5. Alone

16.2K 1.3K 24
                                        

Pura pura bahagia ternyata juga butuh tenaga:)

Tamparan yang sangat keras itu mendarat mulus di pipi Vega. Reno yang yang notabanenya ayah Vega, tega melakukan hal seperti itu kepada puterinya.
Vega memegangi pipinya yang terasa panas, hal ini sudah biasa ia dapatkan. Vega lantas menatap ayahnya tak percaya dengan air mata yang sudah membanjiri pipi, gadis itu kembali terisak menangisi nasibnya yang seperti ini.

"Kamu gak lihat ini jam berapa?!" bentakan Reno membuat Vega sedikit terlonjak. Keluarganya hanya menonton tanpa berniat membantu dirinya yang tengah ketakutan.

"Maaf, Yah," ucap Vega sambil menundukkan kepalanya.

Plakkk

Untuk yang kedua kalinya Reno menampar Vega hingga membuat sudut bibir cewek itu sedikit mengeluarkan darah.

"Perempuan jam segini baru pulang! Mau jadi jalang kamu?!" bentak Reno.

"Contoh itu Maura! Selalu di rumah, gak kayak kamu yang suka kelayapan." Riska malah membuat keadaan semakin panas, sementara Maura menatap sinis ke arah Vega sambil tertawa meremehkan.

Mau bicarapun percuma, Vega hanya bisa diam sambil menundukkan kepalanya. Di saat seperti ini, ia ingin bunuh diri agar cepat mati dan semua masalah cepat selesai. Tapi Vega tahu, jika ia bunuh diri masalah di dunia memang selesai, tapi di akhirat? Vega bersimpuh di depan kaki Reno dengan memohon agar ayahnya bisa memaafakan.

"Maafin Vega, Yah," ucap Vega diiringi isakan dari bibir gadis itu. Bukan karena apa, tapi Vega sangat takut jika ayahnya sudah marah apalagi mulai bermain fisik.

"Sekali lagi kamu kayak gini, jangan harap bisa tidur di rumah saya lagi!" ucapan Reno mampu membuat Vega menegang seketika. Ia tidak percaya, di saat semua wanita menganggap ayah adalah cinta pertamanya, tapi Vega tidak. Terlalu sulit untuk memeluk ayahnya itu, padahal ia tidak tahu apa kesalahan yang pernah diperbuatnya.

Reno meninggalkan Vega yang masih menangis, Maura yang melihat itu langsung menghampiri Vega dengan tertawa sinis.

"Makanya jangan belagu lo jadi cewek," ucap Maura sambil mendorong dahi Vega keras.

Helga baru saja datang setelah nongkrong bersama teman-temannya, ia sedikit bingung lantaran keluarganya berkumpul di ruang tengah. Helga melirik tak suka ke arah Vega, ia lantas menghampiri Vega yang baru saja berdiri dan hendak menuju kamarnya. Tapi dengan segera Helga menghadang langkah adiknya itu.

"Buat masalah lagi lo?" tanya Helga sinis.

Vega menunduk tidak berani menjawab. Semua terasa asing bagi Vega, ia ingin sekali lenyap dari bumi agar tidak merasakan penderitaan seperti ini. Entah kapan Tuhan akan mencabut nyawanya.

"Iya lah bang, orang kek dia itu suka buat masalah," ucap Maura sambil menatap jengkel ke arah Vega. Sementara Vega hanya bisa diam, mau menjawab pun sudah dipastikan kakaknya itu akan menamparanya.

"Gak tau diuntung banget sih lo!" semua hanya melihat Helga yang sedang memarahi adiknya, tanpa ada yang berniat untuk menenangkan. Malahan Riska dan kedua orang tuanya beranjak menuju kamar masing masing.

"Semua orang di rumah itu gak peduli sama lo!" ucap Helga membentak.

Vega memejamkan matanya, kepalanya kembali berdenyut sakit. Entah kenapa kepalanya terasa berat, ia sudah tidak peduli dengan ucapan ucapan pedas yang keluar dari mulut Helga dan Maura. Karena yang dirasakannya kini hanyalah rasa sakit yang ada di kepalanya. Vega lantas beranjak untuk ke kamarnya, dirinya sudah tidak kuat menopang tubuhnya sendiri.

"ANAK GAK TAHU DIRI!!" teriak Helga.

Dengan langkah gontai Vega menuju kasurnya, cewek itu membaringkan tubuhnya di atas kasur sambil memandangi langit langit kamarnya yang terhias gambar awan.
Ia kembali mengingat tamparan yang diberikan Reno kepada dirinya. Kapan semua ini cepat selesai? Cita cita Vega hanya satu, dianggap oleh keluarganya. Sudah cukup bagi Vega.

Kadang Vega iri kepada keluarga sahabat sahabatnya yang sangat harmonis, bahkan Vega pernah berpikiran untuk minggat agar keluarganya di sini harmonis tanpa kehadirannya.
Pipinya terasa ngilu akibat tamparan tadi, Vega lantas mencari obat merah. Mengobati lukanya sendirian, selalu seperti ini.

"Gue capek," lirih Vega. Andai saja ia memiliki mesin waktu, mungkin ia memilih untuk tidak hadir di dunia. Dan semua itu hanyalah, andaikan.

"Gini banget hidup gue," ucap Vega sambil tertawa sumbang.

Vega tidak menyadari bahwa sedari tadi ada seseorang yang melihat seluruh kejadian yang telah dialaminya beberapa menit yang lalu. Setelah dirasa aman, orang itu segera pergi dan meninggalkan pekarangan rumah Vega yang cukup luas.

Vega lantas berlari ke arah kamar mandi, Ia mengambil sebuah silet, sedikit demi sedikit cewek itu mulai menggoreskan silet pada lengannya. Semua rasa menjadi satu. Perih, lega, dan puas membuat Vega menjadi nyaman.
Ya, Vega memang sering menggores lengannya jika sedang bersedih atau dalam mood yang hancur seperti saat ini. Dia menderita Self injury.

"Gue benci takdir!" teriak Vega frustasi.

"Gue gak suka hidup kayak gini!"

"Gue gak tau apa yang bikin mereka benci sama gue!"

"Mau nangispun semua bakal percuma!"

Vega mengeluarkan segala uneg unegnya. Entahlah, ia suka jika berteriak di kamar mandi sambil menggores lengannya. Vega kembali menangis terisak hingga membuat gadis itu kesulitan bernapas. Vega mematikan keran airnya lalu berjalan menuju kasur, tanpa mengganti pakaiannya yang basah. Bahkan hoodie putih yang dikenakan Vega tampak banyak noda darah.

"Ternyata pura pura bahagia itu capek," gumamnya.

"Salah gue dimana ya?" Vega menerka nerka.

Hari sudah semakin larut, tapi Vega tak kunjung menutup matanya, menangis dan terus menangis. Seperti inilah keadaannya sekarang. Mata sembab, hidung merah, rambut acak acakan serta bekas tamparan dari papanya masih sangat tercetak jelas membuatnya terlihat seperti monster.
Selalu disalahkan tanpa pernah tau apa kesalahannya.

Vega mengambil sesuatu di laci nakasnya, ia menghembuskan nafas pelan karena stok obat tidurnya habis. Vega memang tidak bisa tidur setiap malam hari, dirinya sudah terlalu bergantung dengan obat tidur apalagi dengan kondisinya yang sekarang. Dengan terpaksa cewek itu berjalan ke arah balkon sedikit guna merilekskan pikirannya dengan cara melihat bintang. Tapi sayang, ketika ia sudah berada di balkon, langit terlihat mendung. Langit saja tahu dirinya sedang bersedih, membuat Vega tertawa miris. Vega memutuskan untuk kembali ke kamarnya karena di luar juga percuma.

Pikirannya melayang pada kejadian beberapa jam yang lalu, lagi lagi Vega tertawa miris. Kapan semua akan segera berakhir? Ia tidak tahu lagi harus mengadu kepada siapa. Sakit yang diberikan keluarganya sudah cukup dalam.

"Apa kalau gue mati mereka bakal nangis?"

Vega tertawa sendu, ia mengambil sebuah foto di atas nakas.

"Coba aja kalau gue ada di antara kalian, mungkin gue bakal jadi orang yang paling bahagia di dunia ini." air matanya kembali menetes, perlakuan kasar keluarganya terus berputar di otak Vega bagaikan kaset rusak.

Vega berpikir, semua orang tidak peduli padanya. Atau matipun mereka juga tidak akan peduli.





TBC.
Vote and komen:)

Dont siderrrr!!!!

Next kapan?

I'M LONELY (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang