Thank You and Goodbye.
Hari ini adalah hari yang begitu spesial bagi Vega, di umurnya yang genap tujuh belas tahun seluruh keluarganya merayakan ulang tahunnya. Tapi satu hal yang membuat Vega sedih, Riska belum sadar dari komanya padahal ia sangat ingin diberikan ucapan oleh sang Bunda. Walaupun ia tahu, Riska tidak akan mungkin mau dan pasti tidak sudi.
Keaadaan Vega sudah membaik, gadis itu juga sudah diijinkan pulang oleh pihak rumah sakit. Perayaan ulang tahunnya akan dirayakan di sebuah hotel bintang lima, jelas saja Vega sangat senang dan terharu mengingat ini adalah kali pertama dalam hidupnya, keluarganya mau merayakan ulang tahunnya. Tapi tetap saja, hati Vega masih terasa kosong. Bagaimana ia bisa bahagia sementara orang yang sangat berarti baginya masih terbaring di rumah sakit dan berada di ambang batas kematian.
Vega sedih, ia tidak bisa melihat Riska yang seperti itu. Ingin rasanya ia menolong wanita itu walaupun dirinya sering disakiti.
Gadis itu menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Sedikit wajahnya ia polesi make up, ia menatap nanar bayangannya di cermin. Harusnya Vega senang, tapi entah mengapa hatinya terasa sesak. Di hari spesial ini Vega lebih banyak diam dan murung. Entah apa yang menyebabkan gadis itu bersikap demikian.
"Waktu lo gak akan lama, Ve." Vega mengedarkan pandangannya ke sekitar, tidak ada orang di sini lantas siapa dia? Vega memilih untuk kembali menatap pantulan wajahnya di depan cermin, nafasnya tercekat saat melihat seseorang yang sangat mirip dengannya berdiri tepat di belakangnya. Refleks Vega menoleh dan tak mendapati seseorang itu, ia lantas memejamkan matanya dengan erat. Pikirannya sangat kacau serta jantungnya yang berdetak tak stabil.
"Jangan takut, gue temen lo. Gue bakal balasin dendam lo, Ve."
Vega menggeleng kuat. Keringat dingin bercucuran di kening gadis itu menetes hingga mengenai lehernya. Vega menutup telinganya dengan kedua tangannya. Bibirnya bergetar hebat kala suara itu terus bersaut-sautan.
"Gue akan balas dendam."
"Kalau lo gak mau mending lo mati!"
"Jangan lemah!"
"Gue bakal datang dan hancurin semuanya!"
"Gue temen lo, jangan takut sama gue."
"STOP!! GUE GAK MAU!" Vega berteriak karena ia merasa frustasi dengan suara-suara itu.
Lagi-lagi kilasan saat keluarganya menyiksa dirinya berputar di otaknya. Hal ini membuat kepala Vega pening, bibirnya masih bergetar hebat kakinya juga sudah lemas hingga ia meluruh ke lantai. Vega tersiksa dengan penyakit ini, ia tidak kuat. Vega tahu itu hanya halusinasinya saja, tapi mengapa rasanya begitu nyata?
Vega tidak bisa membendung air matanya lagi, ia terisak dengan hebat saat suara itu kembali bersahut-sahutan. Sebisa mungkin ia tidak berpikiran hal-hal buruk, tapi rasanya begitu susah.
"GUE GAK MAU BALAS DENDAM! LO PERGI! JANGAN GANGGU GUE LAGI!" teriak Vega penuh ketakutan.
Keadaan Vega sangat kacau, yang ia lakukan sekarang hanyalah berteriak dan menangis histeris. Kamarnya yang kedap suara membuat tidak ada satupun keluarganya yang datang menghampiri.
Vega tidak kuat, ia mengambil sebuah gunting di atas nakas. Pikirannya sangat kacau, ia ingin mati sekarang. Padahal dalam lubuk hatinya yang paling dalam tidak ada satupun niat dirinya untuk bunuh diri, tapi ini di luar kendalinya. Vega tidak tahu harus berbuat apa sekarang.
Saat hendak mengarahkan gunting itu ke urat nadinya, tiba-tiba seseorang menahan pergerakan tangan Vega lalu langsung merengkuh tubuh mungil Vega ke dalam pelukannya. Vega menangis terisak di dada bidang lelaki itu. Sementara Arkan menenangkan Vega dengan mengelus punggung gadis itu dengan lembut, ia membiarkan Vega menangis sepuasnya, tidak peduli jika jas yang dikenakannya basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M LONELY (REVISI)
Teen FictionIni adalah kisah Vega Aurora. Namanya indah namun tak seindah kehidupannya. Vega tidak pernah dianggap, ia selalu terbuang. Vega ingin bahagia, tapi mereka tidak pernah peduli. Salahkah ia berharap keluarganya berubah? Mungkin itu hanya semu, nyatan...