Matthew mengerahkan seluruh tenaga serta niatnya untuk melangkah ke dalam butik. Di sana Jolin sudah menunggu, sembari menyilangkan kaki dan membaca majalah. Ia tampak tenang, membolak balik halaman glossy penuh warna dalam genggamannnya. Jolin mendongak saat menyadari Matthew sudah datang.
"Hi Matt" sapanya tersenyum.
"Hi" sahut Matt singkat.
Jolin mengangguk pada karyawan butik, tak lama kemudian mereka membawa beberapa stelan tuksedo dan gaun.
"Try it. Biar kita cepet pulang" kata Jolin pada Matthew.
Matthew terdiam, ia sama sekali tidak menyukai hal ini. Jolin terkekeh.
"You don't have to love me"
Matthew kini menatap Jolin, gadis itu masih tersenyum. Menyentuh gaun hijau tosca dalam pelukannya.
"Cause we want the same thing"
Jolin melepas kedua wedgesnya sebelum memasuki ruang fitting.
"What do you mean?" Tanya Matt.
"The wedding. You think i like it? Hell No. Your mom threat my father and want me as a payback" Jolin menutup tirai, mulai mengganti bajunya dengan gaun pesanan Vivianne.
Matthew terdiam, sejak kapan ibunya semengerikan ini?
"Excuse me" Jolin menyibak tirai, tak ada yang menjawab. Tampaknya karyawan butik sedang sibuk melayani pelanggan.
Matthew keluar dari kamar pas, ia melihat kepala Jolin menyembul dari lipatan tirai.
"Matt. Help me" kata Jolin.
"What?" Tanya Matthew, Jolin meminta Matt untuk masuk. Ternyata resleting bagian belakang gaun gadis itu macet. Menampakkan lekuk punggung Jolin yang terbuka.
Matt tanpa pikir panjang, langsung menarik resleting ke atas hingga mencapai bawah tengkuk. Mereka berdua menatap cermin full body di hadapan Matthew dan Jolin. Entah kenapa wanita itu tampak cemas, ia terus menggigit bibir bawahnya dan menatap bagian perut.
"Lo kenapa sih?" Tanya Matt.
"Kayaknya gue gendutan deh" Jawab Jolin membuat Matt menggeleng - gelengkan kepalanya. Dasar wanita!
Saat Matt akan keluar, Jolin menarik tangannya untuk tetap di tempat. Matt hampir meninggikan suaranya.
"We have to take a picture. I must sent it to your mom" Jolin mengambil smartphonenya. Kemudian menggandeng tangan Matthew, pria itu menepisnya dengan kasar. Jolin mengeluarkan ekspresi kesal. Jadi ia mengambil gambar seadanya saja.
Untunglah ini hal terakhir yang Matthew lakukan bersama Jolin. Ia muak terus menerus menilik persiapan pernikahan bersama orang yang bahkan tak ia kenal seperti ini. Ia ingin cepat - cepat pulang, bermain dengan Prince dan menelphon Daniella. Ia betah terus mendengarkan Danny mengoceh di sambungan telephon. Matthew kadang tak berbicara apapun. Karena yang Matt perlukan hanyalah mendengar Daniella menenangkannya. Menjernihkan pikiran Matthew yang terlanjur keruh.
***
Matthew berdiri ketika Zafrina masuk ke dalam kafe.
Wanita itu melepas kacamata, ia segera menyilangkan kaki setelah duduk di sofa. Seperti biasa, ia memesan ice americano. Sejenak Zafrina menatap Matthew. Menghela nafasnya dengan berat hati. Lalu mengambil sebuah map dari dalam tasnya, mengulurkan berkas itu pada pria di hadapannya.
"Saya hanya akan melakukan tuntutan atas apa yang ia lakukan terhadap lab juga anak - anak saya. Selebihnya anggap saja saya tidak tahu. Detektif Matsumoto terlalu banyak memberi saya informasi mengenai mama kamu"
Zafrina menyandarkan punggungnya, merasa lelah karena akhir - akhir ia menjadi lebih sibuk karena sedang mempersiapkan parfum baru.
"I don't know her, for real" ucap Matthew setelah menyelesaikan scanning berkas.
"Dia hebat Matthew. Sayangnya ia salah pilih jalur" Zafrina, sama seperti Danny. Mencoba tidak untuk membuat Matthew kalut.
Mereka berdua terdiam. Zafrina tahu, Matthew memang seorang pembangkang. Tapi, ia juga tidak sanggup melihat ibunya terlihat buruk. Maka dari itu Zafrina tak berniat menuntut lebih jauh dari ranahnya.
"Congratulations" Zafrina mengusap jemari basahnya menggunakan tisyu.
"Don't congratulate me!" Balas Matthew kesal, wajah Matthew terlihat menggemaskan.
Zafrina terkekeh, ia suka sekali menggoda kekasih putrinya.
"Minggu depan kamu nikah lho" sahut Zafrina.
"Ya tapi bukan sama Danny!" sahut Matthew.
Zafrina tertawa, anak jaman sekarang bucin - bucin ya?
"Nikah sama Dannypun kalo nggak jodoh bakalan pisah juga Matt"
"Kok jadi ngedoain jelek sih?"
"Kamu takut?"
Matthew terdiam, ia tak mengelak.
"Takut itu merupakan doa kamu terhadap sesuatu yang nggak kamu pengenin. Kamu terus menerus mikirin hal itu sampe akhirnya alam bawah sadar kamu menuntun kamu buat gagal. Jadi kenyataan deh.
Kamu percaya sama Danny kan? Bocah tengil itu, meskipun rencananya keliatan nggak sempurna dan terkesan banyak celah. Tapi, kamu harus yakin bakalan berhasil Matt.
Daniella itu sama kayak bapaknya, nggak pernah nyiptain masalah atau rencana yang nggak ada jalan keluarnya. She always one step ahead from us, kid"
Zafrina mendongakkan wajahnya, pandangannya bertemu dengan kedua manik coklat milik Matthew.
"Bukan bearti saya ngelarang kamu buat takut. Takut itu alami, reaksi pertama saat kita perlu melindungi diri. Tapi, nggak lantas bikin kamu jadi paranoid dan berhenti nggegunain logika sama hati nurani kamu.
Haduhh, kok saya jadi ceramah sih. Gini nih, capeknya jadi mama buat anak - anak sekaligus mantu saya. Uda jam segini lagin, saya pulang dulu kalo gitu" Zafrina beranjak dari tempat duduk, mengeluarkan beberapa lembar AUD dari dompet dan meletakkannya di atas meja.
"Your mother in law treat, i don't accept any complaining. See you in a church" Zafrina masih saja menggoda Matthew sebelum pergi.
Matthew tertawa, karma itu benar - benar ada. Dulu, ia selalu memaki maki Zafrina jika Danny kedapatan lembur ataupun melaksanakan tugas di luar jam kerja karena perintahnya. Sekarang, justru Zafrina yang selalu meluangkan waktu di antara jam sibuk untuk menemui Matthew.
Saat ini, ia ingin sekali menghabiskan waktu guna meluapkan overthinkingnya. Lalu Matthew segera melalukan panggilan grup bersama Alex, Wilmer dan David.
"Woy bro" - Wilmer
"Ada apa nih?" - Alex
"Tumben" - David
"Bachelor party, kan minggu depan gue mau kawin dudul"
"Lo mabok ya Matt?" - Alex
"Pala lo kepentok?" - Wilmer
"Guys, uda turutin aja. Kasian dia" - David
Matthew tertawa.
"Flamingo Bar ya. Lima belas menit lagi gue nyampe"
Menurut ketiga temannya, Matthew terlihat menyedihkan. Sepengetahuan mereka, Matthew putus dari Danny. Lalu menuruti perjodohan yang di atur oleh sang ibu. Mereka tak pernah menanyai Matthew. Karena memang pria itu tak bercerita apapun pada mereka setelah insiden yang menghancurkan Nusantara Coffee.
Matthew menutup usahanya sementara waktu. Memberi pesangon pada seluruh karyawan dan menghilang begitu saja dari peredaran. Mereka tahu dari Marvin jika minggu depan Matt akan melangsungkan pernikahan. Karena adik Matthewlah yang membagikan undangan.
Mereka prihatin. Marvin bilang Matthew seperti robot. Sudah tak semangat lagi menjalani hidup semenjak Danny tidak ada. Setidaknya kini Matthew sudah terlebih dahulu menghubungi mereka. Setidaknya ini hal terakhir yang bisa Wilmer, Alex dan David lakukan untuk menghibur sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends Special Edition (Joo - Kyun)
FanfictionDanny, melanglang buana mencari pekerjaan di Australia berbekal Work and Holiday Visa. Suatu saat, ia berhasil mengikuti test perusahaan impiannya yaitu Arc ~ en ~ ciel Perfume Pty Ltd dan lolos. Tapi, ternyata perusahaan itu tak lagi memberikan off...