Talk

164 31 13
                                    

Danny sedari tadi berusaha menjalin rambutnya. Tapi, tak berhasil. Ia berencana ke lab lagi hari ini. Alaric tertawa, menyuruh Danny membalikkan tubuh. Mengambil alih rambut blonde Danny, membaginya menjadi tiga bagian dan mulai mengaitkannya satu sama lain. Zafrina baru saja kembali dari toilet eksekutif. Melihat putranya tengah sibuk menata rambut Danny.

"Kamu ini bikin apa? Kusut begitu?" Zafrina mengintip dari balik bahu Alaric.

"Gini kan?" Alaric menjukkan sebuah jalinan aneh. Tampaknya ia gagal romantis begitu melihat ekspresi ibunya.

Zafrina mengambil sisir dari meja Danny, mengurai kembali rambutnya. Baru menjalinnya dengan telaten, sesaat kemudian menyombongkan hasil tangan pada putranya.

"Makasi madam. Aku ke lab dulu" kata Danny tak mampu menyembunyikan rasa bahagianya. Ia terus memegangi ujung rambutnya penuh senyum.

"Mama nggak mau punya mantu ngegemesin kayak gitu?" Alaric menyenggol lengan sang ibu yang langsung masuk ke ruangan.

***

Di tempat lain,

Seminggu setelah kehilangan Miley. Heavenly Coffee mengadakan rapat bersama untuk menunjuk Direktur baru. Tentu saja, Vivianne selaku pemegang saham mayor ada di sana. Membuat suasana lebih tegang dari biasanya. Jackson yang biasanya ceriwis mendadak seperti orang sakit gigi. Marvin dan Matt sedari tadi mengobrol dengan sang ayah sebelum rapat dimulai.

Vivianne memilih Matthew untuk menggantikan posisi Miley. Sementara Marvin akan menghandle bagian Finance serta Marketing sementara waktu hingga menemukan orang yang tepat. Susunan kepemilikan saham juga berubah. Nama Miley akan di ganti menjadi Prince. Karena belum cukup umur makan Matthew selaku pemegang hak asuh yang akan menanganinya.

Setelah rapat berakhir, Matthew berniat melanjutkan pekerjaannya di kafe.

"Matthew" panggil sang ibu.

Pria itu tak menjawab, hanya menatap ibunya.

"Kamu sekarang direktur. Jadi harus full time di kantor, jangan sibuk ngurusin kafemu terus. Jual aja biar kamu konsen di sini" Vivi melipat kedua tangan di depan dada.

"Mama kalo ngomong suka ngadi - adi. Kalo di suruh milih perusahaan sama kafe. Ya aku pilih kafe lah ma. Seharusnya aku nggak perlu kerja di sini. Kan aku juga punya saham 15%. Tinggal rekrut orang yang kompeten aja. Mama kira uang deviden perusahaan lebih gede gitu dari kafe?" Matthew beranjak dari tempat duduknya.

"Oke. Kamu boleh tetep ngurusin kafemu itu. Tapi, kamu harus nurutin permintaan mama" perkataan Vivi berhasil menahan Matthew.

"Kamu harus segera nikah" lanjut Vivi.

"Iya, gampang itu mah. Nanti Matt kasih undangan nikah Matthew sama Daniella. Tungguin aja, nggak sekarang. Dia masih probation. Nanti, kalau uda karyawan tetap. Matt lamar dia ma" jelas Matthew panjang lebar dengan sumringah.

"Emang mama nyuruh kamu nikah sama dia? Baca!" Vivi melempar sebuah berkas hingga sampai ke hadapan Matthew. Membuat pemuda itu mengrenyitkan dahi.

"Kalo aku nggak mau, mama mau apa? Mecat aku dari perusahaan? Pecat aja, aku malah seneng. Tapi, jangan sekali - kali nyusahin Marvin. Mama, mama. Kapan bisa hidup bahagia kalo dikit dikit iri liat orang lain lebih bersuka cita di bandingkan mama" Matthew membuang berkas yang di berikan mamanya ke tong sampah. Kemudian berlalu dari ruangannya.

"Vi. Jangan paksain kehendak kamu ke anak - anak. Kita uda kehilangan Miley. Jangan sampe kita kehilangan Matthew sama Marvin juga" Richard mengemukakan pendapatnya. Walaupun ia tahu, Vivi tak akan pernah mendengarnya.

"Ini juga demi kebaikan mereka. Nikah sama orang yang bener, bangun keluarga yang bener juga. Hidup bahagia, nggak kekurangan suatu apapun. Emangnya cukup hidup modal cinta aja? Day dreaming kok berkepanjangan" Vivi berdiri, bersiap pergi.

"Vi. Uda cukup, aku aja yang kamu jadiin pelampiasan. Jangan Matthew sama Marvin. Apa perlu aku transfer semua sahamku ke kamu, biar kamu nglepasin mereka?" Richard menahan tangan Vivi.

"Selama kamu belum mati. Rasa sakit hatiku nggak bakalan ilang. Richard. Mereka anak - anakku. Aku tau yang terbaik buat mereka" Vivi menepis tangan pria yang pernah ia cintai.

"Mereka juga anak - anakku. Jangan bertindak seenaknya. Mungkin aku nggak bisa ngejagain Miley. Tapi, aku bakal lakuin apapun buat Matthew dan Marvin" Richard bersungguh - sungguh. Hanya saja Vivi menganggapnya angin lalu.

***

Alaric mendapati Daniella tengah melakukan video call. Suaranya tampak lucu karena terlalu excited. Pria itu sudah membawakan satu cup gelato rasa strawberry di tangan kanannya. Ia berjalan ke samping Danny. Menyerahkan cup tanpa suara. Tapi, gadis itu mencengkram lengannya. Menariknya mendekat.

"Prince. Hadap sini sayang. Ini ada uncle ganteng. Uncle Alaric. Say hello" kata Danny masih menggerak - gerakkan tangan Alaric. Mau tak mau ia tersenyum melihat batita yang menempelkan wajahnya terlalu dekat pada kamera.

"Kak Danny. Tempet celana di mana sih?" Tanya Marvin.

"Laci paling bawah" Jawab Danny.

"Ketemu!! Ayo Prince, sini. Pake celana dulu. Prince!!!! Aduh, ampun" Marvin berteriak ketika Prince terlebih dulu kabur meninggalkan Danny dan Alaric yang tertawa.

"Thank you" kata Daniella mengangkat cup gelatonya.

Alaric mengusak rambut Danny pelan.

"Jadi pengen cepet pulang" kata Danny, ekspresinya lucu.

"Pengen ketemu bocil tadi? Emang siapa dia?" Tanya Alaric.

"Mmm. Bisa di bilang sekarang Prince itu anak gue. Itu artinya keponakan lo" Jawab Danny mengawali kisahnya mengenai Prince, Alaric melepaskan kancing stelan suitnya. Bersiap mendengarkan.

***

Matthew belum pernah merasa sehidup ini selama beberapa tahun menghabiskan waktu di rumah yang ia tinggali sekarang. Walaupun masih ada duka menelisik kalbu. Tiap kali melihat senyuman Prince yang sangat mirip dengan sang kakak. Bahkan, Marvin sekarang juga ada bersamanya. Dengan terpaksa, ia harus mengundurkan diri sebagai dosen agar bisa fokus ke perusahaan.

Cup

Sebuah kecupan mendarat pada pipi Matthew. Membuyarkan lamunannya. Ia tak mungkin lupa, jika sekarang Danny juga telah menjadi bagian penting dalam kehidupannya. Mengingat pembicaraan antara Matthew dan Vivi tadi. Terbesit rasa cemas dalam benaknya. Ia tidak ingin hal buruk terjadi pada siapapun.

"Mikirin apa? Serius banget?" Danny menyentuh pelipis Matthew.

"Takut Marvin keselek lego. Tadi, sama Prince di suapin mainannya" Matt mencoba berbohong.

Danny tertawa, menyandarkan pipinya ke bahu Matthew. Sekarang rumah terasa ramai dengan adanya dua anggota baru. Mereka baru saja berdiskusi dengan keluarga Jacob. Mungkin selama Matthew, Marvin dan Daniella bekerja. Tiap harinya Prince akan diasuh oleh kedua eyangnya dari pihak ayah.

Friends Special Edition (Joo - Kyun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang