"Claudi ... hari ini berangkat dengan Rey saja, ya? Tak apa, bukan? Masalahnya ayah ada meeting dadakan pagi ini, Sayang."
Omongan ayah berhasil menghentikan aksi sarapan pagiku. Dengan masih menatap ayah, aku hanya bergeming.
"Tak apa, Ayah. Lagi pula semalam Claudi sudah menyetujui untuk berangkat ke sekolah bersama Rey hari ini. Ayah tak usah khawatir," tutur Abang Rey tanpa persetujuan dariku.
"Ah, baiklah. Sepertinya hubungan di antara kalian sudah lebih baik."
Ayah mengatakannya dengan senyum yang mulai mengembang. Apa sebegitu bahagianya ayah jika kami seperti yang dia bayangkan?
"Bagaimana, Dek? Ayah butuh klarifikasi sepertinya," tukas Abang Rey seraya tersenyum jenaka ke arahku. Kulihat ayah dan Mama Verty ikut mengukir senyum.
Aku hanya mengangguk membalas obrolan mereka; antara tidak tahu harus merespon seperti apa dan jengkel pada hatiku yang mulai terbuka menerima kehadiran mereka.
Melihat senyuman Abang Rey berhasil membawaku kembali pada kejadian kemarin malam; mendengarkan kesedihan Abang Rey. Senyuman yang semanis itu rupanya menyimpan luka-luka yang bersarang dalam hatinya.
"Baiklah, Sayang, Ayah pergi dulu," pamit ayah padaku ketika telah berada di depan rumah.
"Hati-hati di jalan, Ayah."
Perkataan penuh perhatianku membuat ayah tersenyum lembut. Lalu segera melenggang pergi memasuki mobil yang akan membawa ayah pada tempat kerjanya.
"Dek ... ayo."
Ajakan Abang Rey membuatku membisu. Bagaimana ini? Apa aku harus pergi ke sekolah bersamanya? Tapi jika aku menolaknya, apa dia akan kecewa?
Oh, tidak!
Apa yang telah kupikirkan? Memikirkan perasaan orang yang telah berani memasuki rumah kami? Sungguh sangat tidak bagus sama sekali.
Kali ini aku mulai mengumpat dalam hati perihal kakiku yang malah melangkah menuju mobil Abang Rey. Siapa yang patut kusalahkan?
Aish, kakiku ini ... benar-benar menyebalkan.
"Baiklah. Segera pasang sabuk pengamannya, Dek."
Abang Rey mengatakannya setelah aku duduk dalam mobil di samping bangku pengemudi; di sebelah Abang Rey.
"Dek ... apa adek masih marah pada abang?"
Pertanyaan Abang Rey membuatku tersentak.
Tanpa sekadar berusaha untuk merespon ucapannya, aku malah mengambil buku novel yang berada dalam tasku. Bukan hanya sekadar untuk mengabaikan Abang Rey, novel yang berjudul "Broken Home" itu begitu menarik perhatianku.
Dulu, Bella berinisiatif untuk membelikanku sebuah novel sebagai hadiah ulang tahunku yang ke empat belas. Pada saat itu, aku memilih novel ini karena ingin mengetahui seperti apa rasanya menjadi seorang anak yang selalu mengalami kesedihan yang pada saat itu sangat bertolak belakang denganku, keluargaku yang amat berbahagia.
Tidak seperti sekarang pastinya.
"Dek ...."
Teguran Abang Rey masih tak kuindahkan. Benakku sedang melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang amat menyiksaku. Apa rasa sakit yang dirasakan oleh mereka sama dengan rasa sakit yang kurasakan saat ini? Hancur di saat menyadari keadaan tak seperti dulu lagi?
"Dek ... bacaan itu tidak baik untuk adek," saran Abang Rey yang kemungkinan besar telah melihat judul novel yang sedang kugenggam.
Aku tidak membalas ucapannya sedikit pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Heart [Completed]
Teen Fiction"Bagiku, rumah adalah tempat terindah di bumi dan ayah adalah kebanggaan kami." Bahagia? Tentu saja! Namun... ...semuanya begitu sempurna sebelum bunda menghilang secara tiba-tiba. Semuanya akan baik-baik saja jikalau ayah pulang tanpa membawa mere...