Prolog

236K 13.2K 520
                                    

"Selamat Pagi." Sapaan itu membuat kepalaku yang semula menopang pada meja menjadi naik perlahan. Pertemuan pertama waktunya membuat kesan baik agar semuanya berjalan lancar hingga akhir, begitu pikirku.

Semester tujuh adalah semester dimana aku akan berusaha dengan baik agar tidak ada mata kuliah yang mengulang. Apalagi dari semester satu hingga enam, perkuliahanku tidak tersendat. Hanya ada beberapa kerikil kecil yang menyempil, tapi aku berhasil mengatasi semuanya. Jangan sampai semester ini berjalan lebih sulit.

"Pagi, Pak." Jawab para mahasiswa serentak. Sebelum dosen masuk ruangan tadi, mereka sangat berisik. Tapi sekarang semuanya mendadak sunyi. Sepertinya gosip yang beredar terkait dosen ini benar.

Arashya Derya Rayyanka, itu namanya. Ia berdiri di depan dengan sebelah tangan dimasukkan ke saku celananya, sementara tangannya yang satu lagi memegang spidol. Dengan pakaian serba hitam yang menjadi ciri khasnya, ia terlihat sangat horor. Kacamata dengan bingkai yang juga berwarna hitam bahkan tak mampu menutupi matanya yang menatap kami tajam dengan tatapan yang mengintimidasi.

"Baiklah, mungkin saya gak akan basa-basi. Kalian pasti sudah tau segala hal tentang saya." Dih, geer banget.

"Langsung saja mulai kontrak perkuliahan." Aku mengangguk pelan dan membuka buku yang aku jadikan tempat menulis hal-hal yang penting.

Menurutku buku kecil ini sangat penting, apalagi menulis beberapa peraturan yang dibuat oleh dosen. Setidaknya ini akan membantu perkuliahan kedepannya. Jika ada kesalahan, maka semuanya akan kacau. Bisa saja berdampak pada beasiswa yang aku terima.

"Peraturan pertama, tidak ada yang boleh libur tanpa keterangan alias alpa. Kedua, tidak ada kata terlambat. Kalau kalian terlambat, maka kalian tidak boleh memasuki perkuliahan hari ini. Yang artinya kalian akan dianggap alpa."

Jadi aku hanya perlu minta izin saat ingin libur. Jika telat, lebih baik aku tidak menampakkan wajahku dihadapannya, dan meminta izin. Oke, aku sudah dapat solusinya. Coretan kecil mulai aku tulis di bukuku.

"Kampus mengizinkan kalian izin maksimal 4 kali. Saya setuju dengan itu." Aku menghela nafas lega. "Tapi..." Eh? Ada tapinya? Firasatku menjadi tidak enak.

"... disetiap pertemuan akan ada kuis. Jika salah satu kuis tidak kalian ikuti, maka akan berdampak pada nilai. Karena penilaian terbesar saya ambil dari kuis, bukan UTS maupun UAS." Coretan yang baru saja aku buat tadi sudah tak berguna. Aku menatapnya nanar.

"Ketua kelasnya siapa?" Tanyanya. Farhan yang duduk disebelahku sontak mengacungkan tangan. Jiwa kepemimpinannya sudah terlihat dari semester satu yang membuatnya terpilih jadi ketua kelas ini.

"Silahkan pilih penanggung jawab kelas khusus untuk mata kuliah ini!" Perintahnya. Farhan menyenggol lenganku. Aku menggeleng.

Jangan aku. Aku tak siap kalau harus berurusan dengan Pak Arash selama semester ini. Aku ingin hidupku tenang. Walaupun sebenarnya tak pernah benar-benar tenang.

Ia kemudian melirik Fiona yang duduk di sampingku. Fiona tentu saja menolak. Ia sudah sangat sibuk dengan berbagai agenda unit kegiatan mahasiswa yang ia ikuti.

"Waktu adalah uang. Kalian beli waktu dan ilmu dari saya dengan uang. Makanya saya tak suka membuang uang kalian hanya untuk diam menunggu seperti ini." Farhan mulai melirik gerombolan laki-laki yang duduk di sudut belakang. Tak ada satupun dari mereka yang bisa diandalkan.

"Saya aja, Pak." Siska sontak mengacungkan tangan. Ada apa dengan suaranya? Kenapa seperti diimut-imutkan seperti itu?

Ah iya, dia kan tergabung dalam Arash lovers, sama seperti Fiona. Pantas saja mengajukan diri.

"Ketua, apa kamu setuju yang mengangkat tangan tadi jadi penanggung jawab kelas?" Farhan mengeryit bingung kemudian menggeleng. Farhan adalah yang paling mengerti bagaimana karakter para mahasiswa di kelas ini. Siska hanya golongan mahasiswi yang suka modus.

"Saya juga tidak suka mahasiswi yang memakai dandanan menor di kelas saya, apalagi memakai rok pendek. Bagi yang melanggar, akan saya usir. Kamu sudah gagal jadi calon penanggung jawab kelas." Beberapa mahasiswi sontak saling berbisik. Siska yang mendengar hal itu terdiam. Kasian deh lo mak lampir.

"Arisha aja, Pak." Usul Farhan. Mataku sontak melebar. Ia meringis saat siku milikku mengenai lengannya. Kenapa sih harus aku yang dibawa-bawa?

"Siapa yang namanya Arisha?" Mati sudah. Aku mengacungkan tangan. Pak Arash menatapku sepersekian detik lalu menulis sesuatu di bukunya.

"Oke." Ucapnya. Para tetanggaku sudah mulai berbisik julid. Mulut mereka tidak bosan membicarakanku. Tidak heran sih, karena mereka menjulukiku mahasiswa 'si caper yang sok pinter'.

Bagaimana ini? Aku bahkan belum sempat menolak. Sejujurnya aku tak mau sibuk. Apalagi aku harus kerja part time. Kalau tidak kerja maka aku tidak akan bisa makan.

"Arisha?" Panggil Pak Arash. Aku yang tadinya menatap Farhan sengit langsung kembali menatap kearahnya. "Kamu mau menolak?"

"Emang boleh, Pak?" Tanyaku polos. Fiona terkikik pelan.

"Saya tidak terima penolakan sih." Jawabnya enteng. Ia duduk dan mulai membuka laptop miliknya. Kalau seperti itu ngapain nanya tadi? Si Bapak lama-lama menyebalkan juga.

"Siap-siapin mental aja. Tau kan gimana mirisnya jadi penanggung jawab kelas? Apalagi dosennya Pak Arash." Bisik Fiona. Pak Arash itu perfeksionis, maka jika ada satu hal yang kurang dapat dipastikan bahwa aku akan terkena amukannya.

Dia sangat cocok dengan karakter Dewa Perang dalam mitologi Yunani, yaitu Ares. Terlihat kejam, sangar, dan horor. Oke, sudah diputuskan kalau ini akan jadi panggilan kesayanganku untuknya. Kesayangan? Ah, tidak tidak. Aku harus mencari kata lain.

Aku merobek catatan yang aku tulis tadi. Sekarang mulai menulis di lembaran baru.

List peraturan Dewa Perang Ares:

- Gak boleh alpa alias ngilang tanpa kabar, nanti Dewa Ares nyariin.

- Gak boleh telat gara-gara kebablasan tidur ataupun begadang, nanti dianggap ngilang tanpa kabar. Kalau Dewa Ares rindu gimana?

- Dilarang dandan menor, supaya gak dikira berpaling ke cowok lain. Nanti Dewa Ares cemburu.

- Dilarang pakai rok pendek seperti kekurangan bahan, supaya gak masuk angin. Nanti Dewa Ares khawatir.

Nb: Siapkan senjata berupa mulut nan tajam, amunisi berupa kosakata yang banyak berisi umpatan, dan tameng untuk bertahan dari serangan mematikan miliknya. Ingat!!! Senjata dan amunisi hanya digunakan dalam keadaan terdesak. Bagaimanapun pasal satu tetap berlaku, yaitu Dewa Ares selalu benar.

Aku menggigit bibir bawahku gemas dan menatap keluar jendela. Walaupun berusaha meyakinkan diri tapi tetap saja aku tak bisa menerima semuanya.

Bagaimana ini? Aku tak mau berurusan dengan Dewa Ares. Dapat dipastikan bahwa hidupku tak akan tenang dibuatnya. Ganteng sih, tapi lebih ganteng dilihat saat dianya merem. Kalau lagi melek jangan ditanya.

"Sha, dipanggil tuh." Bisik Fiona. Aku mengernyit bingung. Siapa yang memanggilku? Aku tak mendengar apapun. Tuhan ya?

"Arisha?" Mataku mengerjap pelan, menatap Pak Arash yang berdiri dengan bertolak pinggang. Dia yang memanggilku? Fiona menyenggol lenganku supaya aku merespon.

"Ya, P-ak?" Jawabku gagap.

"Saya paling tidak suka ada yang melamun di kelas saya. Kamu mikirin apa, Arisha Khairina Mahveen? Mikirin saya?" Damn.

***

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang