20. Donor darah.

15.9K 1.2K 38
                                    

Satu perintah mampu membuat Vega menatap Helga tak percaya, ia salah dengar atau apa? Lelaki itu menjemputnya dan ini merupakan hal yang paling langka bagi sahabat-sahabatnya Vega terutama gadis itu sendiri.

Tanpa berpikir panjang Vega langsung mengikuti kakaknya itu menuju mobil, di samping itu juga ada Maura yang tengah terisak. Sebenarnya Vega ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, tetapi niatnya untuk tanya ia urungkan karena melihat kondisi kedua kakaknya yang seperti ada sesuatu.

Mobil Helga berjalan dengan kecepatan penuh, sekitar tiga puluh menit mereka sampai. Vega mengernyit saat kakaknya malah berhenti di sebuah rumah sakit yang tadi pagi ia kunjungi.

Masih belum bertanya Vega hanya mengikuti kedua langkah kakaknya yang berjalan menuju ruang ICU, sesampainya di sana ia melihat Bundanya yang tengah menangis dengan terisak, tetapi ayah? Di mana pria itu?

"Sebenernya ini ada apa?" tanya Vega.

"Diam kamu!" bentak Riska.

"Ayah kecelakaan dan dia butuh donor darah, di keluarga kita yang golongan darahnya sama itu cuman lo sama gue," ucap Helga menjelaskan, tetapi tumben sekali lelaki itu tidak membentaknya.

"Apa?!" Air mata Vega luruh, ayahnya berada di ambang kematian.

Riska berjalan ke arah Vega menatap gadis itu dengan sorot penuh kebencian, sebenarnya Riska tidak mau meminta tolong kepada Vega. Tetapi saat ini rumah sakit tidak memiliki darah yang cocok untuk Reno.

"Saya minta kamu donorin darah buat suami saya," ucap Riska, enggan menatap Vega.

"Bun, tapi Vega lagi gak enak badan. Vega pusing," ucap Vega jujur, karena setahunya seorang yang tidak sehat tidak boleh mendonorkan darah karena itu akan berakibat fatal kepada sang pendonor.

"VEGA! AYAH SEKARAT TAPI LO MASIH MENTINGIN DIRI LO SENDIRI?!" bentak Helga sambil mendorong bahu adiknya kuat.

Vega terhuyung, air matanya semakin mengalir dengan deras. Ia tidak tahu lagi sekarang harus bagaimana, mau menolak tapi ia takut dihukum Riska.

"Tapi Kak, ak-"

Plakk

Tamparan itu lagi-lagi mendarat mulus di pipi Vega, gadis itu juga heran mengapa Riska menamparnya dengan mudah tanpa mempedulikan perasaannya?

Bukannya Vega tidak mau mendonorkan darahnya untuk sang ayah, tapi ia hanya menjalankan prosedur kesehatan. Lagi pula salahkah ia menolak?

Sudah kebal dengan perlakuan kasar, Vega hanya diam tanpa memberontak. Ini juga di rumah sakit, tidak mungkin juga ia mengaduh dengan berteriak.

Riska menyeret paksa Vega ke dalam ruang donor darah, perempuan itu terus menyeret Vega tanpa mempedulikan gadis itu yang tengah memberontak. Vega kesal, ia memilih pasrah. Pasrah dengan semuanya.

"Suster silahkan cek darah pembantu saya."

Lihatlah, Riska tidak pernah menganggapnya sebagai anak. Mengapa di saat hal seperti ini ia tidak bisa marah, Vega hanya diam saja walaupun hatinya terasa sakit. Jika ini kebahagian Bundanya ia akan ikut senang sekalipun itu menyakitkan untuknya.

"Darahnya cocok, tapi maaf keadaanya sangat lemah bahkan darahnya sangat rendah. Dan kami pihak rumah sakit tidak bisa melakukan hal ini," ucap seorang suster menjelaskan panjang lebar.

Riska membulatkan matanya sempurna ia mencubit lengan Vega dengan keras agar gadis itu mengatakan sesuatu, sementara Vega hanya bisa meringis kecil agar suster itu tidak menyadari.

"Gak apa-apa suster, saya bersedia sekalipun itu mengancam keselamatan saya," ucap Vega.

Suster itu mengangguk lalu menuliskan sesuatu di dalam sebuah buku.

I'M LONELY (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang