38. Harapan Ayah

1.3K 76 0
                                    

Angin berembus sejuk di malam hari, mengantarkan hawa kedinginan menusuk pori-pori kulitku. Ditambah pula tatapan ayah yang cukup membuatku tak berkutik sejak beberapa menit yang lalu, membuat bulu kudukku semakin merinding.

Kini kami sedang berada di balkon kamarku. Duduk berhadapan pada kursi yang sudah disediakan khusus untuk di sini ... yang biasanya kumanfaatkan untuk bersantai atau pun sebagai tempat belajar jikalau sudah mulai suntuk.

"Claudi."

Suara ayah membuatku semakin gemetaran. Kali ini ayah terlihat sangat serius. Wajah datar, badan tegak, melihatku dengan tatapan yang mampu membuat lawan bicaranya langsung tertunduk patuh.

Dan aku merasakannya untuk pertama kalinya; amat menegangkan.

"Ya, A-a-yah."

Jawabanku terbata-bata lantaran rasa gugup yang terus berdatangan.

Tangan ayah mulai mengambil posisi untuk bersedekap dada. Menyandarkan punggung pada sandaran kursi yang diduduki ayah. Tanpa mengalihkan pandangan dariku, ayah berujar.

"Apa kau menyadari apa yang menjadi kesalahanmu?"

Ayah bertanya tanpa mengubah ekspresi mengerikan itu.

"Ya, Ayah."

Jemari tanganku meremas tepi bajuku sembari menjawab pertanyaan ayah.

"Atas dasar apa kau berani melakukan hal itu?"

Wajahku langsung menekuk mendengar pertanyaan penuh interogasi dari ayah. Kegugupan semakin melandaku.

"Jawab! Atas dasar apa kau dengan lancangnya menggores telapak tanganmu dengan beling kaca itu?"

Benar.

Ayah sudah mengetahui perihal aksi nekatku. Melalui dokter yang menangani keadaanku kemarin, ayah mendapatkan informasi bahwasanya luka di area telapak tanganku seperti dilakukan secara sengaja hingga sekarang balutan perban masih melekat pada telapak tangan kiriku.

"Jika kau tidak bisa menjawabnya, lantas mengapa berani melakukannya? Apa kau sudah bosan hidup?"

Sudut hati kecilku tergores mendengar perkataan ayah. Memang benar aksi yang kulakukan kemarin banyak mengeluarkan darah, sampai-sampai ayah kewalahan mencari pendonor darah yang sama denganku disebabkan golongan darahku dan ayah tidaklah sama.

Namun, untuk alasan sudah bosan hidup ... itu cukup menyentil hatiku. Aku tak pernah memikirkan hal itu. Hanya saja rasa kecewaku yang mendorongku untuk melakukan hal bodoh itu.

"Tidak, Ayah."

Mulutku bergerak meluncurkan dua kata itu dengan wajah yang masih belum berani diangkat untuk menatap ayah, nyaliku sudah menciut.

"Lantas ... karena apa?"

Pertanyaan ayah hanya kudiamkan; tak tahu harus menjawab seperti apa. Amat tidak memungkinkan jikalau aku mengatakannya sebagai pelampiasan rasa kecewaku pada mereka—ketiga saudaraku dan bunda.

"Jangan terus-menerus menunduk. Apa lehermu tak merasa pegal?"

Ucapan ayah sontak membuatku mengangkat wajah. Menatap ayah yang masih setia dengan tampang datarnya.

"Dan tanganmu jangan terus meremas bajumu itu. Apa kau mau lukanya kembali terbuka?"

Mataku segera bergulir menatap tangan kiriku yang dibalut perban. Aku baru sadar tangan kiri ini ikut-ikutan meremas tepi bawah bajuku.

Apa separah itu rasa gugupku hingga tak mampu menyadari hal ini?

Kudengar ayah mengembuskan napas sebelum berucap kembali padaku. Menegakkan badan sembari menatapku lamat-lamat.

Broken Heart [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang