah pada Lissa. Jiwa Lissa sangat tertekan. Dan ayah tentu saja tidak mau terjadi hal buruk juga pada bungsu kami.

"Bagaimana jika Kak Berlize menyakitiku? Bagaimana jika dia tidak bisa disembuhkan? Dan terus-terusan menganggapku sebagai bunda? Apa itu akan baik-baik saja menurut ayah? Aku ... takut."

Suara Lissa terdengar pilu menahan tangisan yang mungkin saja akan kembali keluar.

"Maka dari itu, Lissa jangan menjauh darinya ... agar Berlize bisa segera sembuh. Kuncinya hanya padamu, Sayang. Ayah tidak akan membiarkan Lissa kenapa-kenapa. Percaya pada ayah, oke?"

Ayah berusaha membujuk dengan kembali memeluk Lissa. Berusaha meyakinkannya bahwa dia adalah kunci dari kesembuhan Kak Berlize.

Kurasakan mataku mulai berkaca-kaca dengan tubuh yang masih membisu duduk di samping ayah dan Lissa. Kak Berlize mengalami hal yang amat buruk. Di usia mudanya, dia mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan. Belum sempat pengobatan secara tuntas dilakukan, kesehatan jiwanya malah terguncang.

Entah keberapa kalinya lagi bibirku menyunggingkan senyuman miris sejak bunda menghilang. Terlalu pengap berada di antara permasalahan yang tak kunjung reda. Amat sesak mengingat semuanya dimulai sejak hari menghilangnya bunda.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang