Epilog 39 : Akhiri atau Lanjutkan?

354 67 1
                                    

-Tetaplah di tempatmu!

"Kenapa aku harus menurut?" Time Controller menanyakan keraguannya pada sosok berambut merah menyala di depannya. Setelah memasuki Hole yang mengatur perjalanan ke masa lalu, di tengah menuju Hole selanjutnya yang menjadi pintu masuk ke masa lalu, 'musuh di balik layar' mencegatnya.

"Apa kau menginginkan agar aku berhenti dan akhiri ini?" Wajahnya tenang, tetapi mata hitamnya berkilat berbahaya.

Kau tahu yang terbaik adalah mengakhiri perjalanan bebasmu ....

Time Controller mengusap poni yang menutupi mata gelapnya sebelum menentang pernyataan menusuk itu. "Tidak, mereka ingin aku kembali," katanya dengan penuh keyakinan.

Sosok berambut merah di depannya terkekeh dengan bahunya naik-turun, kekehannya tidak menyenangkan untuk didengar. Time Controller masih mempertahankan ketenangan khasnya.

—Bagaimana jika tidak?

Time Controller berpura-pura tidak mendengar itu dengan melirik Hole di ujung sekilas.

Mata yang sama gelapnya mengamati reaksi Time Controller atas pertanyaan yang menimbulkan keretakan keyakinan. Dia menikmati melihat kesulitan yang dialami simbol di depannya, sudah lama dia tidak mendapat kesempatan membuat simbol ini hancur secara langsung. Dia dan Time Controller berada di kapal yang sama dulunya dalam mencari kebebasan dari apa yang disebut sebagai 'belenggu kewajiban'.

Namun, sekarang tidak lagi, tidak setelah Time Controller menghancurkan 'kebebasannya' dan 'kehidupan' yang sama sepertinya, akibat dari kegagalan menyegel Dewa Terkutuk, dunianya lenyap dan hanya dia lah yang tersisa. Dia bukan simbol seperti Time Controller, dia adalah anomali yang disebut keputusasaan dan pelanggaran yang dapat mengabaikan segala bentuk aturan tanpa diketahui. Jadi, julukannya sebagai 'musuh di balik layar' adalah julukan yang tepat karena dia tidak pernah bergerak secara langsung.

Dia tidak memiliki nama, tidak, dia melupakannya karena tak ada gunanya mengingat nama yang tidak berarti apa-apa lagi. Jadi, dia disebut 'musuh di balik layar' yang mengamati apa saja yang telah dilakukan Time Controller sambil menunggu saat yang menentukan untuk membalasnya.

"Aku bisa menghidupkan duniamu lagi, Cale," ucap Time Controller, Kim Dokja dan itu direspon oleh seringai menyeramkan dari pendengar. Yang terakhir mengabaikan 'nama' yang diucapkan Time Controller.

—Tak ada gunanya, mereka sudah lenyap. Kau memang bisa melakukannya, sayangnya aku tidak mau mengganggu kedamaian mereka yang telah berjuang. Ah, dan ini melelahkan untuk terus mengamatimu. Jadi, ayo pilih akhiri ini atau lanjutkan?

Kim Dokja melangkah melewatinya menuju Hole di sisi lain, tetapi dia berhenti setelah beberapa langkah di belakang punggung sosok itu. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya ragu-ragu.

Tanpa berbalik, 'musuh di balik layar' menjawab.

Segel 'Dewa' itu dengan benar, setelah itu aku akan memaafkanmu ....

Kim Dokja berbalik dengan wajah terkejut dan murid-murid mata gelapnya sedikit bergetar. "Kau tidak membalas dendam padaku?"

Masih belum bergerak, sosok itu merespon dengan suara datar.

Aku punya caraku sendiri untuk membalas dendam...

Setelah mengatakan itu, dia menghilang tanpa jejak seolah sebelumnya tak pernah ada di sana. Dia bisa menembus celah dimensi waktu dan jalan dari Hole masa sekarang ke Hole masa lalu, namun dia tidak bisa mengikuti perjalanan Time Controller ke masa lalu.

Kim Dokja bergeming sampai Hole di ujung yang menuju masa lalu memanggilnya dengan putaran kegelapan yang membuka. Dia melirik tangan kanannya, ada arloji saku kuno berwarna hitam dengan guratan nama di belakangnya tertulis 'Kim Dokja'.

Dia mengklik tombol pembuka arloji kemudian memperhatikan isinya, selayaknya jam pada umumnya dengan jarum detik, menit, dan jam. Namun, ada satu yang membedakannya, ada hitungan untuk berapa kali lagi jarum-jarum itu dapat berputar.

Klik!

Dia menutupnya sambil melayangkan pandangan ke Hole yang membuka, berpikir dan akhirnya mengambil keputusan. Kim Dokja memilih pilihan terakhir saat dia masuk ke dalam Hole tersebut.

***

"Hei, Jonghyuk. Sekarang apa?" tanya God Of Stories yang berbaring di tanah pasir, sementara Yoo Jonghyuk bermain ayunan dengan ekspresi kosong.

"Bagaimana cara keluar dari cerita ini?" Yoo Jonghyuk akhirnya menyahut setelah lama hening. God Of Stories memutar otaknya untuk mencaritahu karena dia belum pernah keluar dari dunia cerita ini di tengah prosesnya.

Setelah sekuat tenaga menelusuri segala hal yang 'mungkin', God Of Stories berkata. "Ayo kita panggil 'dia'."

Yoo Jonghyuk tersentak dan ekspresi kosongnya berubah signifikan, dia berdiri dari ayunan kemudian mendesak. "Bagaimana?!"

God Of Stories menggambar sesuatu di tanah, itu adalah lingkaran kecil dengan goresan di tengah, pinggir, dan ada simbol tiga jarum yang berbeda ukuran. Dia menyatakan setelah selesai menunjukkan model altar yang mirip dengan altar di ruangan putih Tower Of Nightmares jika Yoo Jonghyuk mengingatnya dengan benar.

"Aku baru menyadarinya, kau tahu. Entah pikiranku yang jadi berantakan selama ini atau memang aku tidak boleh tahu ketika berada di sana, tetapi saat ini mari kita panggil 'dia' dengan altar ini. Dan kita harus berharap ini berhasil," ungkap God Of Stories dengan percaya pada pernyataannya sendiri.

Sebenarnya dia sendiri tidak memahami apa hubungan antara altar itu dengan memanggil 'dia' untuk datang? Setidaknya dia akan mencoba segala hal yang 'mungkin', kalau tidak berhasil maka dia harus mencoba cara lain untuk keluar dari dunia cerita ini atau akhirnya dapat bertemu 'dia' lagi.

Yoo Jonghyuk menatap kedua tangannya yang tergores akibat dari melumatkan dua figur mainan yang melantunkan lagu mengerikan. Lalu, dia melihat langit yang gelap tanpa bintang yang dia selalu akrab dengan itu di dunianya. Ini sudah larut malam, tetapi mereka malah berada di taman bermain, yah itu tidak perlu ditanyakan alasannya. Mereka tidak peduli apakah ini siang atau malam, karena mereka tidak bisa tenang sebelum mengupas hal yang disembunyikan atau keluar dari dunia cerita yang penuh kepalsuan ini.

"Kita buat sekarang!" perintahnya dan God Of Stories mengangguk tanpa berdebat karena nada perintah yang tidak menyenangkan.

Mereka mencari area yang luas dan jauh dari perhatian orang-orang yang mungkin lewat, menerobos semak-semak penghalang lalu mengamankan tempat yang seukuran kamar 4×4. "Di sini," bisik God Of Stories. "Tunggu, altar ini harus digambar dengan cerita atau darah. Mana yang kau pilih, Jonghyuk?" lanjutnya.

Yoo Jonghyuk menjawab cepat. "Darah." Direspon oleh helaan napas penanya. "Tentu saja, kau selalu memilih yang brutal," balas yang terakhir.

Alis Yoo Jonghyuk berkerut tanda tidak senang. "Jadi, apa kau bisa menggambar dengan cerita di sini?" tanyanya menantang.

"Aku tidak tahu, aku belum pernah coba. Dan kukira solusi brutal lebih baik, kau bawa apapun yang bisa melukai tanganmu?"

God Of Stories mendapati bahwa mereka berdua tidak membawa alat, haruskah menggigit jari? Saat dia memikirkan itu, Yoo Jonghyuk mengulurkan tangan kirinya yang tergenggam. "Apa—"

Sebelum pertanyaannya selesai, matanya melotot tak percaya pada benda di tangan Yoo Jonghyuk.

"Aku merogoh sakuku dan menemukan benda ini kembali ke wujud semula, sangat mengerikan, benar kan?" Yang terakhir menatap penuh kebencian ke dua figur mainan di tangannya.

Dan dua figur mainan tersebut memancarkan cahaya seolah memberitahu bahwa keduanya adalah alat yang tepat untuk mengeluarkan darah yang digunakan demi menggambar altar.

God Of Stories dan Yoo Jonghyuk berpandangan sesaat, sebelum mereka memutuskan —

"Hei, kalian!"

Suara yang akrab dari seseorang yang tak pernah mereka perkirakan datang dari belakang.

***






Fanfic Omniscient Reader's Viewpoints [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang