"Cepat ikut saya karena suami saya membutuhkan darahmu." Ucapan Riska berhasil membuat Vega terpaku, padahal ini belum genap tiga hari ia mendonorkan darahnya kepada sang ayah, tapi Riska memaksanya untuk segera melakukan tranfusi darah lagi.
"Bun, Vega masih gak enak badan. Kemarin Vega pingsan, tapi Bunda sedetikpun gak jenguk Vega di ruang rawat," protesnya, Vega lelah jika terus menerus mengalah.
Semua ia lakukan agar Riska bisa menerimanya tapi kenyataannya perempuan itu malah semakin gencar untuk menyiksanya. Bisakah Vega bahagia? Apa tunggu mati dulu agar ia bisa merasakan kebahagian yang sesungguhnya?
"Kamu mau suami saya mati?!" bentak Riska sembari menjambak rambut Vega dengan kuat hingga membuat gadis itu meringis kesakitan. Vega terisak, kepalanya kembali berdenyut nyeri. Vega takut terjadi sesuatu nantinya.
"Bun, kepala Vega sakit," ucapnya lirih. Sakitnya semakin menjadi-jadi saat Riska dengan teganya kembali membenturkan kepalanya ke tembok. Vega terisak, sementara Riska berteriak kesetanan. Tak hanya itu, Riska juga memukul punggung Vega menggunakan rotan yang entah ia dapat dari mana. Riska tak menghentikan aksinya sampai Vega benar-benar lemas, darah kembali mengucur kali ini di belakang kepalanya.
Vega sudah tidak mampu lagi untuk berteriak, bahkan pandangannya saja sudah mengabur dan dadanya yang mulai terasa sakit.
"Bunda, Vega sayang Bunda. Ma-af." setelah mengucapkan itu Vega langsung tumbang di hadapan Riska.
****
Kelopak matanya terbuka, sekarang bau khas obat-obatan menyeruak masuk ke dalam indera penciuman nya. Vega tersenyum kecil karena setidaknya Riska yang membawanya ke rumah sakit.
Atensinya beredar di sekeliling tempat, saat menyadari sesuatu Vega tersenyum kecut. Ia melihat selang darah yang sudah menempel di lengannya. Riska tidak peduli padanya, bahkan perempuan itu dengan teganya mengambil darah Vega yang saat itu tengah tidak sadarkan diri.
Wajahnya pucat, kepalanya hanya diperban. Vega tahu itu, tidak mungkin juga Riska memeriksakan keadaannya. Kejam bukan?
Donor darah kembali berhasil dilakukan, Vega mencoba keluar dari ruangan ini. Jalannya sedikit tertatih, berjalan dengan sekuat tenaga.
Memang semenjak ia melakukan donor darah, maka yang akan terjadi adalah rasa mual dan tubuhnya yang melemas. Sebenarnya ini adalah dampak buruk bagi kesehatannya.
Tubuhnya yang tak seimbang membuat Vega terhuyung, untung saja seorang lelaki dengan sigap menahannya dari belakang.
Vega tersenyum tipis, ia merindukan lelaki ini.
"Makasih Kak," ucap Vega sambil tersenyum tipis.
Archer mengangguk cuek, tapi sebenarnya terbesit rasa khawatir saat melihat penampilan Vega yang sangat kacau. Archer tau Vega sedang tidak baik-baik saja. Dengan ragu ia menggenggam tangan mungil milik Vega dan membawa gadis itu pergi menuju taman rumah sakit.
Mereka berdua duduk di sebuah bangku yang mengarah langsung pada air pancuran. Archer menatap lekat wajah pucat Vega, ia merasa sesak saat Vega tidak baik-baik saja.
"Lo kenapa?" tanya Archer memecah keheningan.
"Kamu masih peduli?" tanya Vega balik, ia tersenyum miris saat menyadari jaraknya dengan Archer yang tidak sedekat dulu lagi. Apakah bisa mereka kembali bersama? Pantaskah ia kembali dengan Archer?
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M LONELY (REVISI)
Fiksi RemajaIni adalah kisah Vega Aurora. Namanya indah namun tak seindah kehidupannya. Vega tidak pernah dianggap, ia selalu terbuang. Vega ingin bahagia, tapi mereka tidak pernah peduli. Salahkah ia berharap keluarganya berubah? Mungkin itu hanya semu, nyatan...