Semuanya hanya kepura-puraan agar mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Rintikan hujan pagi ini membuat gadis yang tengah bergelut di balik selimutnya semakin memejamkan matanya dengat kuat. Keringat dingin membanjiri wajah manis gadis itu, nafasnya yang semakin tak beraturan membuat Vega seketika membuka kedua matanya dengan lebar.
Mimpi buruk, Vega hanya mengehela nafas lega karena itu hanyalah mimpi. Ia melirik jam di atas nakas yang sudah menunjukkan pukul enam pagi, Vega lantas beranjak dari kasurnya dan berjalan menuju kamar mandi.
Setelah selesai ia keluar dari kamarnya sambil membawa tas sekolahnya dan berjalan menuju meja makan, di sana sudah ada keluarganya yang tengah sarapan dengan tenang.
Vega memilih duduk berjauhan dari mereka, ia hanya mengambil nasi dan lauk sangat sedikit karena ia takut kena merah.
"Bagusnya lo gak usah makan di sini," ucap Helga sinis, ia merasa tidak selera makan karena Vega mengambil posisi duduk di sebelahnya.
"Tapi, Kak-"
Prang
Helga membanting piring milik Vega ke lantai hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring.
Matanya berkaca-kaca, Vega memilih untuk membersihkan makanannya yang berantakan. Sebisa mungkin ia menahan agar bulir-bulir bening di kelopak matanya tidak jatuh.
Selesai membersihkan Vega berjalan menuju dapur, ia menjadi tidak selera makan dan memutuskan untuk langsung berangkat sekolah. Ia hanya melewati keluarganya yang tengah sarapan tanpa berniat untuk berpamitan. Toh, semua juga pasti akan mengacuhkannya.
"Anak gak tau diuntung banget sih ya, numpang tidur sama makan doang," sindir Maura sambil melirik Vega sinis.
Vega sontak berhenti sebentar, ia menoleh kepada Maura yang tengah menatapnya tajam. Vega hanya ingin, berada di antara keluarganya, Vega juga ingin merasakan kehangatan keluarga yang tak pernah ia rasakan semenjak lahir.
"Kamu jangan seperti dia ya sayang," ucap Riska sambil mengelus puncak kepala Maura penuh kasih sayang.
"Benar Maura, kamu gak usah tiruin sifat setan Vega." kali ini Reno berbicara tanpa mempedulikan perasaan Vega.
"Siap Papa."
Dalam hati ia menangis, Vega sudah lelah jika harus berdebat dengan keluarganya. Lagipula, jika ia benar pun akan tetap salah di mata mereka. Di sini ia hanya dianggap benalu, pembawa sial, apapun itu yang menyakiti hatinya. Ingin rasanya ia tidak terlahir agar tidak mendapatkan ucapan pedas keluarganya. Tunggu, masih pantaskah Vega menyebut mereka sebagai keluarganya?
"Sini lo, Ve!" ucap Helga dingin.
Vega menurut, ia berjalan ke arah Helga sambil menunduk takut. Ia tidak tahu apa yang akan kakaknya lakukan itu padanya, dalam hati Vega berdoa agar Helga tak lagi menyiksanya.
Helga berdiri dan mendorong bahu Vega kuat hingga membuat gadis itu terhuyung ke belakang, untungnya Vega masih bisa menyeimbangkan tubuhnya agar tidak jatuh tersungkur.
"GARA-GARA LO, GUE JADI GAK SELERA MAKAN!" bentak Helga tepat di depan wajah Vega.
Vega meringis karena Helga menjambaknya dengan kuat, ia menggigit bibir bawahnya demi mengurangi rasa sakit yang ada di kepalanya. Ia pun hanya bisa diam tak mengeluarkan sepatah kata. Hal itu membuat Helga semakin menguatkan jambakannya karena menurutnya, Vega pantas mendapatkan hal ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/228364586-288-k318332.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M LONELY (REVISI)
Teen FictionIni adalah kisah Vega Aurora. Namanya indah namun tak seindah kehidupannya. Vega tidak pernah dianggap, ia selalu terbuang. Vega ingin bahagia, tapi mereka tidak pernah peduli. Salahkah ia berharap keluarganya berubah? Mungkin itu hanya semu, nyatan...